Thursday, 3 July 2025

Catatan Singkat Menjelang Pengumuman Mutasi

Malam ini, katanya akan ada pengumuman mutasi. Isu seperti itu selalu saja ada, bahkan sejak lebih dari satu sampai dua tahun yang lalu. Tapi kenyataannya, selama ini hanyalah angin lalu.

Namun entah kenapa, kali ini terasa berbeda. Cepat atau lambat, waktu itu akan tiba. Sudah ada yang siap meneruskan jejak kami di sini. Jadi mau tidak mau memang sudah waktunya melanjutkan perjalanan. Aku tak tahu pasti apakah benar malam ini atau tidak, tapi jantungku seperti menyadari sesuatu.

Ada getar kecil di dada yang tidak bisa diredakan hanya dengan kata, “tunggu saja.” Bukan karena takut, bukan pula karena tidak siap. Tapi karena rasanya seperti... datang juga akhirnya waktunya.

Lima tahun terakhir, tempat ini bukan sekadar lokasi kerja. Ia menjadi ruang belajar, tempat bertumbuh, tempat mengenal rasa sabar dan sepi, tempat merawat makna dari sebuah pengabdian. Dan kini, ketika bisik angin mulai mengabarkan akan ada rotasi, tubuhku menggigil bukan karena dingin—tapi karena satu kesadaran:

Barangkali, waktuku di sini memang akan segera berakhir.

Perasaan menjelang mutasi itu unik. Campur aduk.

Seperti berdiri di pintu rumah yang sudah terasa nyaman, tapi tangan kita sudah menggenggam kunci rumah lain yang belum pernah kita masuki.

Ada deg-degan, tapi bukan panik. Ada tanda tanya, tapi bukan ketakutan.

Yang ada justru semacam ketenangan yang gentar:

sebuah rasa yang tahu bahwa apa pun yang menanti, itulah tempat terbaik yang dipilihkan untukku.

Aku tidak tahu akan ditempatkan di mana.

Apakah di kota yang lebih besar?

Di daerah terpencil?

Apakah akan dekat dengan keluarga, atau justru lebih jauh lagi?

Apakah suasananya akan seramah di sini?

Apakah aku akan menemukan orang-orang yang bisa jadi teman berbagi, atau akan lebih banyak belajar diam dan bertahan?

Tapi aku belajar satu hal penting dalam profesi ini:

kita tidak pernah bisa memilih tempat pengabdian,

tapi kita bisa memilih cara kita mengabdi.

Dan di manapun aku ditugaskan nanti, aku ingin tetap hadir sebaik yang aku bisa, berupaya menjaga integritas, ketulusan, dan semangat untuk terus belajar.

Jadi malam ini, jika benar pengumuman itu akan tiba, aku ingin menyambutnya bukan dengan gelisah, tapi dengan bisikan pelan pada diri sendiri:

"Terima kasih untuk semua yang telah dilalui di sini. Dan selamat datang, apa pun yang akan dimulai nanti. Bismillaah, laa haula wa laa quwwata illaa billaah"

Monday, 30 June 2025

Random Thought: Kenapa ya Hewan Tak Punya Kecerdasan Seperti Manusia (?)

Aku sering terpikir sesuatu yang random secara tiba-tiba. Bukan karena tidak fokus, tapi karena hidup sehari-hari menyuguhkan pemandangan-pemandangan kecil yang memantik pertanyaan besar.

Seperti saat melihat seekor anjing jalanan mengais sampah dengan langkah letih, atau seekor kucing yang duduk di bawah meja warung pecel lele, mengeong pelan pada setiap orang yang makan, berharap diberi sedikit sisa makanan.

Atau saat melihat sapi menarik gerobak berat, matanya kosong, jalannya pelan, sementara tubuhnya tak besar dan kuat seperti yang sering kulihat, tapi kurus dan terlihat ringkih. Ia bisa saja hidup sebagai sapi perah atau sapi pedaging, diberi makan teratur dan dilepas di padang rumput. Tapi takdir menempatkannya di tengah jalan raya, jadi alat angkut manusia.

Ada pula semut yang tak sengaja terinjak. Atau ikan yang berenang bebas pagi hari, lalu terjaring nelayan sore harinya. Semua itu terjadi setiap hari. Di dunia yang sama dengan kita, tapi dalam cerita hidup yang tak pernah kita anggap sedang berjalan juga.

Lalu aku bertanya-tanya…

Saat anjing dan kucing itu berjalan sendirian, apakah mereka kesepian? Saat sapi harus menarik beban berat, apakah dalam hatinya ada keinginan untuk berontak? Saat seekor semut atau ikan mati karena takdir alam atau ulah manusia, apakah keluarganya kehilangan?

Ternyata mungkin inilah alasan Allah tidak membebani hewan dengan akal dan rasa sedalam manusia. Karena jika mereka bisa merasakan seperti kita, bayangkan betapa sering mereka harus menanggung kesedihan. Berapa kali mereka akan meratap karena kehilangan, dan berapa banyak mereka akan depresi karena terus dieksploitasi tanpa pilihan.

Dalam kemungkinan terburuk, bayangkan bagaimana mengerikannya jika hewan punya akal seperti manusia, dalam kondisi tertentu ia akan menjadi serakah, dan ingin menguasai manusia atau juga dunia. Manusia akan hidup penuh was was dan tak pernah tenang.


