Monday, 26 May 2025

Yang Kita Tinggali Sementara dan yang Kita Tinggalkan Selamanya

 "Dunia ini seperti membangun rumah bagi orang yang tak akan pernah menempatinya, dan mengumpulkan harta bagi orang yang tak akan pernah memilikinya"

Itulah kalimat yang terlintas di pikiranku ketika kemarin datang melayat ibu dari seorang teman. Dalam sunyi dan doa, aku menyadari bahwa: kita hidup di dunia ini seperti sedang tinggal di rumah sewa—nyaman untuk sesaat, tapi bukan milik kita selamanya.

Ada orang yang menghabiskan hidupnya membangun rumah impian, membeli tanah, menyusun batu bata dengan hati-hati. Tapi sebelum sempat menempatinya, usianya sudah habis. Ada pula yang sibuk mengejar harta, bekerja siang malam demi mengumpulkan angka di rekening. Tapi sebelum bisa menikmati semuanya, hidupnya telah usai. 

Begitu banyak energi kita curahkan untuk memperindah dunia, menyusun rencana-rencana, mengejar pencapaian, dan meraih pengakuan. Tapi ada satu kebenaran yang sering datang hanya dalam sunyi, dalam merenungi kepergian seseorang, atau dalam perenungan yang jujur: bahwa semua ini, akhirnya, akan kita tinggalkanAkan sangat merugi jika setiap yang kita usahakan hanya diniatkan untuk dunia, karena ternyata kita tak akan pernah benar-benar tinggal di sini selamanya.

Rumah kita yang sebenarnya bukan di sini. Dan harta kita yang sesungguhnya bukan yang kita simpan, melainkan yang kita tinggalkan dalam bentuk kebaikan. Rumah, harta, dan apapun yang kita kejar kelak hanya akan menjadi sesuatu yang tidak ada artinya jika tidak dilandasi iman dan kebaikan.

Ada tiga hal yang akan tetap tinggal saat kita pergi:

  • Sedekah jariyah

Sedekah bisa dalam bentuk apapun dan nominal berapapun sepanjang diniatkan karena Allah dan untuk kebaikan di jalan Allah.

  • Ilmu yang bermanfaat

Ilmu bermanfaat itu bukan sekedar ilmu yang terdaftar di kurikulum, nilai kehidupan yang selaras dengan iman pun juga ilmu, bahkan tulisan-tulisan kita di sosial media yang meninggalkan manfaat itu juga ilmu.

  • Anak-anak yang sholih

Dengan menyadari bahwa dunia ini akan kita tinggalkan selamanya maka ketika menjadi orang tua, cara kita memandang anak kita pun menjadi berbeda, ternyata hidup sukses kaya raya bukanlah tolak ukur keberhasilan orang tua, tetapi keberhasilan adalah ketika anak tumbuh dalam iman dan kebaikan, maka apapun jalan hidup yang dipilih pasti akan menjadi berkah baginya, dan juga bagi orang tua yang mendidik nilai-nilai kehidupan pada anaknya.

Ketiganya adalah warisan yang hidup ketika nama kita tak lagi disebut-sebut. Dan ketiga hal itu punya persamaan, yaitu adanya keberlanjutan dan kebermanfaatan. Ada "estafet" dari diri kita pada sekitar kita.

Hal-hal demikianlah yang seharusnya bisa membuat kita menjalani hari-hari ini bukan dengan tergesa, tapi dengan utuh dan penuh kesadaran, karena ada "misi" yang hendak kita jalankan. Namun di tengah hiruk pikuk dunia, kadang secara tidak sadar kita berpikir bahwa: kalau dunia ini cuma sebentar, untuk apa terlalu peduli dengan orang lain?

Justru karena sebentar, kita harus menjalaninya dengan sebaik-baiknya. Menjaga sikap, menjaga amanah, menjaga kata dan perbuatan, menjaga dari mana harta kita dapatkan dan ke mana dibelanjakan, dsb. Karena cara kita hidup—meski tak kekal—bisa menjadi warisan tak ternilai bagi orang-orang yang kita cintai.

