Pagi ini langit Boalemo dinaungi awan mendung dan gerimis. Masjid Agung Baiturrahman tetap dipadati jamaah, yang datang untuk shalat Idul Adha. Aku berada di barisan tengah, seusai sholat, berusaha menyimak khutbah yang disampaikan khatib. Aku bersemangat mengikuti sholat id di sini karena setiap khutbah yang disampaikan di masjid ini selalu menyentuh hatiku—seperti hari ini.
Khutbah pagi ini mengangkat dua hal agung yang selalu melekat dalam Idul Adha: ibadah haji dan pengorbanan Nabi Ibrahim. Tapi ia tidak berhenti sebagai peringatan keagamaan biasa. Ia hadir sebagai refleksi atas kejadian nyata yang sedang kita hadapi.
Pelajaran tentang Ibadah Haji tahun ini
Tahun ini, banyak calon jamaah haji jalur furoda—jalur nonkuota yang biayanya bisa mencapai ratusan juta rupiah per orang—gagal berangkat. Visa mereka dibatalkan sepihak oleh pemerintah Arab Saudi. Secara tiba-tiba, di luar rencana. Mereka yang sudah mempersiapkan fisik, hati, dan tabungan pun akhirnya terhenti dan tidak bisa berangkat.
Sebagian orang mungkin berkata: “Padahal sudah bayar mahal, kok bisa batal?” Justru dari sinilah pelajaran datang:
Bahwa tidak ada satu pun kuasa manusia yang mampu mendahului kehendak Allah. Bahwa izin Allah tidak bisa dibeli, meski dengan ratusan juta sekalipun.
Kisah lain dari khutbah itu lebih menyentuh lagi. Seorang jamaah bernama Ameur Al-Mansour Gaddafi, berasal dari Libya, gagal naik pesawat karena nama belakangnya mirip dengan pemimpin politik masa lalu. Ia pun harus diperiksa secara khusus hingga akhirnya rombongan berangkat tanpanya. Tapi Amir tidak mau pulang. Ia memilih menunggu di bandara, dengan keyakinan: “Saya tidak akan pergi dari sini kecuali untuk berangkat haji.”
Tak lama, pesawat yang ditumpangi rombongan Amir mengalami gangguan teknis dan harus kembali ke bandara. Namun Amir tetap tidak diikutkan karena seluruh penumpang tetap berada dalam pesawat untuk kemudian diberangkatkan lagi. Namun Amir tetap berada di bandara dan berdoa dengan keyakinan kepada Allah.
Lalu keajaiban terjadi.
Pesawat itu mengalami gangguan teknis, dan harus kembali kedua kalinya ke bandara. Dan saat kapten akhirnya tahu bahwa Amir masih menunggu, ia menyatakan bahwa pesawat tidak akan kembali terbang tanpa dirinya. Akhirnya, Amir pun ikut terbang. Kehadirannya disambut tangis dan tepuk tangan rombongannya.
Kemudian saat diwawancara media, Amir mengatakan "Saya percaya kalau itu sudah ditakdirkan untuk saya, tidak ada kekuatan yang dapat menghalanginya."
Masya Allah dari kedua kejadian di atas, kita semua belajar:
Bahwa jika Allah menghendaki, tak ada yang bisa menolak.
Dan jika Allah belum menghendaki, tak ada yang bisa memaksa.
Pelajaran dari Kisah Nabi Ibrahim dan Nabi Ismail
Lalu khutbah menuntun pada kisah pengorbanan Nabi Ibrahim dan Ismail. Sebuah teladan tentang pengorbanan seorang ayah yang diperintah menyembelih anak yang sudah lama dinanti.
"Wahai anakku sesungguhnya aku melihat dalam mimpi bahwa aku menyembelihmu. Maka fikirkanlah apa pendapatmu." (QS. As-Saffat: 102)
Seorang anak menerima dengan kerelaan dan menjawab dengan hati yang tenang:
"Wahai Ayahku, kerjakanlah apa yang diperintahkan kepadamu. Insya Allah, engkau akan mendapatiku termasuk orang-orang yang sabar." (QS. As-Saffat: 102)
Itu bukan hanya ketaatan. Tapi bentuk tertinggi dari cinta kepada Allah—ketika sesuatu yang paling kita cintai tidak lagi kita pertahankan, jika itu memang diminta oleh-Nya.
Dan pada akhirnya, Allah mengganti sembelihan itu dengan domba. Ternyata itu semua adalah ujian ketaatan. Kisah tersebut sebagai simbol bahwa ketulusan, kerelaan, dan ketaatan adalah esensi dari ibadah.
Kisah ini menyadarkan aku akan satu hal: Bahwa banyak hal yang kita genggam erat, padahal seharusnya sudah kita lepaskan kepada Allah, yaitu ketika harta, jabatan, bahkan atau relasi apapun yang kita cintai secara berlebihan telah menghalangi kita untuk taat kepada-Nya. Karena hal yang amat kita cintai bisa membuat kita berpaling dari-Nya.
Dari Nabi Ismail kita bisa belajar tentang rasa hormat, hal yang dewasa ini mulai pudar. Kita lihat sekarang banyak hubungan orang tua dan anak diwarnai pembangkangan, penentangan, hentakan, kezaliman, dan lainnya.
Sesungguhnya rasa hormat itu tidak bisa lahir begitu saja. Kita sebagai orang tua juga harus meneladani ketaatan dan kesalehan Nabi Ibrahim sehingga anak dengan kesadarannya pun bisa menghormati sosok orang tuanya.
Dan di ujung khutbah, ayat ini disebutkan:
"Kamu sekali-kali tidak akan memperoleh kebajikan (yang sempurna) sebelum kamu menginfakkan sebagian harta yang kamu cintai. Apa pun yang kamu infakkan, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui tentangnya." (QS. Ali Imran: 92)
_____
Idul Adha, pada akhirnya, bukan hanya tentang berbagi daging semata. Tapi tentang hati yang rela, jiwa yang berserah, dan manusia yang belajar bahwa tidak semua bisa dibeli, dan tidak semua harus dimiliki.
Hari ini aku belajar:
Bahwa mencintai Allah berarti siap berkorban. Bahwa berdoa bukan hanya soal meminta diberi, tapi juga ridho ketika keinginan kita sedang ditahan. Bahwa di dalam cinta ada rasa percaya, dan rela adalah bentuk tertinggi dari rasa cinta.
Selamat Idul Adha. Semoga kita tidak sekadar menyembelih hewan qurban, tapi juga menyembelih ambisi yang berlebihan, cinta dunia yang membutakan, dan ketakutan yang tak perlu.
Idul Adha adalah tentang percaya bahwa yang kita genggam erat belum tentu baik, dan yang kita lepaskan karena Allah belum tentu benar-benar hilang.
Idul Adha adalah latihan ikhlas, saat kita belajar bahwa yang paling kita cintai pun bisa menjadi ujian—dan keikhlasan adalah bentuk tertinggi dari keimanan.
Tahun ini aku pulang dari masjid dengan doa dalam hati:
Semoga aku bisa tumbuh lebih taat, lebih ikhlas, lebih rela, juga selalu percaya dan berprasangka baik kepada Allah.
Aku harus selalu percaya jika Allah benar-benar berkehendak, pintu mana pun yang terkunci rapat akan bisa terbuka. Meski bagi manusia nampak tidak mungkin, meski nampak tidak bisa terjadi.
Laa haulaa wa laa quwwata illaa billaah.
Boalemo, 10 Dzulhijjah 1446
No comments:
Post a Comment