Menariknya, Allah tidak membiarkan kita berpikir bahwa hewan hanyalah makhluk rendahan. Dalam QS. Al-An’am (6): 38, Allah berfirman:

Dan tidak ada suatu binatang melata pun di bumi dan burung-burung yang terbang dengan kedua sayapnya, melainkan mereka adalah umat-umat (juga) seperti kamu.”

Ayat ini seperti tamparan halus bagi kita—pengingat bahwa hewan bukan figuran dalam cerita manusia. Mereka punya peran, punya nilai, dan punya tempat di mata Allah sebagai umat, bukan sebagai objek yang bebas kita perlakukan sesuka hati.


Maka bisa jadi, ini bukan soal siapa lebih tinggi, tapi siapa lebih sadar akan tanggung jawabnya.

Dalam ayat lain, Allah mengingatkan bahwa hewan-hewan yang kita manfaatkan sehari-hari adalah bentuk kasih sayang-Nya bagi manusia, bukan legitimasi untuk bersikap semena-mena. Dalam QS. An-Nahl (16): 5–7, disebutkan:

Dan Dia menciptakan binatang ternak untuk kamu; padanya ada (bulu) yang menghangatkan dan berbagai manfaat, dan sebagiannya kamu makan... dan ia memikul beban-bebanmu ke negeri yang kamu tidak sanggup mencapainya kecuali dengan susah payah.


Ya, mereka memang diciptakan untuk kita. Tapi perhatikan bagaimana ayat itu ditutup:

Sesungguhnya Tuhanmu Maha Pengasih, Maha Penyayang.

Artinya, relasi manusia dan hewan semestinya terjadi dalam payung kasih sayang, bukan dominasi. Hewan boleh bermanfaat bagi manusia, tapi manusia tidak boleh kehilangan belas kasihnya sebagai balasan atas manfaat itu.


Mereka tidak sekadar makhluk yang sedang hidup. Mereka juga makhluk hidup.

Mereka berperan menjaga keseimbangan alam, tanpa kita sadari.

Mereka memenuhi banyak kebutuhan manusia. Mereka menjadi penjaga kesetiaan tanpa janji. Menjadi teman bagi manusia tanpa meminta balas jasa. Menjadi makanan, tenaga, penghibur lara, dan masih banyak hal lainnya, tanpa banyak suara (red: protes).


Sementara kita?

Kita yang diberi akal dan hati, sering lupa bahwa anugerah itu seharusnya menjadi alat untuk melindungi, bukan membenarkan kuasa atas makhluk lain. Kita sibuk merasa lebih tinggi karena bisa berpikir dan berbicara, tapi kadang tumpul dalam rasa.

Betapa ironisnya—mereka tak punya suara, tapi justru merekalah yang paling setia. Mereka tak bisa bertanya, tapi justru merekalah yang terus memberi. Mereka tak tahu caranya memprotes, tapi justru merekalah yang paling sering dikorbankan.


Aku mulai bertanya pada diriku sendiri: Apakah selama ini kita terlalu sibuk menjadi makhluk cerdas, sampai lupa menjadi makhluk berbelas kasih?

Aku membayangkan di akhirat kelak, mereka -para makhluk diam yang hidupnya tampak kecil di mata kita- akan datang sebagai saksi. Bukan untuk menuntut, tapi berkata, “Aku ada. Aku pernah hidup. Tapi tak pernah kau lihat sebagai makhluk yang juga berhak dihormati.”

Bayangkan pula sebaliknya, bila kita menjadi manusia yang memperlakukan mereka dengan baik kemudian mereka datang dan berkata "Terima kasih. Kau jadikan bumi ini sedikit lebih layak kutinggali, meski hanya sebentar."

---

Hari ini, aku tak bisa menyelamatkan dunia. Tapi mungkin aku bisa mulai dengan hal kecil: memberi makan seekor kucing lapar, mengangkat semut dari genangan air, atau tidak memainkannya atas nama penasaran.

Karena ternyata, bukan hanya soal akal dan hati, tapi juga soal pilihan.

Apakah kita mau jadi manusia… atau sekadar makhluk hidup yang pandai tapi tak merasa?

Semoga kita bisa menjadi manusia yang tidak hanya cerdas, tapi juga lembut, sadar, dan bertanggung jawab, termasuk terhadap sesama makhluk yang berdampingan dengan kita dan hidup bersama di bumi yang sama.

Monday, 23 June 2025

Di Balik Pijatan yang Kuat, Ada Pijakan yang Jauh Lebih Kuat

Suatu malam setelah menyesuaikan jadwal masing-masing, akhirnya aku bisa menemukan jadwal yang cocok dengan mbak pijat langgananku. Aku senang sekali bisa pijat hari itu. Sekarang aku ingin berbagi cerita tentang dia, yang bukan sekadar tukang pijat biasa.

Tiap kali ia datang, kita seperti berbagi peran, ia membuat tubuhku terasa lebih ringan, dan sepertinya aku membuat pikirannya terasa lebih ringan. Karena sambil tangannya bekerja, mulutnya bercerita, dan kadang matanya berbinar atau berkaca-kaca. Ia bersemangat bercerita tentang masa kecilnya. Juga tentang hidupnya yang tak pernah benar-benar mudah, tapi juga tidak pernah membuatnya menyerah.

Dia anak perempuan pertama dari banyak saudara. Lahir di tengah keterbatasan, tapi sejak kecil sudah terbiasa (harus) berbagi. Dalam dunia yang kadang tak adil, ia tumbuh menjadi seseorang yang tak pernah merasa kekurangan karena hatinya penuh dengan rasa cukup, yang dia artikan bahwa cukup adalah perasaan "ketika bisa memberi".