Dunia inilah tempat satu-satunya kita menyiapkan bekal untuk pulang ke rumah kita yang sesungguhnya. Bukankah hal itu seharusnya membuat kita bersemangat untuk hidup? Karena setiap kita membuka mata di pagi hari artinya, "aku masih diberi kesempatan satu kali lagi".

...

Hidup ini singkat.
Terlalu singkat untuk dijalani tanpa arah.
Justru karena singkat,
setiap detik adalah ladang—tempat kita menanam benih manfaat
karena manfaat itulah bekal yang bisa dibawa bersama jasad.

Kita tidak menetap,
kita hanya penyewa
Namun semoga, selama singgah,
kita sempat menumbuhkan nilai dengan sungguh,
sempat meninggalkan jejak
yang terus hidup meski kita telah terkubur pada tanah yang dipijak.

Sebab warisan iman dan amal kebaikan—
itulah yang akan mempertemukan kita kembali:
dengan keluarga, sahabat,
dan jiwa-jiwa baik yang pernah menyentuh hidup kita.

Mari kita perbaiki niat kita dalam mengejar dunia

Mari kita tanam nilai-nilai dan amal-amal itu,
di tempat yang kita tinggali sementara
demi suatu hari di mana kita berkumpul kembali—
di tempat yang (bisa) kita tinggali selamanya.

_______________________________________


Ketahuilah bahwa kehidupan dunia itu hanyalah permainan, kelengahan, perhiasan, dan saling bermegah-megahan di antara kamu serta berlomba-lomba dalam banyaknya harta dan anak keturunan. 
(QS. Al Hadid: 20)

---

Dan, carilah pada apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu (pahala) negeri akhirat, tetapi janganlah kamu lupakan bagianmu di dunia. Berbuat baiklah (kepada orang lain) sebagaimana Allah telah berbuat baik kepadamu dan janganlah kamu berbuat kerusakan di bumi. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berbuat kerusakan

(QS. Al Qashash: 77)

Thursday, 22 May 2025

SK Mutasi: Bukan Sekedar Naskah di Atas Kertas

Ada sebuah naskah yang tak ditulis oleh tangan manusia. Ia tidak tercetak dalam tinta, tidak pula diumumkan lewat pengumuman resmi. Tapi naskah itu hidup—mengalir dalam setiap detak jantungku, dalam kelelahan yang tak pernah aku umumkan, dalam cinta yang aku titipkan di punggung tangan setiap kali melihat anak-anakku tertidur setelah aku meninabobokan meski berada ribuan kilometer dari mereka.

Naskah itu pernah menuliskan:


Bahwa aku akan jauh dari anak-anakku untuk menegakkan keadilan.

Bahwa aku akan mencintai pekerjaanku, bahkan saat tubuhku ingin menyerah.

Bahwa aku akan duduk dalam ruang sidang, menjadi tegas tapi harus tenang, menjadi berimbang tapi tidak boleh bimbang, kemudian harus mengadili tanpa menghakimi.

Bahwa aku akan menjadi perempuan yang berdiri di tengah kehidupan—bersama sosok lelaki yang mengajariku tetap tersenyum dalam setiap keadaan, bahkan bisa tertawa bersama menertawai diri kami sendiri, yang dengan percaya diri selalu pulang beberapa kali setahun dengan keyakinan: gapapa, pasti ada, pasti cukup, karena meski tabungan menipis ternyata Allah selalu memberi rasa cukup di dalam hati selama berasal dari yang baik dan untuk sesuatu yang baik.

Dan kini… halaman berikutnya sedang dibuka.
Belum aku lihat tempatnya. Belum aku tahu kapan keputusan itu diberikan. Tapi aku yakin Allah sudah menetapkannya.
Belum aku tahu di kota mana aku akan menapak…
Tapi setiap aku lihat ke belakang, aku tahu Dia tak pernah salah meletakkan takdir. Jadi, kenapa harus risau?

