Sebelum seseorang memutuskan benar-benar pergi merantau karena sebuah tugas negara, pada umumnya akan dihantui banyak ketakutan. Bukan hanya soal meninggalkan rumah dan akan jarang bertemu keluarga, tapi merantau menuju tempat yang bahkan belum pernah didengar sebelumnya, itu terdengar menjadi sesuatu yang menyesakkan. Rasanya seperti akan dilempar ke ujian yang belum dipelajari rumusnya atau dilempar ke hutan belantara yang belum didapatkan petanya.
Saat pulang bekerja dan sendirian di rumah, mungkin akan terbayang banyak pertanyaan di kepala:
Bagaimana jika aku tidak kuat? Bagaimana jika pilihan ini salah? Bagaimana kalau kesepian terlalu menyesakkan? Bagaimana kalau dunia kerja di tempat asing ini terlalu berat untuk kutanggung sehari-hari? Bagaimana kalau aku rindu dan aku tak punya cukup bekal untuk pulang?
Apabila kita hendak merantau, sebagian orang akan berkata kepada kita, 'Kamu pasti bisa' seolah semuanya akan berjalan sesederhana itu. Padahal menjadi seorang perantau bukan hanya soal berani, tapi juga soal merelakan banyak hal yang selama ini menjadi tempat pulang. Suara orang yang kita sayang, pelukan keluarga, rutinitas yang familiar, bahkan sekadar warung makan kecil yang sudah hafal pesanan kita, meninggalkan itu semua seperti meninggalkan bagian hidup kita.
Ketika merantau kita akan meninggalkan itu semua dengan jantung yang berdebar. Di bayangan kita akan ada malam-malam panjang yang sepi, pagi yang dingin tanpa sapaan, dan rutinitas yang keras tanpa siapa-siapa untuk bersandar.
........
Tapi ternyata, apa yang aku alami tidak demikian. Hari-hari di perantauan itu datang dengan cara yang berbeda. Tidak semenyakitkan yang kubayangkan. Tidak segelap yang kutakuti. Ternyata aku bisa membuat makanan enak sendiri karena tak ada jajanan kekinian yang bisa kubeli, aku bisa pulang dan makan malam sendiri tanpa khawatir tak ada yang menemani, aku bisa menyelesaikan pekerjaan dengan baik, lalu saat lelah datang aku pun bisa menenangkan diri di kamar sendiri. Tapi anehnya aku tak merasa sendirian.
Meski ada saat di mana aku menangis menahan rindu, tapi tangis itu bagian dari aku mengungkapkan perasaanku. Dan itu tidak apa-apa. Siapa sih orang yang tidak rindu kala jauh dari rumah? Tapi meski tak bertemu setiap hari, rindu orang-orang terkasih masih bisa kuredam dari telepon yang kugenggam, meski hari-hari lebih banyak sendiri tapi kebaikan dan kehangatan orang-orang di sekelilingku di sini membuatku tak pernah merasa sendiri.
Justru saat ini salah satu takdir yang aku syukuri dalam hidup adalah ditempatkan di sini. Di sini aku belajar banyak hal baik. Banyak yang bilang bahwa 'jangan jadikan teman kerjamu teman baikmu', tapi aku tidak memahaminya, karena di sini aku bertemu teman-teman yang supportif dan perhatian. Dalam pekerjaan profesional, mereka adalah teman diskusi yang baik, dalam kehidupan sehari-hari mereka seperti keluarga yang memastikan aku baik-baik saja.
Ternyata banyak ketakutan hanya hidup di pikiran kita sendiri. Sebagian besar tidak terbukti, dan yang terbukti pun ternyata tak seburuk yang kita kira.
Aku belajar bahwa menjadi perantau tidak membuatku kehilangan arah, justru membuatku menemukan diriku sendiri. Bahwa tidak apa-apa takut, asal tetap melangkah. Tidak apa-apa di awal merasa sendiri, asal mau beradaptasi.
Aku teringat ada yang pernah mengatakan hal ini kepadaku:
Ketika suatu hal di luar kendaliku datang kepadaku, aku percaya itu bagian dari takdir yang disiapkan untukku. Jika Allah mengabulkan doaku maka aku bahagia, tetapi jika Allah tidak mengabulkan doaku maka aku lebih bahagia. Karena yang pertama adalah pilihanku, sedangkan yang kedua adalah pilihan Allah.