Kini, di usia dewasanya, dia merupakan seorang istri sekaligus seorang ibu yang bekerja, karena ingin membantu ekonomi keluarga. Ia bekerja dengan tangannya sendiri, memijat dengan ketelatenan yang tak berubah selama hampir tiga tahun aku mengenalnya. Hasil kerjanya tak ia nikmati sendirian. Ia kirimkan kepada orang tuanya, kepada mertuanya, terkadang bila ada lebih ia pun teringat kepada adik-adiknya. Jadi ketika ia cerita tentang liburan atau rezeki lebih, itu bukan tentang dirinya, tapi tentang keluarga, ia selalu ingin membagi sesuatu.

Dari tutur katanya, aku tahu dia bukan sekadar pekerja keras. Dia perencana yang baik. Setiap pengeluaran ia catat, setiap mimpi ia rancang. Bersama suaminya, mereka membangun kehidupan dari nol, sampai akhirnya bisa punya rumah sendiri. Ia bangga, tapi tak membusungkan dada. Ia selalu mengutamakan suaminya. Baginya, ia hanyalah pelengkap. Baginya, suaminya tetaplah pemberi nafkah utama yang akan selalu ia cintai dan ia hormati.

Namun, di balik kekuatannya, aku melihat ketegangan yang sering ia sembunyikan, kelelahan di balik senyumnya. Ia keras pada dirinya sendiri. Seringkali terlalu keras.

Dia terbiasa mengutamakan orang lain, bahkan dalam hal-hal kecil. Ketika aku pernah mengajaknya makan pempek selepas pijat, ia menyisakan potongan terbesar untuk anaknya. Pernah juga ia menolak ajakan makan karena suaminya belum makan, dan ia ingin makan bersama suaminya di rumah.

Aku terdiam. Kagum, tapi juga sedih. Dia begitu besar untuk orang lain, tapi apakah ia memberi ruang yang sama besar untuk dirinya sendiri?

---

Kita sering mengagumi perempuan tangguh seperti itu. Tapi kadang, kita lupa bahwa perempuan juga perlu dipeluk, bukan hanya dipuji karena kuatnya. Mereka perlu diingatkan bahwa mencintai diri sendiri bukanlah bentuk egoisme, tapi bagian dari menjaga agar cinta yang mereka berikan tidak habis di tengah jalan.

---

Untuk Mbak Pijat Profesionalku 😊

Terima kasih untuk ketulusanmu, untuk ceritamu, dan untuk kekuatan yang tanpa sadar kamu wariskan ke sekelilingmu. Tapi izinkan aku bilang:

Tak apa kalau sesekali kamu ingin sesuatu hanya untuk dirimu sendiri. Tak apa kalau kamu merasa lelah dan ingin menangis. Itu bukan kelemahan. Itu bagian dari manusia.

Cintailah dirimu juga, Mbak. Karena kamu juga layak diberi cinta, bukan hanya memberi. Dan dalam segala ketulusanmu untuk terus berjalan, pelan-pelan, langkah demi langkah, yakinlah bahwa tidak ada satu pun yang luput dari penglihatan Allah. Dia tahu setiap pijatan yang kamu berikan dengan niat baik, setiap rupiah yang kamu sisihkan untuk orang lain, setiap langkah pulang dengan kaki pegal tapi hati ikhlas.

Sebab kadang sabar tidak selalu terdengar. Ia tidak menggelegar seperti teriakan. Ia tidak tercatat di bumi tapi tercatat di langit, dalam kerja yang diulang hari demi hari, dalam menahan kata saat ingin marah, dalam memilih pulang saat bisa saja pergi.

Dan justru dalam sabar yang paling sunyi itulah, kamu bisa mencurahkan segala sesuatu kepada-Nya. Selama kamu memiliki-Nya, kamu punya segalanya.

Sekarang aku tahu, pijatanmu kuat karena ternyata pijakan kakimu sudah menapak dengan jauh lebih kuat. 

Semoga hidupmu senantiasa diberkahi. Dan semoga kamu tahu: kamu lebih dari cukup. Kamu sudah luar biasa. 

Friday, 20 June 2025

Doa Orang yang Memaafkan

Ketika seseorang menyakiti kita, kita dihadapkan pada beberapa jalan:

  • memaafkan dan mendoakan; atau
  • tidak memaafkan dan mengharap keadilan Allah di akhirat; atau
  • memaafkan tapi berharap Allah segera membalasnya di dunia


Dizalimi itu menyakitkan.

Dan kadang, luka paling dalam bukanlah luka fisik, tapi luka yang tak bisa dijelaskan… hanya bisa dirasakan.

Namun justru di saat-saat paling menyakitkan itulah, Allah menghadiahkan sebuah keistimewaan:

Doa orang yang terzalimi tak bersekat menuju langit.


Aku menyebutnya golden time.

Momen langka, waktu sakral—saat hati yang hancur justru paling didengar oleh Allah.


Kita bisa saja membalas.

Tapi bukankah itu hanya menjerumuskan kita pada lingkar luka yang sama?

Kita bisa saja mencaci.

Tapi bukankah yang diperintahkan adalah berkata baik atau diam?


