Monday, 25 August 2025

Pulang Seperti Ikan Salmon

Ada banyak cara Allah menyampaikan pelajaran hidup.

Kadang lewat manusia yang bijak, kadang lewat peristiwa yang mengguncang, dan kadang tanpa kita duga lewat seekor ikan kecil bernama salmon.

Out of no where. Tiba-tiba terbersit dalam pikiranku tentang ikan salmon. Lalu aku mencari tahu tentang cara hidup ikan salmon.

Salmon ternyata tidak tinggal di satu tempat seumur hidupnya.

Ia lahir di air tawar, di sungai-sungai yang tenang. Tapi sejak awal, hidupnya sudah dipenuhi perpisahan. Saat usianya cukup, ia akan meninggalkan tempat kelahirannya dan berenang ke laut lepas.

Laut itu luas, asing, dan tak ramah.

Salmon akan menempuh jarak ribuan kilometer, menyusuri samudra selama bertahun-tahun untuk tumbuh dan bertahan. Ia belajar hidup di dunia yang keras. Ia mengejar makanannya, menghindari pemangsa, melewati arus besar yang tak bisa diprediksi.

Ikan salmon biasanya menempuh jarak migrasi dari laut ke tempat asalnya di sungai sejauh sekitar 1.000 hingga 1.400 kilometer. Selain jarak yang sangat jauh, salmon juga harus mendaki ketinggian hingga 2.100 meter dari permukaan laut untuk mencapai lokasi pemijahan mereka. Perjalanan ini termasuk salah satu migrasi terberat di dunia hewan karena salmon harus berenang melawan arus sungai yang deras dan menghadapi berbagai rintangan seperti predator dan kondisi lingkungan yang sulit

Satu hal yang tak berubah dari ikan salmon yaitu tujuannya.

Menurut riset oleh Dittman & Quinn (1996) dalam jurnal Nature, salmon muda belajar mengenali bau khas air sungai asalnya sebelum migrasi ke laut, sehingga saat dewasa mereka dapat menggunakan memori bau tersebut untuk kembali ke tempat lahirnya. Proses ini bersifat permanen dan sangat penting untuk navigasi dan kelangsungan hidup salmon

salmon memiliki sistem penciuman yang luar biasa tajam. Sejak kecil, ia menghafal "bau" khas sungai tempat ia dilahirkan. 

Bau itu tak sekadar aroma, melainkan kompas biologis yang tersimpan dalam sistem sarafnya. Di tengah laut yang tak mengenal arah, bau itu menjadi panggilan sunyi yang akan menuntunnya pulang.

Dan ketika tiba waktunya, salmon akan kembali.

Ia berenang melawan arus. Melompat di antara jeram dan bebatuan.

Tubuhnya luka-luka, sisiknya mengelupas, siripnya terkoyak. Tapi ia tetap bergerak. Ia tidak kembali untuk bersantai. Ia tidak pulang karena tempat asalnya nyaman. Ia pulang untuk menyelesaikan satu misi terakhir: meneruskan kehidupan.

Salmon bertelur di tempat ia dilahirkan. Lalu mati.

Namun kematiannya bukan akhir yang sia-sia. Tubuhnya yang membusuk menjadi nutrisi bagi tanah dan air, memberi makan tumbuhan air, serangga, bahkan benih yang ia tinggalkan. Sungai menjadi hidup kembali karena pengorbanannya.

Sebagian dari kita mungkin bertanya, mengapa harus sejauh itu? Mengapa tidak menetap saja di laut yang luas? Mengapa harus kembali ke tempat yang dulu, hanya untuk mati?

Tapi di situlah letak pelajarannya.

Salmon tidak memilih jalan termudah.

Ia memilih jalan yang sesuai dengan tujuannya, meski itu jalan yang sulit sekalipun.

---

Kita hidup dalam zaman yang begitu cepat berubah. Banyak dari kita merantau, pindah kerja, membangun karier di tempat yang jauh dari tanah kelahiran. Kadang, pulang jadi sesuatu yang asing. Kita bahkan bingung, ke mana sebenarnya arah “pulang” itu? Apakah tempat yang dulu kita tinggalkan masih menerima kita? Apakah kita masih diingat?


Tapi mungkin, seperti salmon, kita tidak perlu pulang untuk dimanjakan.

Kita pulang untuk kembali.

Untuk menanam benih baru.

Untuk menyelesaikan cerita yang belum selesai.

Mungkin pulang bukan soal kembali ke rumah secara fisik. 

Pulang bisa berarti menyapa orang tua lewat suara yang hangat. 

Mendoakan tanah tempat kita tumbuh.

