Friday, 20 June 2025

Doa Orang yang Memaafkan

Ketika seseorang menyakiti kita, kita dihadapkan pada beberapa jalan:

  • memaafkan dan mendoakan; atau
  • tidak memaafkan dan mengharap keadilan Allah di akhirat; atau
  • memaafkan tapi berharap Allah segera membalasnya di dunia


Dizalimi itu menyakitkan.

Dan kadang, luka paling dalam bukanlah luka fisik, tapi luka yang tak bisa dijelaskan… hanya bisa dirasakan.

Namun justru di saat-saat paling menyakitkan itulah, Allah menghadiahkan sebuah keistimewaan:

Doa orang yang terzalimi tak bersekat menuju langit.


Aku menyebutnya golden time.

Momen langka, waktu sakral—saat hati yang hancur justru paling didengar oleh Allah.


Kita bisa saja membalas.

Tapi bukankah itu hanya menjerumuskan kita pada lingkar luka yang sama?

Kita bisa saja mencaci.

Tapi bukankah yang diperintahkan adalah berkata baik atau diam?


Maka, ketika kita memilih diam…

dan justru berdoa:

Ya Allah, Engkau Mahatahu bahwa aku bisa membalas, tapi aku memilih diam karenaMu. Maka gantilah rasa sakit ini dengan kebaikan yang Engkau ridhai. Balaslah dengan adil. Bila Engkau kehendaki, ubahlah ia menjadi pribadi yang lebih baik.

Itu bukan kelemahan. Itu adalah kekuatan yang tenang.

Dan ketika kita mendoakan dalam diam, malaikat pun berkata:

"Dan untukmu juga, semoga mendapat yang sama."

Bayangkan.

Dua kekuatan doa. Doa yang tulus dari hati yang terluka, dan doa malaikat yang tak berdosa, bertemu pada satu waktu.

Bukankah itu tanda bahwa Allah benar-benar dekat?


Aku tahu… semua ini tidak mudah.

Bahkan mungkin terdengar naif. Seolah kita sok bijak, sok jadi malaikat padahal hati sedang berantakan.

Tapi percayalah, cara ini bukan tentang terlihat baik.

Ini tentang membebaskan hati dari beban, karena kita ingin hidup dengan tenang.

Dan bukankah kita juga ingin dijemput Allah dalam keadaan jiwa yang damai?


Lalu, mungkin ada yang bertanya, seperti aku pun pernah bertanya pada diriku sendiri:

"Kalau aku sudah memaafkan, tapi masih berharap agar orang itu mendapat balasan setimpal, apakah itu artinya aku belum benar-benar memaafkan?"

Dan jawabanku adalah:

Mungkin… kita sudah memaafkan, tapi belum sepenuhnya ikhlas.

Karena memaafkan itu proses.

Kadang kita sudah tidak ingin membalas, tidak menyebarkan aibnya, tidak membicarakannya, itu sudah bentuk memaafkan.

Tapi di dalam hati, masih tersisa harapan agar Allah membalasnya dengan adil.

Bukan karena kita pendendam,

tapi karena hati butuh rasa keadilan untuk sembuh.


Jika doa kita berbunyi:

"Ya Allah, balaslah sesuai keadilan-Mu, aku serahkan semua pada-Mu,"

itu bukan keburukan. Itu tawakal.

Itu bentuk memaafkan yang jujur—bukan sok suci, tapi juga tak mengabaikan luka.


Namun, jika hati masih berharap dia tersiksa, jatuh sejatuh-jatuhnya—

maka bisa jadi, kita belum memaafkan… kita hanya melepaskan genggaman, tapi belum merelakan.


Di sinilah kita diuji:

Apakah kita ingin balasan berupa penderitaan untuknya,

atau balasan berupa pelajaran, dan perubahan?


Karena saat kita bisa berkata:

"Aku tak ingin membalas. Aku ingin damai. Aku serahkan semuanya pada-Mu Ya Rabb. Aku yakin keadilan-Mu lebih sempurna dari semua skenario yang bisa kurancang sendiri,"

maka itulah bentuk tertinggi dari memaafkan.

Memaafkan bukan untuk membuat dia tenang.

Tapi agar kita sendiri hidup tanpa beban amarah yang perlahan-lahan mencuri bahagia.


Allah sendiri sudah menjanjikan:

Balasan suatu keburukan adalah keburukan yang setimpal. Akan tetapi, siapa yang memaafkan dan berbuat baik (kepada orang yang berbuat jahat), maka pahalanya dari Allah. Sesungguhnya Dia tidak menyukai orang-orang zalim.”

(QS. Asy-Syura: 40)


Bersegeralah menuju ampunan dari Tuhanmu dan surga (yang) luasnya (seperti) langit dan bumi yang disediakan bagi orang-orang yang bertakwa,yaitu) orang-orang yang selalu berinfak, baik di waktu lapang maupun sempit, orang-orang yang mengendalikan kemurkaannya, dan orang-orang yang memaafkan (kesalahan) orang lain. Allah mencintai orang-orang yang berbuat kebaikan.

(QS. Ali Imran: 133-134)

---

Kita tak selalu harus memaafkan secepat itu. Tapi kita bisa memilih untuk tidak ikut berubah buruk karena luka.

Kita bisa memilih untuk mendoakan yang terbaik untuk diri kita sendiri dan membiarkan Allah yang mengurus sisanya.

---

Memaafkan itu bukan untuk mereka, tapi untuk diri kita sendiri.

Karena kita berhak hidup dengan damai, tanpa terus membawa dendam yang membebani langkah, tanpa membiarkan luka lama mendikte cara kita mencintai hidup.

Kita memilih memaafkan bukan karena mereka pantas dimaafkan, tapi karena kita pantas untuk hidup tenang.

Karena pada akhirnya kita bukan ingin menang atas orang lain. Tapi menang atas hati kita sendiri.

Dan bukankah tidak ada kemenangan yang lebih indah daripada kita pulang dalam keadaan jiwa yang tenang?

No comments:

Post a Comment

Rindu di Setiap Langkah

Pagi ini aku berjalan tanpa rute, mengikuti ke mana kaki ingin melangkah. Udara lembap, langit belum terlalu terang, dan setiap langkah tera...