Maka, ketika kita memilih diam…

dan justru berdoa:

Ya Allah, Engkau Mahatahu bahwa aku bisa membalas, tapi aku memilih diam karenaMu. Maka gantilah rasa sakit ini dengan kebaikan yang Engkau ridhai. Balaslah dengan adil. Bila Engkau kehendaki, ubahlah ia menjadi pribadi yang lebih baik.

Itu bukan kelemahan. Itu adalah kekuatan yang tenang.

Dan ketika kita mendoakan dalam diam, malaikat pun berkata:

"Dan untukmu juga, semoga mendapat yang sama."

Bayangkan.

Dua kekuatan doa. Doa yang tulus dari hati yang terluka, dan doa malaikat yang tak berdosa, bertemu pada satu waktu.

Bukankah itu tanda bahwa Allah benar-benar dekat?


Aku tahu… semua ini tidak mudah.

Bahkan mungkin terdengar naif. Seolah kita sok bijak, sok jadi malaikat padahal hati sedang berantakan.

Tapi percayalah, cara ini bukan tentang terlihat baik.

Ini tentang membebaskan hati dari beban, karena kita ingin hidup dengan tenang.

Dan bukankah kita juga ingin dijemput Allah dalam keadaan jiwa yang damai?


Lalu, mungkin ada yang bertanya, seperti aku pun pernah bertanya pada diriku sendiri:

"Kalau aku sudah memaafkan, tapi masih berharap agar orang itu mendapat balasan setimpal, apakah itu artinya aku belum benar-benar memaafkan?"

Dan jawabanku adalah:

Mungkin… kita sudah memaafkan, tapi belum sepenuhnya ikhlas.

Karena memaafkan itu proses.

Kadang kita sudah tidak ingin membalas, tidak menyebarkan aibnya, tidak membicarakannya, itu sudah bentuk memaafkan.

Tapi di dalam hati, masih tersisa harapan agar Allah membalasnya dengan adil.

Bukan karena kita pendendam,

tapi karena hati butuh rasa keadilan untuk sembuh.


Jika doa kita berbunyi:

"Ya Allah, balaslah sesuai keadilan-Mu, aku serahkan semua pada-Mu,"

itu bukan keburukan. Itu tawakal.

Itu bentuk memaafkan yang jujur—bukan sok suci, tapi juga tak mengabaikan luka.


Namun, jika hati masih berharap dia tersiksa, jatuh sejatuh-jatuhnya—

maka bisa jadi, kita belum memaafkan… kita hanya melepaskan genggaman, tapi belum merelakan.


Di sinilah kita diuji:

Apakah kita ingin balasan berupa penderitaan untuknya,

atau balasan berupa pelajaran, dan perubahan?


Karena saat kita bisa berkata:

"Aku tak ingin membalas. Aku ingin damai. Aku serahkan semuanya pada-Mu Ya Rabb. Aku yakin keadilan-Mu lebih sempurna dari semua skenario yang bisa kurancang sendiri,"

maka itulah bentuk tertinggi dari memaafkan.

Memaafkan bukan untuk membuat dia tenang.

Tapi agar kita sendiri hidup tanpa beban amarah yang perlahan-lahan mencuri bahagia.


Allah sendiri sudah menjanjikan:

Balasan suatu keburukan adalah keburukan yang setimpal. Akan tetapi, siapa yang memaafkan dan berbuat baik (kepada orang yang berbuat jahat), maka pahalanya dari Allah. Sesungguhnya Dia tidak menyukai orang-orang zalim.”

(QS. Asy-Syura: 40)


Bersegeralah menuju ampunan dari Tuhanmu dan surga (yang) luasnya (seperti) langit dan bumi yang disediakan bagi orang-orang yang bertakwa,yaitu) orang-orang yang selalu berinfak, baik di waktu lapang maupun sempit, orang-orang yang mengendalikan kemurkaannya, dan orang-orang yang memaafkan (kesalahan) orang lain. Allah mencintai orang-orang yang berbuat kebaikan.

(QS. Ali Imran: 133-134)

---

Kita tak selalu harus memaafkan secepat itu. Tapi kita bisa memilih untuk tidak ikut berubah buruk karena luka.

Kita bisa memilih untuk mendoakan yang terbaik untuk diri kita sendiri dan membiarkan Allah yang mengurus sisanya.

---

Memaafkan itu bukan untuk mereka, tapi untuk diri kita sendiri.

Karena kita berhak hidup dengan damai, tanpa terus membawa dendam yang membebani langkah, tanpa membiarkan luka lama mendikte cara kita mencintai hidup.

Kita memilih memaafkan bukan karena mereka pantas dimaafkan, tapi karena kita pantas untuk hidup tenang.

Karena pada akhirnya kita bukan ingin menang atas orang lain. Tapi menang atas hati kita sendiri.

Dan bukankah tidak ada kemenangan yang lebih indah daripada kita pulang dalam keadaan jiwa yang tenang?

Monday, 9 June 2025

"When Life Gives You Tangerines": Warisan yang Tak Terlihat oleh Mata

Aku baru selesai menonton drama korea berjudul When Life Gives You Tangerines, sebuah drama yang lembut, sunyi, tapi meninggalkan gema panjang di hati. Bukan karena alurnya yang dramatis, bukan karena plot twist atau dialog penuh air mata, tapi karena satu hal yang pelan-pelan menyentuh kesadaranku: kebahagiaan ternyata bisa diwariskan.