Mengajarkan nilai hidup yang kita warisi dari tempat asal kepada anak-anak kita, meski mereka tumbuh di tanah berbeda.

Dan kadang, pulang juga berarti mengakhiri siklus dalam hidup kita dengan damai.

Karena kita sadar kita sedang berada dalam perjalanan untuk "pulang".

Salmon mengajarkan bahwa hidup bukan sekadar soal bertahan. Tapi juga tentang keberanian untuk menempuh jalan pulang, meski menyakitkan.

Tentang membayar betapa besarnya kebaikan Pencipta kepada kita yang telah memberi kita kehidupan.

---

Salmon mengajarkan bahwa luka bisa jadi bagian dari perjalanan.

Bahwa tubuh yang lelah dan terkoyak bisa tetap bermakna.

Bahwa akhir bukan hanya tentang berhenti, tapi tentang melanjutkan kehidupan.

---

Hari ini, jika kamu merasa letih, tersesat, atau sedang menempuh jalan pulangmu sendiri—ingatlah salmon.

Ia bukan makhluk paling kuat di lautan. Tapi ia punya tujuan yang tak bisa digoyahkan.

Pulang, baginya, adalah bentuk cinta yang paling utuh.

Cinta itu melahirkan keberanian untuk mewariskan kehidupan terbaik 

Dan bukankah, di ujung segala perjalanan, kita semua ingin pulang?

Entah itu ke rumah, ke diri sendiri, atau ke Tuhan. Dengan hati yang damai, dan jiwa yang tahu: aku sudah menunaikan tugasku.

---

Aku pun termenung barangkali selama ini aku salah. Manusia itu tidak lahir seperti lembar kosong. Fitrahnya manusia adalah kembali kepada Tuhan-Nya. Manusia lahir dengan "blueprint" untuk beriman kepada Yang Menciptakannya. 

Sudahkah kita siap untuk pulang ke titik awal kita?

Monday, 18 August 2025

Merdeka Menulis

Ada hari-hari ketika aku membuka dokumen kosong, mengetik beberapa kalimat… lalu menghapus semuanya.

Bukan karena aku tak punya cerita, tapi karena seperti ada bisikan: “Siapa juga yang akan membaca ini?”

...

Di tengah kesibukan, kelelahan, dan kehidupan yang terus menuntut, menulis sering terasa seperti hal yang dilihat sebelah mata..

Tapi entah mengapa, aku tetap menulis.

Aku pernah bertanya pada diriku sendiri: “Apa gunanya menulis kalau tak ada yang membaca?”

Pertanyaan itu datang di tengah malam, ketika semua orang tidur, sementara aku sibuk menata kata-kata. Kadang menulis terasa seperti memanggil tanpa ada yang menyahutnya,, tak ada gema kembali. Tapi jari-jariku tetap menari di atas huruf-huruf.

Lalu aku sadar: aku menulis bukan untuk dunia. Aku menulis untuk merdeka.

Merdeka dari tuntutan agar semua kata harus dibaca dan disukai orang lain.

Merdeka dari ukuran produktivitas, target, atau hasil yang bisa dihitung.

Merdeka untuk jujur, untuk rapuh, untuk bingung, bahkan untuk kosong.

..

Menulis adalah ruang yang menerimaku apa adanya. Ia tidak menuntut aku selalu kuat. Ia membiarkanku menangis tanpa malu, tertawa tanpa alasan, dan jujur tanpa takut.

Di dunia yang setiap hari menuntut versiku yang “terbaik”, menulis justru menyambut versi diri yang lebih jujur.

..

Dan jika suatu saat ada yang membaca tulisanku, lalu merasa “aku juga pernah merasakan ini,” maka itu adalah bonus yang manis. Tapi bukan itu alasan utamaku tetap menulis.

...

Aku menulis karena di antara semua hal yang bisa hilang, suara hatiku sendiri harus tetap kujaga.

Aku menulis karena di balik semua tuntutan dunia, aku ingin merdeka untuk menjadi diriku sendiri.

Menulis tidak membuat hidupku lebih mudah. Tapi menulis membuatku lebih utuh.

Dan aku rasa itu sudah cukup.

...

Blog ini mungkin tak ramai. Tapi ia hidup. Karena setiap tulisannya lahir dari tempat yang jujur: dari rasa ingin memahami hidup, mencintai proses, dan merawat suara hati agar tidak terkubur.

Inilah kemerdekaan yang kutemukan dalam menulis.


Minut, 18 Agustus 2025

Monday, 11 August 2025

Hidup untuk Diri dan Orang Lain

Aku sedang berjalan santai ketika mataku menangkap sebuah kalimat di punggung kaos seseorang. Hurufnya hitam di atas kain merah: “A life lived for others is a life well lived.”