Jika aku ditempatkan lebih dekat dengan anak-anak, itu berarti hatiku sudah cukup untuk diuji dalam jarak dan perpisahan.
Jika aku tetap jauh, itu berarti ada cahaya yang Allah titipkan padaku, untuk menerangi tempat yang lebih membutuhkan keadilan, dan Allah ingin aku yang mewujudkannya di sana, melalui goresan pena yang didahului perenungan yang dalam.

Apapun yang tertulis nanti…
Itu bukan hasil dari rapat pimpinan semata.
Itu bagian dari naskah besar yang Allah tulis, yang pasti terbaik untukku.

Maka aku harus membaca naskah itu dengan iman.
Aku harus menjalani bab berikutnya dengan syukur dan sabar.
Dan suatu saat nanti ketika aku menengok ke belakang lagi, aku akan berkata:

“Ya Allah… ternyata Engkau benar-benar memberi jalan terbaik untukku.”

Sama halnya seperti hari ini, saat aku begitu mensyukuri menjalani langkah pertamaku di sini. Tempat di mana aku punya banyak waktu untuk melihat setiap perkara dengan lebih mendalam, untuk belajar membawa diri dengan baik, dan untuk memahami banyak hal secara menyeluruh. Semua tidak akan aku dapatkan jika aku berada di tempat yang dekat dan beban yang padat.

Di manapun nanti, percayalah pasti yang terbaik untukku, untuk kamu, untuk kita.

-------------------

Ditulis saat dag dig dug, menunggu naskah di atas kertas berjudul: TPM

Boalemo, Mei 2025


"Dan berdoalah: Ya Tuhanku, tempatkanlah aku pada tempat yang diberkati, dan Engkau adalah sebaik-baik Yang memberi tempat"

(QS. Al Mu'minun: 29)

Tuesday, 20 May 2025

Refleksi 33 Tahun: Bangkit dalam Nama dan Makna

Usia 33 tahun. Bagi orang lain mungkin itu hanyalah angka. Tapi bagiku yang menjalani, hari ini aku ingin mengingat perjalanan hidup yang menyimpan begitu banyak cerita. Hari ini aku tidak hanya bertambah usia, tapi aku bertambah dalam kesadaran—tentang siapa aku, ke mana aku melangkah, dan apa makna dari semua ini.


Namaku Bangkit. Dan mungkin baru di usia ini aku benar-benar menghayati makna nama itu.

Bangkit… bukan sekadar berdiri setelah jatuh. Tapi juga tentang menerima bahwa kejatuhan itu pun bagian dari jalan hidup yang harus dilalui. Tentang memilih tetap bernapas saat dunia serasa menyesakkan. Tentang memeluk luka tanpa harus mengutuk mengapa ia datang. Tentang berjalan di lorong-lorong sunyi dalam menjalani peran sebagai ibu, istri, anak, sekaligus peran dalam pekerjaan ini—dan menjadikannya ruang kontemplasi, bukan penjara.


Sudah lima tahun aku menjalani tugas di tempat yang jauh dari anak-anak. Adil dan Damai, dua nama yang setiap malam kusebut dalam doa. Dua cahaya yang mengajarkanku bahwa cinta tidak diukur dari jarak, tapi dari kesungguhan hati untuk tetap hadir—meski lewat suara, gambar, atau surat-surat yang kusematkan dalam jurnal-jurnal malamku.

Suamiku pun tak selalu di sisi. Tapi dari keterpisahan jarak itu aku belajar bahwa pernikahan bukan tentang terus bersama secara fisik, melainkan tentang saling menjaga dalam komitmen yang terus diperbaharui dengan doa dan perjuangan.