Drama ini secara garis besar bercerita tentang tiga perempuan dari satu garis keturunan: ibu Ae Sun, Ae Sun sendiri, dan anak perempuan Ae Sun. Masing-masing hidup dalam zaman berbeda. Masing-masing punya cara sendiri dalam bertahan dan mencintai.

Yang paling menggetarkan bagiku justru adalah tokoh ibu Ae Sun. Perempuan tangguh yang hidup dalam keterbatasan, menelan banyak duka dalam diam. Ae Sun tumbuh dalam bayang-bayang itu—hidupnya pun tidak mudah, tapi ia terlihat lebih bahagia, lebih punya ruang untuk tertawa dan punya keberanian untuk bermimpi meski akhirnya tak punya banyak pilihan. Lalu anak perempuan Ae Sun hidup dalam masa yang lebih lapang—lebih berani bermimpi, tapi ia bisa lebih bebas menentukan arah hidupnya, bahkan menjalani mimpinya.

Dari situ, aku tiba-tiba terdiam.

Seolah ada satu pintu kesadaran terbuka:

"Mungkinkah kebahagiaan yang kita rasakan hari ini adalah hasil dari pengorbanan diam-diam generasi sebelum kita?"


Mungkin kita merasa sudah berusaha keras, sudah berdoa sungguh-sungguh, lalu hidup menjadi lebih baik. Tapi bisa jadi ada doa yang lebih tua, lebih sunyi, lebih dalam... yang menjadi fondasi dari kebahagiaan kita sekarang.

Doa ibu kita. Doa nenek kita.

Air mata mereka. Lelah mereka.

Yang tak sempat kita lihat, tapi bekerja diam-diam membentuk jalan kita.

Bayangkan...

Saat kita merasa cukup hari ini, mungkin karena dulu ada perempuan yang rela lapar agar anaknya kenyang.

Saat kita bisa memilih jalan hidup kita sendiri, mungkin karena ada seorang ibu yang dulu hidupnya tidak diberi pilihan sehingga berupaya agar anaknya kelak bisa merasakan bagaimana memilih berbagai alternatif pilihan.

Dan saat kita bisa berkata “aku bahagia,” mungkin itu adalah buah dari pohon yang mereka tanam dalam tangis.


Aku jadi bertanya-tanya...

Mungkin ibu kita, saat seumur kita sekarang, tak sempat menikmati hidup sebagaimana kita.

Tapi kitalah yang memanen bahagia dari benih yang ia tanam.


Dan kini, ketika aku sendiri menjadi ibu—aku mulai sadar. Mungkin semua kelelahan dan ketidaksempurnaan yang kurasakan sekarang, semua perjuangan yang belum berbuah manis, adalah bentuk dari warisan yang sedang kutanam.

Untuk anak-anakku. Untuk cucuku kelak.


Ternyata menjadi ibu bukan hanya tentang melahirkan dan membesarkan. Tapi juga tentang melanjutkan kebaikan, tentang menyalakan harapan, tentang mengajarkan makna kebahagiaan yang sesungguhnya, tentang berupaya anak-anak kita tidak harus melalui kegelapan yang sama.

Dan jika kebahagiaan adalah warisan, maka aku ingin menjadi pewarisnya. Dan karena bagiku kebahagiaan sejati bukan diukur secara materi, maka aku ingin menjadi Pewaris yang tak hanya mewariskan apa yang terlihat oleh mata manusia tapi juga mewariskan hal yang terlihat oleh mata  hati manusia, yaitu iman, kebaikan dan nilai-nilai kehidupan.

Aku ingin menjaga rantai kebaikan itu agar tidak terputus. Aku ingin anak-anakku tumbuh dan menyadari bahwa hidup yang lebih baik yang mereka nikmati, bukanlah hasil mereka sendiri, tapi juga hasil cinta-cinta sunyi dari ibu dan neneknya. Aku tidak mungkin bisa memberikan nasihat kehidupan kepada anakku jika aku tak mengalami suka duka dalam perjalanan hidupku, dan dalam suka duka itulah iman, kebaikan, dan nilai-nilai kehidupan yang ditanamkan ibuku padaku baik langsung atau tidak langsung, sangat membantuku untuk tetap bertahan.


Dan sekarang... aku pun bersyukur.

Karena aku punya ibu yang telah menanamkan iman, kebaikan, dan nilai-nilai kehidupan untukku. Ibu tidak memberi kemudahan di depan mata tapi apa yang ia ajarkan menjadi dasarku dalam menentukan setiap pilihan dalam hidup dan mendorongku memiliki keberanian untuk menghadapi dan menjalani setiap pilihan itu.

Aku ingin menjadi ibu yang juga menanam iman, kebaikan dan nilai-nilai kehidupan untuk anakku, sebagai bekal ia menjalani kehidupan dalam fase apapun. Dengan atau tanpaku.

---

Ya Allah bahagiakanlah hati ibuku yang telah bersusah payah mengusahakan kebahagiaan untukku, jadikanlah aku bisa mewariskan kebahagiaan itu juga untuk anakku, dan mudahkanlah anakku meraih kebahagiaan itu, serta melanjutkannya untuk cucuku.

Friday, 6 June 2025

Idul Adha 1446: Tentang Belajar Percaya dan Belajar Ikhlas

Pagi ini langit Boalemo dinaungi awan mendung dan gerimis. Masjid Agung Baiturrahman tetap dipadati jamaah, yang datang untuk shalat Idul Adha. Aku berada di barisan tengah, seusai sholat, berusaha menyimak khutbah yang disampaikan khatib. Aku bersemangat mengikuti sholat id di sini karena setiap khutbah yang disampaikan di masjid ini selalu menyentuh hatiku—seperti hari ini.