Aku membacanya sekali, lalu mencatatnya.  Di perjalanan aku mengulangi membaca kalimat itu. Ada sesuatu dari susunan kata itu yang tidak mau lepas dari kepalaku.


Hidup untuk orang lain.

Kalimat itu terdengar sederhana, tapi mengandung dunia di dalamnya.


Di tengah hiruk pikuk yang sering membuat kita mengejar target pribadi, kata-kata ini seperti jeda. Mengingatkan bahwa ada ukuran lain dari keberhasilan hidup: bukan hanya tentang apa yang kita capai, tapi tentang siapa saja yang merasakan hangatnya kehadiran kita.


Aku teringat pada orang-orang yang pernah membuat hidupku terasa lebih ringan. Ada yang mendengarkan ceritaku di hari-hari berat, ada yang memberi senyuman di waktu yang tepat, ada yang mengirimkan pesan singkat, “Semangat ya semoga kamu selalu baik-baik aja” tanpa tahu betapa kalimat itu menyelamatkan.


Memberi untuk orang lain tak selalu berarti pengorbanan besar. Kadang hanya soal menyisihkan sedikit waktu, perhatian, atau tenaga. Kadang hanya tentang memilih untuk hadir, meski sebentar. Dan anehnya, saat kita memberi, kita juga menerima, yaitu menerima rasa syukur, rasa terhubung, rasa bahwa hidup ini lebih besar dari sekadar diri kita sendiri.


Namun, ada satu pandangan lain yang tak kalah penting: “Hiduplah untuk dirimu sendiri. Siapa yang akan menyayangimu kalau bukan dirimu sendiri?

Itu juga benar. Kita tidak bisa menuang dari gelas yang kosong. Menyayangi diri sendiri adalah fondasi: memberi tubuh istirahat yang layak, menjaga hati dari racun, memberi ruang untuk bernapas, dan jujur pada diri tentang apa yang kita butuhkan.


Keduanya tidak bertentangan. Menyayangi diri sendiri menjaga kita tetap berdiri; hidup untuk orang lain memberi arah pada langkah kita. Menyadari batas diri membuat kita bisa memberi dengan tulus, bukan dengan terpaksa.


Mungkin kebahagiaan yang paling murni adalah ketika keduanya bertemu: saat kita cukup menyayangi diri untuk tetap utuh, dan cukup peduli pada orang lain untuk berbagi keutuhan itu.


Kalimat di punggung kaos itu kini sudah hilang ditelan keramaian. Tapi rasanya, ia sudah menetap di hati dan pikiranku, sebagai pengingat, bahwa hidup terbaik adalah hidup yang dimulai dari diri sendiri, lalu mengalir untuk orang lain.


Minahasa Utara, 11 Agustus 2025

Monday, 4 August 2025

Tentang Seorang Kakak yang Selalu Siaga

Saat aku menulis ini, kamu sedang terbaring di ruang ICU, dan aku tak bisa berada di sisimu. Padahal ada begitu banyak hal yang ingin aku ucapkan. Maka biarkan malam ini aku bicara melalui jemariku, sebagai seseorang yang hatinya penuh rindu dan syukur ditakdirkan sebagai adikmu.

...

Sejak kecil sampai sekarang, kamu selalu jadi orang yang paling siaga. Waktu aku masih SD sampai SMP, saat itu kita tinggal bertiga di rumah. Bapak dan Mama udah pindah kerja, Mas Adi masih kuliah di Bandung, jadi tinggal kamu, aku, dan mbak Antik, yang waktu itu masih sekolah, dan kamu sedang kuliah. Kamu yang selalu jemput aku pulang sekolah. Kamu cari jadwal kuliah yang katamu ga akan tabrakan dengan jam pulang sekolahku, juga jam lesku, kamu selalu pastikan kalau kamu pasti bisa antar-jemput aku. Kamu tidak pernah bilang itu pengorbanan, tapi aku tahu sekarang: itu bentuk perhatian dan kasih sayang yang besar.


Waktu dunia ini belum ada internet, kamu mengajakku ke tempat persewaan buku. Dari aku pinjam Bobo, Donal bebek, Conan, Smurf, Witch, majalah remaja, Chicken Soup for the Soul, sampai buku atau majalah yg isinya inspirasi kehidupan, wkwk itu semua aku lalui bersama kamu. Mengajak sewa buku itu sederhana, menyewa buku itu ga mahal, tapi ternyata hal yang tidak mewah itu membuat aku tumbuh dengan berani bermimpi dan selalu belajar berempati. Hal yang ternyata saat ini tidak mudah ditemui.


