Aku baru selesai menonton drama korea berjudul When Life Gives You Tangerines, sebuah drama yang lembut, sunyi, tapi meninggalkan gema panjang di hati. Bukan karena alurnya yang dramatis, bukan karena plot twist atau dialog penuh air mata, tapi karena satu hal yang pelan-pelan menyentuh kesadaranku: kebahagiaan ternyata bisa diwariskan.
Drama ini secara garis besar bercerita tentang tiga perempuan dari satu garis keturunan: ibu Ae Sun, Ae Sun sendiri, dan anak perempuan Ae Sun. Masing-masing hidup dalam zaman berbeda. Masing-masing punya cara sendiri dalam bertahan dan mencintai.
Yang paling menggetarkan bagiku justru adalah tokoh ibu Ae Sun. Perempuan tangguh yang hidup dalam keterbatasan, menelan banyak duka dalam diam. Ae Sun tumbuh dalam bayang-bayang itu, hidupnya pun tidak mudah, tapi ia terlihat lebih bahagia, lebih punya ruang untuk tertawa dan punya keberanian untuk bermimpi meski akhirnya tak punya banyak pilihan. Lalu anak perempuan Ae Sun hidup dalam masa yang lebih lapang, lebih berani bermimpi, tapi ia bisa lebih bebas menentukan arah hidupnya, bahkan menjalani mimpinya.
Dari situ, aku tiba-tiba terdiam.
Seolah ada satu pintu kesadaran terbuka:
"Mungkinkah kebahagiaan yang kita rasakan hari ini adalah hasil dari pengorbanan diam-diam generasi sebelum kita?"
Mungkin kita merasa sudah berusaha keras, sudah berdoa sungguh-sungguh, lalu hidup menjadi lebih baik. Tapi bisa jadi ada doa yang lebih tua, lebih sunyi, lebih dalam... yang menjadi fondasi dari kebahagiaan kita sekarang.
Doa ibu kita. Doa nenek kita.
Air mata mereka. Lelah mereka.
Yang tak sempat kita lihat, tapi bekerja diam-diam membentuk jalan kita.
Bayangkan...
Saat kita merasa cukup hari ini, mungkin karena dulu ada perempuan yang rela lapar agar anaknya kenyang.
Saat kita bisa memilih jalan hidup kita sendiri, mungkin karena ada seorang ibu yang dulu hidupnya tidak diberi pilihan sehingga berupaya agar anaknya kelak bisa merasakan bagaimana memilih berbagai alternatif pilihan.
Dan saat kita bisa berkata “aku bahagia,” mungkin itu adalah buah dari pohon yang mereka tanam dalam tangis.
Aku jadi bertanya-tanya...
Mungkin ibu kita, saat seumur kita sekarang, tak sempat menikmati hidup sebagaimana kita.
Tapi kitalah yang memanen bahagia dari benih yang ia tanam.
Dan kini, ketika aku sendiri menjadi ibu—aku mulai sadar. Mungkin semua kelelahan dan ketidaksempurnaan yang kurasakan sekarang, semua perjuangan yang belum berbuah manis, adalah bentuk dari warisan yang sedang kutanam.
Untuk anak-anakku. Untuk cucuku kelak.
Ternyata menjadi ibu bukan hanya tentang melahirkan dan membesarkan. Tapi juga tentang melanjutkan kebaikan, tentang menyalakan harapan, tentang mengajarkan makna kebahagiaan yang sesungguhnya, tentang berupaya anak-anak kita tidak harus melalui kegelapan yang sama.
Dan jika kebahagiaan adalah warisan, maka aku ingin menjadi pewarisnya. Dan karena bagiku kebahagiaan sejati bukan diukur secara materi, maka aku ingin menjadi Pewaris yang tak hanya mewariskan apa yang terlihat oleh mata manusia tapi juga mewariskan hal yang terlihat oleh mata hati manusia, yaitu iman, kebaikan dan nilai-nilai kehidupan.
Aku ingin menjaga rantai kebaikan itu agar tidak terputus. Aku ingin anak-anakku tumbuh dan menyadari bahwa hidup yang lebih baik yang mereka nikmati, bukanlah hasil mereka sendiri, tapi juga hasil cinta-cinta sunyi dari ibu dan neneknya. Aku tidak mungkin bisa memberikan nasihat kehidupan kepada anakku jika aku tak mengalami suka duka dalam perjalanan hidupku, dan dalam suka duka itulah iman, kebaikan, dan nilai-nilai kehidupan yang ditanamkan ibuku padaku baik langsung atau tidak langsung, sangat membantuku untuk tetap bertahan.
Dan sekarang... aku pun bersyukur.
Karena aku punya ibu yang telah menanamkan iman, kebaikan, dan nilai-nilai kehidupan untukku. Ibu tidak memberi kemudahan di depan mata tapi apa yang ia ajarkan menjadi dasarku dalam menentukan setiap pilihan dalam hidup dan mendorongku memiliki keberanian untuk menghadapi dan menjalani setiap pilihan itu.
Aku ingin menjadi ibu yang juga menanam iman, kebaikan dan nilai-nilai kehidupan untuk anakku, sebagai bekal ia menjalani kehidupan dalam fase apapun. Dengan atau tanpaku.
---
Ya Allah bahagiakanlah hati ibuku yang telah bersusah payah mengusahakan kebahagiaan untukku, jadikanlah aku bisa mewariskan kebahagiaan itu juga untuk anakku, dan mudahkanlah anakku meraih kebahagiaan itu, serta melanjutkannya untuk cucuku.
No comments:
Post a Comment