Khutbah pagi ini mengangkat dua hal agung yang selalu melekat dalam Idul Adha: ibadah haji dan pengorbanan Nabi Ibrahim. Tapi ia tidak berhenti sebagai peringatan keagamaan biasa. Ia hadir sebagai refleksi atas kejadian nyata yang sedang kita hadapi.


Pelajaran tentang Ibadah Haji tahun ini

Tahun ini, banyak calon jamaah haji jalur furoda—jalur nonkuota yang biayanya bisa mencapai ratusan juta rupiah per orang—gagal berangkat. Visa mereka dibatalkan sepihak oleh pemerintah Arab Saudi. Secara tiba-tiba, di luar rencana. Mereka yang sudah mempersiapkan fisik, hati, dan tabungan pun akhirnya terhenti dan tidak bisa berangkat.

Sebagian orang mungkin berkata: “Padahal sudah bayar mahal, kok bisa batal?” Justru dari sinilah pelajaran datang:

Bahwa tidak ada satu pun kuasa manusia yang mampu mendahului kehendak Allah. Bahwa izin Allah tidak bisa dibeli, meski dengan ratusan juta sekalipun.

Kisah lain dari khutbah itu lebih menyentuh lagi. Seorang jamaah bernama Ameur Al-Mansour Gaddafi, berasal dari Libya, gagal naik pesawat karena nama belakangnya mirip dengan pemimpin politik masa lalu. Ia pun harus diperiksa secara khusus hingga akhirnya rombongan berangkat tanpanya. Tapi Amir tidak mau pulang. Ia memilih menunggu di bandara, dengan keyakinan: “Saya tidak akan pergi dari sini kecuali untuk berangkat haji.

Tak lama, pesawat yang ditumpangi rombongan Amir mengalami gangguan teknis dan harus kembali ke bandara. Namun Amir tetap tidak diikutkan karena seluruh penumpang tetap berada dalam pesawat untuk kemudian diberangkatkan lagi. Namun Amir tetap berada di bandara dan berdoa dengan keyakinan kepada Allah.

Lalu keajaiban terjadi.

Pesawat itu mengalami gangguan teknis, dan harus kembali kedua kalinya ke bandara. Dan saat kapten akhirnya tahu bahwa Amir masih menunggu, ia menyatakan bahwa pesawat tidak akan kembali terbang tanpa dirinya. Akhirnya, Amir pun ikut terbang. Kehadirannya disambut tangis dan tepuk tangan rombongannya.

Kemudian saat diwawancara media, Amir mengatakan "Saya percaya kalau itu sudah ditakdirkan untuk saya, tidak ada kekuatan yang dapat menghalanginya."

Masya Allah dari kedua kejadian di atas, kita semua belajar:

Bahwa jika Allah menghendaki, tak ada yang bisa menolak.

Dan jika Allah belum menghendaki, tak ada yang bisa memaksa.


Pelajaran dari Kisah Nabi Ibrahim dan Nabi Ismail

Lalu khutbah menuntun pada kisah pengorbanan Nabi Ibrahim dan Ismail. Sebuah teladan tentang pengorbanan seorang ayah yang diperintah menyembelih anak yang sudah lama dinanti. 

"Wahai anakku sesungguhnya aku melihat dalam mimpi bahwa aku menyembelihmu. Maka fikirkanlah apa pendapatmu." (QS. As-Saffat: 102)

Seorang anak menerima dengan kerelaan dan menjawab dengan hati yang tenang:

"Wahai Ayahku, kerjakanlah apa yang diperintahkan kepadamu. Insya Allah, engkau akan mendapatiku termasuk orang-orang yang sabar." (QS. As-Saffat: 102)

Itu bukan hanya ketaatan. Tapi bentuk tertinggi dari cinta kepada Allah—ketika sesuatu yang paling kita cintai tidak lagi kita pertahankan, jika itu memang diminta oleh-Nya.

Dan pada akhirnya, Allah mengganti sembelihan itu dengan domba. Ternyata itu semua adalah ujian ketaatan. Kisah tersebut sebagai simbol bahwa ketulusan, kerelaan, dan ketaatan adalah esensi dari ibadah.

Kisah ini menyadarkan aku akan satu hal: Bahwa banyak hal yang kita genggam erat, padahal seharusnya sudah kita lepaskan kepada Allah, yaitu ketika harta, jabatan, bahkan atau relasi apapun yang kita cintai secara berlebihan telah menghalangi kita untuk taat kepada-Nya. Karena hal yang amat kita cintai bisa membuat kita berpaling dari-Nya.

Dari Nabi Ismail kita bisa belajar tentang rasa hormat, hal yang dewasa ini mulai pudar. Kita lihat sekarang banyak hubungan orang tua dan anak diwarnai pembangkangan, penentangan, hentakan, kezaliman, dan lainnya.

Sesungguhnya rasa hormat itu tidak bisa lahir begitu saja. Kita sebagai orang tua juga harus meneladani ketaatan dan kesalehan Nabi Ibrahim sehingga anak dengan kesadarannya pun bisa menghormati sosok orang tuanya.