Di usia ini, aku mulai percaya ungkapan bahwa integritas adalah "kemewahan" yang harus terus dijaga. Sebenarnya ungkapan inipun salah, karena integritas seharusnya menjadi "bare minimum" setiap dari kita. Di ruang sidang, aku menyaksikan manusia dalam berbagai lapis luka dan ego. Tapi di balik palu, aku tahu: aku juga manusia. Maka tugasku bukan sekadar menjatuhkan putusan, tapi menghadirkan keadilan yang hidup—yang memanusiakan. Dan untuk bisa memiliki nurani itu aku harus menjaga hatiku dengan sebaik-baiknya karena aku sadar perbuatan buruk akan menodai hati dan menghalangi petunjuk dan kebijaksanaan masuk ke dalam hatiku.


Dulu aku berpikir, usia matang itu tentang tahu segalanya. Tapi ternyata tidak. Usia 33 justru membuatku lebih banyak bertanya. Lebih sering diam. Lebih sering bertanya kepada Allah: “Apakah aku mampu?” Lalu merunduk, karena jawabannya adalah: “TenangAku sedang berproses.”


Di usia ini, aku ingin lebih jujur pada diri. Bahwa aku lelah, iya. Bahwa aku takut, iya. Tapi aku tidak sendiri. Ada keluarga yang mendoakan. Ada anak-anak yang menantiku pulang. Ada suami yang mendampingi. Ada sahabat yang memahami. Ada diri yang terus belajar untuk ikhlas. Ada kekuatan.


Tapi aku juga tahu, semua kekuatan itu bukan berasal dariku semata.

Ada satu kekuatan yang lebih besar, yang senantiasa menyertai meski tak selalu aku sadari: Allah.

Allah yang tak pernah pergi, bahkan saat aku lupa mengadu.

Yang memberi ketika aku belum sempat meminta.

Yang menjawab doa-doaku melalui orang-orang yang aku cintai.

Yang menenangkanku melalui pelukan anak-anak, melalui tatapan suami yang tak banyak bicara tapi hadir dengan setia, melalui suara orang tua yang selalu mendoakanku di sepertiga malam.

Melalui sahabat-sahabat lama yang tetap ada walau jarak memisahkan raga.


Maka hari ini, aku juga ingin berterima kasih:

Untuk suamiku, yang mungkin tidak selalu tahu betapa aku menahan banyak hal, tapi tetap memilih untuk berjalan bersamaku. Terima kasih telah jadi bahu, jadi teman diskusi, jadi bagian dari “misi rahasia” kehidupan ini.

Untuk anak-anakku, Mas Adil dan Dek Damai, yang menjadi cermin ketulusan dan sumber kekuatan tak terduga. Setiap senyum kalian adalah doa yang dikabulkan. Mama akan terus berjuang, untuk bisa pulang dengan lebih utuh. Mama ingin jadi ibu yang tenang dan bahagia agar apa yang Mama tumpahkan bukan amarah tapi cinta dan kasih sayang.

Untuk orang tuaku, yang dari jauh tetap menjadi tempat aku pulang secara batin. Yang cintanya tidak pernah usang, meski raga seringkali tidak bisa bersama. Aku tidak akan menjadi seperti ini tanpa Mama dan Bapak.

Untuk saudara-saudaraku, yang menjadi pelindung dalam diam, penguat dalam doa, dan penyemangat dalam banyak cerita.

Untuk sahabat-sahabatku—dari masa kecil, remaja, hingga kini, yang tetap tinggal meski hidup membawa kita ke arah yang berbeda-beda. Terima kasih sudah tetap percaya bahwa aku adalah aku.

Untuk guru-guruku, maupun orang-orang yang kuanggap seperti guru dalam kehidupan, yang mendidikku, yang memberi bekal pengetahuan dan teladan untuk aku meniti satu per satu jalan hidupku, yang mengajarkan ilmu dan iman sebelum aku beramal.

Dan untuk pimpinan, rekan sejawat, serta seluruh rekan kerja, yang menjadi teman berproses bersama, yang memiliki niat baik yang sama, yang saling mendukung untuk menjaga diri agar tak keluar dari jalurnya.

Sert terima kasih untuk siapapun yang pernah berinteraksi denganku, yang menjadi bagian dalam perjalananku sejak kecil hingga sekarang.


