Seperti saat melihat seekor anjing jalanan mengais sampah dengan langkah letih, atau seekor kucing yang duduk di bawah meja warung pecel lele, mengeong pelan pada setiap orang yang makan, berharap diberi sedikit sisa makanan.
Atau saat melihat sapi menarik gerobak berat, matanya kosong, jalannya pelan, sementara tubuhnya tak besar dan kuat seperti yang sering kulihat, tapi kurus dan terlihat ringkih. Ia bisa saja hidup sebagai sapi perah atau sapi pedaging, diberi makan teratur dan dilepas di padang rumput. Tapi takdir menempatkannya di tengah jalan raya, jadi alat angkut manusia.
Ada pula semut yang tak sengaja terinjak. Atau ikan yang berenang bebas pagi hari, lalu terjaring nelayan sore harinya. Semua itu terjadi setiap hari. Di dunia yang sama dengan kita, tapi dalam cerita hidup yang tak pernah kita anggap sedang berjalan juga.
Lalu aku bertanya-tanya…
Saat anjing dan kucing itu berjalan sendirian, apakah mereka kesepian? Saat sapi harus menarik beban berat, apakah dalam hatinya ada keinginan untuk berontak? Saat seekor semut atau ikan mati karena takdir alam atau ulah manusia, apakah keluarganya kehilangan?
Ternyata mungkin inilah alasan Allah tidak membebani hewan dengan akal dan rasa sedalam manusia. Karena jika mereka bisa merasakan seperti kita, bayangkan betapa sering mereka harus menanggung kesedihan. Berapa kali mereka akan meratap karena kehilangan, dan berapa banyak mereka akan depresi karena terus dieksploitasi tanpa pilihan.
Dalam kemungkinan terburuk, bayangkan bagaimana mengerikannya jika hewan punya akal seperti manusia, dalam kondisi tertentu ia akan menjadi serakah, dan ingin menguasai manusia atau juga dunia. Manusia akan hidup penuh was was dan tak pernah tenang.
Menariknya, Allah tidak membiarkan kita berpikir bahwa hewan hanyalah makhluk rendahan. Dalam QS. Al-An’am (6): 38, Allah berfirman:
“Dan tidak ada suatu binatang melata pun di bumi dan burung-burung yang terbang dengan kedua sayapnya, melainkan mereka adalah umat-umat (juga) seperti kamu.”
Ayat ini seperti tamparan halus bagi kita—pengingat bahwa hewan bukan figuran dalam cerita manusia. Mereka punya peran, punya nilai, dan punya tempat di mata Allah sebagai umat, bukan sebagai objek yang bebas kita perlakukan sesuka hati.
Maka bisa jadi, ini bukan soal siapa lebih tinggi, tapi siapa lebih sadar akan tanggung jawabnya.
Dalam ayat lain, Allah mengingatkan bahwa hewan-hewan yang kita manfaatkan sehari-hari adalah bentuk kasih sayang-Nya bagi manusia, bukan legitimasi untuk bersikap semena-mena. Dalam QS. An-Nahl (16): 5–7, disebutkan:
“Dan Dia menciptakan binatang ternak untuk kamu; padanya ada (bulu) yang menghangatkan dan berbagai manfaat, dan sebagiannya kamu makan... dan ia memikul beban-bebanmu ke negeri yang kamu tidak sanggup mencapainya kecuali dengan susah payah.”
Ya, mereka memang diciptakan untuk kita. Tapi perhatikan bagaimana ayat itu ditutup:
“Sesungguhnya Tuhanmu Maha Pengasih, Maha Penyayang.”
Artinya, relasi manusia dan hewan semestinya terjadi dalam payung kasih sayang, bukan dominasi. Hewan boleh bermanfaat bagi manusia, tapi manusia tidak boleh kehilangan belas kasihnya sebagai balasan atas manfaat itu.
Mereka tidak sekadar makhluk yang sedang hidup. Mereka juga makhluk hidup.
Mereka berperan menjaga keseimbangan alam, tanpa kita sadari.
Mereka memenuhi banyak kebutuhan manusia. Mereka menjadi penjaga kesetiaan tanpa janji. Menjadi teman bagi manusia tanpa meminta balas jasa. Menjadi makanan, tenaga, penghibur lara, dan masih banyak hal lainnya, tanpa banyak suara (red: protes).
Sementara kita?
Kita yang diberi akal dan hati, sering lupa bahwa anugerah itu seharusnya menjadi alat untuk melindungi, bukan membenarkan kuasa atas makhluk lain. Kita sibuk merasa lebih tinggi karena bisa berpikir dan berbicara, tapi kadang tumpul dalam rasa.
Betapa ironisnya—mereka tak punya suara, tapi justru merekalah yang paling setia. Mereka tak bisa bertanya, tapi justru merekalah yang terus memberi. Mereka tak tahu caranya memprotes, tapi justru merekalah yang paling sering dikorbankan.
Aku mulai bertanya pada diriku sendiri: Apakah selama ini kita terlalu sibuk menjadi makhluk cerdas, sampai lupa menjadi makhluk berbelas kasih?
Aku membayangkan di akhirat kelak, mereka -para makhluk diam yang hidupnya tampak kecil di mata kita- akan datang sebagai saksi. Bukan untuk menuntut, tapi berkata, “Aku ada. Aku pernah hidup. Tapi tak pernah kau lihat sebagai makhluk yang juga berhak dihormati.”
Bayangkan pula sebaliknya, bila kita menjadi manusia yang memperlakukan mereka dengan baik kemudian mereka datang dan berkata "Terima kasih. Kau jadikan bumi ini sedikit lebih layak kutinggali, meski hanya sebentar."
---
Hari ini, aku tak bisa menyelamatkan dunia. Tapi mungkin aku bisa mulai dengan hal kecil: memberi makan seekor kucing lapar, mengangkat semut dari genangan air, atau tidak memainkannya atas nama penasaran.
Karena ternyata, bukan hanya soal akal dan hati, tapi juga soal pilihan.
Apakah kita mau jadi manusia… atau sekadar makhluk hidup yang pandai tapi tak merasa?
Semoga kita bisa menjadi manusia yang tidak hanya cerdas, tapi juga lembut, sadar, dan bertanggung jawab, termasuk terhadap sesama makhluk yang berdampingan dengan kita dan hidup bersama di bumi yang sama.
No comments:
Post a Comment