Dan di ujung khutbah, ayat ini disebutkan:

"Kamu sekali-kali tidak akan memperoleh kebajikan (yang sempurna) sebelum kamu menginfakkan sebagian harta yang kamu cintai. Apa pun yang kamu infakkan, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui tentangnya." (QS. Ali Imran: 92)

_____

Idul Adha, pada akhirnya, bukan hanya tentang berbagi daging semata. Tapi tentang hati yang rela, jiwa yang berserah, dan manusia yang belajar bahwa tidak semua bisa dibeli, dan tidak semua harus dimiliki.

Hari ini aku belajar:

Bahwa mencintai Allah berarti siap berkorban. Bahwa berdoa bukan hanya soal meminta diberi, tapi juga ridho ketika keinginan kita sedang ditahan. Bahwa di dalam cinta ada rasa percaya, dan rela adalah bentuk tertinggi dari rasa cinta.

Selamat Idul Adha. Semoga kita tidak sekadar menyembelih hewan qurban, tapi juga menyembelih ambisi yang berlebihan, cinta dunia yang membutakan, dan ketakutan yang tak perlu. 

Idul Adha adalah tentang percaya bahwa yang kita genggam erat belum tentu baik, dan yang kita lepaskan karena Allah belum tentu benar-benar hilang.

Idul Adha adalah latihan ikhlas, saat kita belajar bahwa yang paling kita cintai pun bisa menjadi ujian—dan keikhlasan adalah bentuk tertinggi dari keimanan.

Tahun ini aku pulang dari masjid dengan doa dalam hati:

Semoga aku bisa tumbuh lebih taat, lebih ikhlas, lebih rela, juga selalu percaya dan berprasangka baik kepada Allah.

Aku harus selalu percaya jika Allah benar-benar berkehendak, pintu mana pun yang terkunci rapat akan bisa terbuka. Meski bagi manusia nampak tidak mungkin, meski nampak tidak bisa terjadi.

Laa haulaa wa laa quwwata illaa billaah.


Boalemo, 10 Dzulhijjah 1446

Monday, 2 June 2025

Sebelum Secarik SK Mengantarmu Merantau

Sebelum seseorang memutuskan benar-benar pergi merantau karena sebuah tugas negara, pada umumnya akan dihantui banyak ketakutan. Bukan hanya soal meninggalkan rumah dan akan jarang bertemu keluarga, tapi merantau menuju tempat yang bahkan belum pernah didengar sebelumnya, itu terdengar menjadi sesuatu yang menyesakkan. Rasanya seperti akan dilempar ke ujian yang belum dipelajari rumusnya atau dilempar ke hutan belantara yang belum didapatkan petanya.

Saat pulang bekerja dan sendirian di rumah, mungkin akan terbayang banyak pertanyaan di kepala:

Bagaimana jika aku tidak kuat? Bagaimana jika pilihan ini salah? Bagaimana kalau kesepian terlalu menyesakkan? Bagaimana kalau dunia kerja di tempat asing ini terlalu berat untuk kutanggung sehari-hari? Bagaimana kalau aku rindu dan aku tak punya cukup bekal untuk pulang?

Apabila kita hendak merantau, sebagian orang akan berkata kepada kita, 'Kamu pasti bisa' seolah semuanya akan berjalan sesederhana itu. Padahal menjadi seorang perantau bukan hanya soal berani, tapi juga soal merelakan banyak hal yang selama ini menjadi tempat pulang. Suara orang yang kita sayang, pelukan keluarga, rutinitas yang familiar, bahkan sekadar warung makan kecil yang sudah hafal pesanan kita, meninggalkan itu semua seperti meninggalkan bagian hidup kita.

Ketika merantau kita akan meninggalkan itu semua dengan jantung yang berdebar. Di bayangan kita akan ada malam-malam panjang yang sepi, pagi yang dingin tanpa sapaan, dan rutinitas yang keras tanpa siapa-siapa untuk bersandar.

........

Tapi ternyata, apa yang aku alami tidak demikian. Hari-hari di perantauan itu datang dengan cara yang berbeda. Tidak semenyakitkan yang kubayangkan. Tidak segelap yang kutakuti. Ternyata aku bisa membuat makanan enak sendiri karena tak ada jajanan kekinian yang bisa kubeli, aku bisa pulang dan makan malam sendiri tanpa khawatir tak ada yang menemani, aku bisa menyelesaikan pekerjaan dengan baik, lalu saat lelah datang aku pun bisa menenangkan diri di kamar sendiri. Tapi anehnya aku tak merasa sendirian.

Meski ada saat di mana aku menangis menahan rindu, tapi tangis itu bagian dari aku mengungkapkan perasaanku. Dan itu tidak apa-apa. Siapa sih orang yang tidak rindu kala jauh dari rumah? Tapi meski tak bertemu setiap hari, rindu orang-orang terkasih masih bisa kuredam dari telepon yang kugenggam, meski hari-hari lebih banyak sendiri tapi kebaikan dan kehangatan orang-orang di sekelilingku di sini membuatku tak pernah merasa sendiri.

Justru saat ini salah satu takdir yang aku syukuri dalam hidup adalah ditempatkan di sini. Di sini aku belajar banyak hal baik. Banyak yang bilang bahwa 'jangan jadikan teman kerjamu teman baikmu', tapi aku tidak memahaminya, karena di sini aku bertemu teman-teman yang supportif dan perhatian. Dalam pekerjaan profesional, mereka adalah teman diskusi yang baik, dalam kehidupan sehari-hari mereka seperti keluarga yang memastikan aku baik-baik saja.