Hari ini bukan hanya tentang pertambahan usia. Tapi tentang pertambahan makna.

Tentang tunduk yang lebih dalam pada kehendak Allah.

Tentang meyakini bahwa segala sesuatu, sekecil apapun, tidak ada yang sia-sia dalam genggaman-Nya.

Tentang meyakini bahwa di manapun pelabuhan selanjutnya, pasti adalah tempat yang Allah berkahi untuk kami.


Selamat memaknai bertambahnya usia, diriku.

Semoga kamu tetap hidup dengan hati yang hangat, akal yang jernih, dan langkah yang mengandung banyak doa dan usaha.

Tetap menjadi kamu—yang mencoba, meski tak selalu sempurna.

Yang berserah, tapi tak menyerah.


Dengan cinta, syukur, dan harapan,

Aku menulis ini dengan perasaan yang masih ingin tumbuh—bersama-Nya, juga bersama  orang-orang yang aku cinta,

Ternyata usia 33-ku terasa seperti undangan untuk benar-benar Bangkit—dari hati yang paling dalam.

Boalemo, 20 Mei 2025

Thursday, 15 May 2025

Di Balik Makna Lebaran, Ketupat, dan Mudik

Sekitar sebulan yang lalu saya menghadiri acara Halal bi Halal yang di dalamnya terdapat tausiyah. Sebenarnya tausiyahnya tidak panjang, tapi entah kenapa terasa dalam sekali maknanya. Ada beberapa bagian yang menyentuh hati saya, sampai-sampai hampir saja saya meneteskan air mata. Tapi karena malu, saya pun buru-buru menyekanya. Hihihi.

Saya merasa perlu menuliskan apa yang saya tangkap dari tausiyah tersebut. Bukan hanya agar saya tidak lupa, tapi juga agar siapapun yang membacanya bisa ikut mengambil pelajaran.

Salah satu hal yang paling berkesan adalah ketika beliau menjelaskan filosofi kata kupat. Kupat adalah sebutan ketupat dalam bahasa Jawa. Ternyata di balik makanan yang biasa kita temui saat Lebaran ini, ada makna yang dalam.

Beliau menyebut bahwa kupat itu berasal dari dua makna: ngaku lepat dan laku ing papat.

Ngaku lepat artinya mengakui kesalahan. Karena setelah sebulan penuh kita berpuasa dan membersihkan diri, maka di hari raya kita diminta untuk saling memaafkan dan saling mengakui kesalahan. Tidak hanya kepada orang lain, tapi juga kepada diri sendiri dan kepada Allah.

Sementara laku ing papat artinya melakukan empat hal. Empat hal itu adalah lebaran, leburan, luberan, dan laburan. Berikut ini penjelasan beliau, yang saya coba tuliskan ulang dengan bahasa saya sendiri:

---

1. Lebaran

Kata lebar dalam bahasa Jawa berarti “selesai”. Lebaran menjadi tanda bahwa kita sudah menyelesaikan ibadah puasa selama sebulan penuh. Tapi bukan berarti semuanya berakhir begitu saja. Justru seharusnya, selesai Ramadhan itu adalah awal dari perjalanan baru. Kebiasaan baik yang kita bentuk selama bulan Ramadhan—sholat lebih tepat waktu, lebih sabar, lebih dermawan—semoga tidak ikut “selesai” juga, tapi bisa kita lanjutkan dalam kehidupan sehari-hari. Karena latihan selama tiga puluh hari itu bukan untuk pamer, tapi untuk membiasakan.

2. Leburan

Lebur artinya luluh, luruh, atau hancur. Setelah Ramadhan, kita berharap dosa-dosa kita juga ikut lebur. Di sepuluh hari terakhir Ramadhan, kita diajak untuk benar-benar bersungguh-sungguh dalam ibadah, dalam doa, dalam taubat. Maka saat Lebaran tiba, kita berharap semua beban itu telah luruh dan kita kembali bersih. Seperti baju putih yang dicuci dan dijemur di bawah matahari, kita berharap hati pun kembali bersih—tanpa noda dendam, iri, atau kesombongan.

