Sunday 12 March 2017

Anugrahening Kushartanti

Adalah nama yang diberikan orang tua ku untuk kakak perempuanku satu-satunya. Aku biasa memanggilnya Mbak Antik.

Nggak heran orang tua kita memberi kata ‘anugerah’ dan 'harta’ disela namanya. Karena Mbak Antik memang salah satu anugerah dan harta yang aku punya. Teman nangis, ketawa, jajan bakso tusuk depan Pak Jenggot langganan depan SD buat lauk makan siang di rumah saking ngefansnya sama tuh bakso, begadang nungguin air ngalir di rumah sampe tengah malem, beli anak ayam warna warni terus dibawa kemana-mana dimasukin kantongan, dll. Nggak terasa sekarang kami sudah tumbuh jadi wanita dewasa. Mbak Antik sekarag berusia 30 tahun, dan aku sendiri berusia 24 tahun.

Mbak Antik adalah orang yang selalu yakin dengan apa yang ia percaya. Saat menikah pun, Mbak Antik memutuskan untuk menentukan calon teman hidupnya dengan cara taaruf. Sebuah cara yang bagi aku pribadi pun hanya bisa dilakukan untuk orang yang benarbenar yakin, percaya, dan berserah diri kepada Allah. Malam ini sebenarnya aku agak baper karena besok pagi Mbak Antik akan menjalani operasi caesar untuk anak keduanya. Melahirkan seorang anak adalah jihad fii sabilillah bagi seorang wanita, maka besok pagi adalah waktu yang ia tunggu-tunggu selama 9 bulan ini. 

Waktu aku kecil, Mbak Antik sering banget bikin aku nangis, tapi ternyata pas kita uda gede, Mbak Antik malah jadi yang lebih sensitif dan sering gampang nangis :) tapi jangan khawatir, karena waktu kecil Mbak Antik selalu terkesan ’lebih kuat’ dari aku, jadi sekarang, aku akan berusaha selalu ’kuat’ di depannya -bahkan ketika kami harus mengalami masa tersulit sekalipun- :’D

Itulah mungkin kenapa orang tua kami memberi kata 'bangkit’ disela nama ku. Kukira supaya aku bisa segera bangkit ketika jatuh untuk bisa melindungi 'harta’ dan 'anugerah’ dalam hidupku :’)

Semoga aku dan Mbak Antik bisa kuat, sabar, dan tegar seperti wanita yang selalu kami sebut di tiap doa. Mama :)

Minggu Keenam dalam 1Minggu1Cerita
Solo, 12 Maret 2017

Sunday 5 March 2017

Tiket yang Hangus

Suatu hari, pukul tiga dini hari saya sudah berangkat ke bandara padahal jam keberangkatan pesawat saya masih pukul enam. Saya berpikir daripada terjebak padatnya jalanan di jam masuk kerja lebih baik saya datang jauh sebelum waktu keberangkatan.

Sesampainya di bandara, ternyata yang berpikir demikian bukan hanya saya. Pada waktu menjelang subuh, bandara sudah penuh dengan orang yang berangkat di pagi buta. semua itu tujuannya hanya satu, tak ingin terlewat waktu agar tiketnya tak menjadi hangus.

Sekilas kejadian itu hanyalah kejadian biasa dan lumrah dalam suatu perjalanan. Tapi tiba-tiba sesuatu menyesakkan dada saya. Saya berpikir bahwa ternyata kita -manusia- selalu berusaha sebisa mungkin siap datang lebih awal hanya karena takut tertinggal pesawat menuju tujuan kita.

Sedangkan untuk sholat, kita tak segan menunda nunda bahkan tak merasa sesal bila waktunya berlalu begitu saja. Subuh kesiangan, dzuhur dan ashar kelupaan, maghrib kelewatan, dan isya kelelahan. Padahal, justru sholat nantilah yang akan menjadi tiket kendaraan utama menuju tujuan akhir hidup kita.

Berapa banyak kah tiket kita yang hangus hingga hari ini...?

Sesungguhnya pertama kali yang dihisab (ditanya dan diminta pertanggungjawaban) dari segenap amalan seorang hamba di hari kiamat kelak adalah shalatnya. Bila shalatnya baik maka beruntunglah ia dan bilamana shalatnya rusak, sungguh kerugian menimpanya.” (HR. Tirmidzi)


Minggu Keenam pada 1Minggu1Cerita
Klaten, 5 Maret 2017


Hidup Adalah Seni Menjadi Stranger (Sebuah Perjalanan Mengenal Career Class)

Saat aku udah mulai stuck , biasanya aku akan "berkelana" menjadi stranger. Masuk ke lingkungan yang benar-benar baru, nggak ada t...