Ternyata banyak ketakutan hanya hidup di pikiran kita sendiri. Sebagian besar tidak terbukti, dan yang terbukti pun ternyata tak seburuk yang kita kira.

Aku belajar bahwa menjadi perantau tidak membuatku kehilangan arah, justru membuatku menemukan diriku sendiri. Bahwa tidak apa-apa takut, asal tetap melangkah. Tidak apa-apa di awal merasa sendiri, asal mau beradaptasi.

Aku teringat ada yang pernah mengatakan hal ini kepadaku:

Ketika suatu hal di luar kendaliku datang kepadaku, aku percaya itu bagian dari takdir yang disiapkan untukku. Jika Allah mengabulkan doaku maka aku bahagia, tetapi jika Allah tidak mengabulkan doaku maka aku lebih bahagia. Karena yang pertama adalah pilihanku, sedangkan yang kedua adalah pilihan Allah.

Dan pada akhirnya, dari kota kecil yang hening, aku tahu satu hal penting: aku bisa. Bukan karena tidak pernah takut, tapi karena tetap berjalan dengan merangkul ketakutan itu melalui keyakinan, "insya Allah bisa, aku akan baik-baik saja, karena ada Allah yang selalu menjaga setiap langkahku."

........

Untukmu yang sedang memegang surat tugas di tangan dan tengah mempertimbangkan untuk berangkat atau tetap tinggal, izinkan aku berkata:

Jangan biarkan bayangan ketakutan membuatmu berhenti melangkah. Tapi juga, jangan buru-buru mengambil keputusan besar saat hatimu masih gelisah.

Luangkan waktu untuk mencari tahu. Tentang tempat tugasmu, tentang budaya kerjanya, tentang kemungkinan-kemungkinan baik yang mungkin belum kamu lihat. Ambil keputusan setelah kepalamu cukup mendapat informasi, bukan hanya setelah hatimu dikepung oleh rasa cemas.

Sebab keputusan yang diambil dari kesadaran penuh akan terasa lebih mantap—meski jalannya tetap menanjak.

Dan bila pada akhirnya kamu memutuskan untuk tidak berangkat, itu pun bukan kegagalan. Jangan biarkan siapapun menghakimi pilihanmu, karena hanya kamu yang tahu sepenuhnya isi hidupmu. Bisa jadi ada orang tua yang sulit melepas anak satu-satunya. Bisa jadi ada janji yang belum bisa ditinggalkan. Bisa jadi ada hal-hal yang lebih dalam dari yang terlihat.

Jadi, apapun keputusanmu—melangkah atau bertahan—ambil dengan sadar. Ambil dengan penuh kasih pada dirimu sendiri. Karena keberanian bukan hanya soal berani pergi, tapi juga tentang jujur pada apa yang penting bagimu.

Karena sejatinya, hidup bukan soal siapa yang paling berani mengambil risiko, tapi siapa yang paling tulus menjalani pilihannya. Tak semua orang harus pergi jauh untuk bisa bertumbuh. Dan tak semua yang tinggal berarti tak berkembang.

Kita hanya perlu jujur pada diri sendiri: apakah keputusan yang kita ambil benar-benar karena kita telah paham dan siap, atau hanya karena ketakutan yang belum kita ajak bicara baik-baik?

Aku pernah memilih untuk tetap melangkah, dan ternyata jalannya tidak seburuk yang kutakutkan. Tapi aku juga belajar untuk tidak menganggap remeh keputusan siapapun yang memilih untuk tidak berangkat—karena kita tak pernah tahu cerita di baliknya. Mungkin mereka tak benar-benar mundur, mereka hanya memilih untuk melindungi sesuatu yang bagi mereka sangat berarti.

Jadi, untuk siapa pun yang kini sedang di persimpangan antara menetap atau melangkah, ingatlah: Perasaanmu valid, tapi jangan biarkan rasa takut jadi satu-satunya alasan. Kuatkan niat, kumpulkan informasi, lalu beri ruang untuk dirimu menimbang dengan jernih.

Kalau akhirnya kamu memilih berangkat pergi, bawalah hatimu yang utuh. Kalau akhirnya kamu memilih tetap tinggal, peluklah keputusanmu tanpa rasa bersalah.

Karena bagaimanapun juga setiap pilihan ada konsekuensi yang dijalani. Tak bisa dipungkiri setiap pilihan itu tidak hanya berpengaruh pada hidupmu semata tapi juga berpengaruh pada sistem yang telah berjalan juga pada mimpi-mimpi orang lain yang dititipkan melalui surat di tanganmu.

Yang terpenting adalah: kamu memilih dengan sadar. Bukan karena dorongan orang lain, bukan karena panik, dan bukan karena bayangan di kepala yang belum tentu benar.

Tapi bukankah hidup memang begitu? Itulah seni kehidupan. Bagaimana kita berani memilih dan bertanggungjawab pada pilihan.

Semoga di mana pun kakimu berpijak nanti—entah di tanah rantau atau tanah lahirmu—kamu tetap bisa tumbuh, tetap merasa cukup, dan tetap punya ruang untuk menjadi dirimu sendiri.


Ditulis dari tempat yang menjadi bibit tanya dalam dirimu, tapi siap menjadi ladang baru tempat bertumbuhmu.

Boalemo, 2 Juni 2025

Catatan Singkat Menjelang Pengumuman Mutasi

Malam ini, katanya akan ada pengumuman mutasi. Isu seperti itu selalu saja ada, bahkan sejak lebih dari satu sampai dua tahun yang lalu. Tap...