3. Luberan

Luber berarti melimpah, meluap. Seperti air dalam ember yang meluap karena terlalu penuh. Dalam konteks Ramadhan dan Lebaran, ini melambangkan kelimpahan kebaikan. Kita diajak untuk berbagi, terutama melalui zakat fitrah. Karena dalam harta yang kita miliki, ada hak orang lain—hak fakir miskin, hak mereka yang membutuhkan. Maka setelah Ramadhan, semangat berbagi ini diharapkan terus meluber. Bukan cuma soal materi, tapi juga berbagi waktu, perhatian, dan kebaikan hati.

4. Laburan

Labur adalah membalut atau melapisi, biasanya digunakan dalam konteks mengecat atau menutupi dinding. Filosofinya, setelah Ramadhan kita ibarat rumah yang dilabur ulang. Kita melepaskan kebiasaan buruk dan memperbarui diri. Bukan sekadar bersih dari dosa, tapi juga tampil dengan wajah baru—lebih sabar, lebih bijak, dan lebih peduli. Laburan juga bisa bermakna menutupi aib orang lain, sebagaimana Allah telah menutupi aib kita selama ini. Maka jangan biarkan lidah kita jadi alat membuka aib saudara, padahal Allah sendiri menutupinya.

---

Setelah membahas kupat, beliau juga menyinggung soal mudik.

Lebaran memang identik dengan mudik. Pulang ke kampung halaman. Bertemu orang tua. Melepas rindu. Tapi beliau menyampaikan sesuatu yang cukup dalam: bahwa sejatinya hidup ini juga perjalanan mudik. Kita semua pada akhirnya akan kembali ke asal kita—kepada Allah, Sang Pencipta. Maka orang yang beruntung adalah yang sadar dari mana ia berasal dan ke mana ia akan pulang. Karena dengan begitu, ia tidak kehilangan arah dalam hidupnya.

Mudik itu indah karena kita tahu ada yang menanti. Begitu juga hidup, akan terasa bermakna jika kita yakin bahwa ada tempat kembali yang penuh kasih, tempat di mana segala rindu terjawab, dan segala letih terbayar.

Maka, seperti kita menyiapkan oleh-oleh untuk orang tua saat mudik, mari kita juga siapkan oleh-oleh terbaik untuk “mudik” kita yang sesungguhnya—amal baik, hati yang bersih, dan niat yang tulus. Karena nanti, saat waktunya pulang, kita ingin disambut dengan kalimat paling indah dari Tuhan kita:


"Wahai jiwa yang tenang, kembalilah kepada Tuhanmu dengan ridha dan diridhai." (QS. Al-Fajr: 27–28)

--------------------

Saya bersyukur sempat mendengarkan tausiyah itu. Sederhana tapi dalam. Ringan tapi menggerakkan hati. Semoga tulisan ini bisa jadi pengingat buat saya sendiri di masa depan, dan juga buat siapa pun yang sedang mencari makna di antara tradisi yang kita jalani setiap tahun.

Karena terkadang, hal-hal kecil seperti ketupat dan mudik menyimpan pelajaran hidup yang besar. Tinggal kita mau berhenti sejenak untuk merenunginya… atau tidak.

------------------

Terima kasih kepada beliau yang memberikan saya hikmah yang begitu mendalam. Hormat saya kepada beliau dan Insya Allah beliau selalu diberkahi Allah.

Tausiyah tersebut disampaikan oleh YM Bapak Dr. H. Chazim Maksalina, M.H., Ketua Pengadilan Tinggi Agama Gorontalo.

Gorontalo, April 2025

Catatan Singkat Menjelang Pengumuman Mutasi

Malam ini, katanya akan ada pengumuman mutasi. Isu seperti itu selalu saja ada, bahkan sejak lebih dari satu sampai dua tahun yang lalu. Tap...