Dan pada akhirnya, dari kota kecil yang hening, aku tahu satu hal penting: aku bisa. Bukan karena tidak pernah takut, tapi karena tetap berjalan dengan merangkul ketakutan itu melalui keyakinan, "insya Allah bisa, aku akan baik-baik saja, karena ada Allah yang selalu menjaga setiap langkahku."
........
Untukmu yang sedang memegang surat tugas di tangan dan tengah mempertimbangkan untuk berangkat atau tetap tinggal, izinkan aku berkata:
Aku pernah memilih untuk tetap melangkah, dan ternyata jalannya tidak seburuk yang kutakutkan. Tapi aku juga belajar untuk tidak menganggap remeh keputusan siapapun yang memilih untuk tidak berangkat—karena kita tak pernah tahu cerita di baliknya. Mungkin mereka tak benar-benar mundur, mereka hanya memilih untuk melindungi sesuatu yang bagi mereka sangat berarti.Jangan biarkan bayangan ketakutan membuatmu berhenti melangkah. Tapi juga, jangan buru-buru mengambil keputusan besar saat hatimu masih gelisah.
Luangkan waktu untuk mencari tahu. Tentang tempat tugasmu, tentang budaya kerjanya, tentang kemungkinan-kemungkinan baik yang mungkin belum kamu lihat. Ambil keputusan setelah kepalamu cukup mendapat informasi, bukan hanya setelah hatimu dikepung oleh rasa cemas.
Sebab keputusan yang diambil dari kesadaran penuh akan terasa lebih mantap—meski jalannya tetap menanjak.
Dan bila pada akhirnya kamu memutuskan untuk tidak berangkat, itu pun bukan kegagalan. Jangan biarkan siapapun menghakimi pilihanmu, karena hanya kamu yang tahu sepenuhnya isi hidupmu. Bisa jadi ada orang tua yang sulit melepas anak satu-satunya. Bisa jadi ada janji yang belum bisa ditinggalkan. Bisa jadi ada hal-hal yang lebih dalam dari yang terlihat.
Jadi, apapun keputusanmu—melangkah atau bertahan—ambil dengan sadar. Ambil dengan penuh kasih pada dirimu sendiri. Karena keberanian bukan hanya soal berani pergi, tapi juga tentang jujur pada apa yang penting bagimu.
Karena sejatinya, hidup bukan soal siapa yang paling berani mengambil risiko, tapi siapa yang paling tulus menjalani pilihannya. Tak semua orang harus pergi jauh untuk bisa bertumbuh. Dan tak semua yang tinggal berarti tak berkembang.
Kita hanya perlu jujur pada diri sendiri: apakah keputusan yang kita ambil benar-benar karena kita telah paham dan siap, atau hanya karena ketakutan yang belum kita ajak bicara baik-baik?
Jadi, untuk siapa pun yang kini sedang di persimpangan antara menetap atau melangkah, ingatlah: Perasaanmu valid, tapi jangan biarkan rasa takut jadi satu-satunya alasan. Kuatkan niat, kumpulkan informasi, lalu beri ruang untuk dirimu menimbang dengan jernih.
Kalau akhirnya kamu memilih berangkat pergi, bawalah hatimu yang utuh. Kalau akhirnya kamu memilih tetap tinggal, peluklah keputusanmu tanpa rasa bersalah.
Karena bagaimanapun juga setiap pilihan ada konsekuensi yang dijalani. Tak bisa dipungkiri setiap pilihan itu tidak hanya berpengaruh pada hidupmu semata tapi juga berpengaruh pada sistem yang telah berjalan juga pada mimpi-mimpi orang lain yang dititipkan melalui surat di tanganmu.
Yang terpenting adalah: kamu memilih dengan sadar. Bukan karena dorongan orang lain, bukan karena panik, dan bukan karena bayangan di kepala yang belum tentu benar.
Tapi bukankah hidup memang begitu? Itulah seni kehidupan. Bagaimana kita berani memilih dan bertanggungjawab pada pilihan.Semoga di mana pun kakimu berpijak nanti—entah di tanah rantau atau tanah lahirmu—kamu tetap bisa tumbuh, tetap merasa cukup, dan tetap punya ruang untuk menjadi dirimu sendiri.
Ditulis dari tempat yang menjadi bibit tanya dalam dirimu, tapi siap menjadi ladang baru tempat bertumbuhmu.
Boalemo, 2 Juni 2025
No comments:
Post a Comment