Waktu aku gagal masuk kelas bahasa inggris di SMA, kamu yang mengantarku mengambil hasilnya, kamu nggak marah atau kecewa, atau menghiburku yang gimana-gimana, kamu cuma bilang "gapapa berarti bukan rezekimu, kamu kan dari SD selalu dapat yg kamu kejar di sekolah, jadi gapapa kalau sekali-sekali ga dapat, Allah cuma lagi ngasih tahu kamu gimana rasanya kalau ga dapat yg kamu minta supaya nanti suatu saat kamu dapat yang lebih, syukurmu jadi tambah besar." Mungkin kamu udah lupa apa yang kamu bilang tapi kata-katamu jadi penguatku sampai sekarang tiap aku menemui sesuatu yang ga sesuai harapanku.


Sampai aku dewasa, kamu tetap menjadi orang yang paling cepat datang kalau aku butuh. Saat aku pulang atau pergi merantau, kamu yang mengantar dan menjemput ke bandara atau stasiun. Bahkan saat aku ditempatkan di Lampung, kamu yang mengantar mobil ke sana agar aku bisa lebih leluasa. Dan ketika aku mau cuti melahirkan saat pandemi COVID, kamu yang menjemput aku pulang dari Lampung. Kita menempuh perjalanan jauh naik mobil, dan meski dunia terasa genting, aku merasa aman karena kamu yang nyetir.


Kamu juga yang sigap untuk anak-anakku. Setiap kali mereka sakit, dan aku jauh, kamu yang selalu datang dan mengantar mereka ke rumah sakit, meski di tengah malam. Sama halnya ketika Bapak sakit. Kamu datang dalam sekejap. Kemudian kamu mijit Bapak jam satu pagi, jam tiga pagi, seolah kamu tidak kenal lelah. Waktu kamu lulus kuliah kamu ditawarin Bapak lanjut S-2 tapi kamu ga mau, kamu bilang kamu mau hidup di desa aja, supaya dekat orang tua, supaya kamu bisa siaga kalau Bapak dan Mama butuh apa-apa. Kamu ga peduli meski dibilang sarjana tapi kok di sawah, sarjana tapi kok pilih di kandang, sarjana tapi kok ga kemana-mana. "Memangnya kenapa, yang penting halal" adalah jawaban andalanmu.


Suatu hari aku bilang kalau aku mau daftar CPNS yang penempatannya seluruh Indonesia, awalnya aku ragu tapi kamu semangat banget, kamupun bilang "lanjut Na, tenang aja Bapak sama Mama nnt yang ngurus aku" sampai akhirnya aku diterima dan ditempatkan dari satu kota ke kota lain, dari satu pulau ke pulau lain, itu adalah kata-kata yang selalu kamu bilang setiap kita pisah di stasiun atau bandara sampai sekarang.


Meski kamu totalitas pada keluarga, kamu tidak pernah melupakan keluarga intimu, istrimu dan anak-anakmu. Meski terlihat keras sebenarnya hatimu tidak sekeras itu, buktinya kamu tetap jadi idola bagi anak-anakmu, entah bagaimana anak-anakmu kalau ditanya ingin jadi apa, jawabannya "ingin seperti Abi".


Kamu tidak pernah menunggu diminta tolong. Kamu selalu datang lebih dulu, hadir sebagai penjaga yang tidak pernah minta ucapan terima kasih. Tapi hari ini, izinkan aku bilang: terima kasih. Untuk setiap jemputan, pijatan, pelukan, dan ketulusan yang kamu berikan tanpa syarat.


Aku tahu, kamu tidak suka menjadi pusat perhatian. Tapi kamu harus tahu: kamu adalah pusat dari banyak hal baik dalam hidupku. Dalam hidup keluarga kita.


Sekarang, tubuhmu sedang beristirahat lebih lama di atas tempat tidur yang dingin di ruangan asing itu. Tapi aku tahu hatimu sedang berjuang. Dan dari jauh, aku menjaga kamu lewat doa-doa yang tidak putus.


Pulanglah, kamu yang selalu siaga. Dunia kami terasa senyap tanpamu. Rumah ini menunggumu. Aku menunggumu. Bukan hanya sebagai adik, tapi sebagai seseorang yang ingin sekali membalas semua kebaikanmu, meski aku tahu, itu tidak akan pernah cukup.


Ya Allah sembuhkanlah, sehatkanlah, Mas Bambang, kakak pertamaku, yang menemani banyak hal pertama dalam hidupku

Minahasa Utara, 4 Agustus 2025

Air Mata yang Menyuburkan Hidup

Aku menemukan sebuah video di Instagram yang memperlihatkan di hutan Amazon di bawah pepohonan, ada seekor kura-kura berdiam diri sementara ...