Usia 33 tahun. Bagi orang lain mungkin itu hanyalah angka. Tapi bagiku yang menjalani, hari ini aku ingin mengingat perjalanan hidup yang menyimpan begitu banyak cerita. Hari ini aku tidak hanya bertambah usia, tapi aku bertambah dalam kesadaran—tentang siapa aku, ke mana aku melangkah, dan apa makna dari semua ini.
Namaku Bangkit. Dan mungkin baru di usia ini aku benar-benar menghayati makna nama itu.
Bangkit… bukan sekadar berdiri setelah jatuh. Tapi juga tentang menerima bahwa kejatuhan itu pun bagian dari jalan hidup yang harus dilalui. Tentang memilih tetap bernapas saat dunia serasa menyesakkan. Tentang memeluk luka tanpa harus mengutuk mengapa ia datang. Tentang berjalan di lorong-lorong sunyi dalam menjalani peran sebagai ibu, istri, anak, sekaligus peran dalam pekerjaan ini—dan menjadikannya ruang kontemplasi, bukan penjara.
Sudah lima tahun aku menjalani tugas di tempat yang jauh dari anak-anak. Adil dan Damai, dua nama yang setiap malam kusebut dalam doa. Dua cahaya yang mengajarkanku bahwa cinta tidak diukur dari jarak, tapi dari kesungguhan hati untuk tetap hadir—meski lewat suara, gambar, atau surat-surat yang kusematkan dalam jurnal-jurnal malamku.
Suamiku pun tak selalu di sisi. Tapi dari keterpisahan jarak itu aku belajar bahwa pernikahan bukan tentang terus bersama secara fisik, melainkan tentang saling menjaga dalam komitmen yang terus diperbaharui dengan doa dan perjuangan.
Di usia ini, aku mulai percaya ungkapan bahwa integritas adalah "kemewahan" yang harus terus dijaga. Sebenarnya ungkapan inipun salah, karena integritas seharusnya menjadi "bare minimum" setiap dari kita. Di ruang sidang, aku menyaksikan manusia dalam berbagai lapis luka dan ego. Tapi di balik palu, aku tahu: aku juga manusia. Maka tugasku bukan sekadar menjatuhkan putusan, tapi menghadirkan keadilan yang hidup—yang memanusiakan. Dan untuk bisa memiliki nurani itu aku harus menjaga hatiku dengan sebaik-baiknya karena aku sadar perbuatan buruk akan menodai hati dan menghalangi petunjuk dan kebijaksanaan masuk ke dalam hatiku.
Dulu aku berpikir, usia matang itu tentang tahu segalanya. Tapi ternyata tidak. Usia 33 justru membuatku lebih banyak bertanya. Lebih sering diam. Lebih sering bertanya kepada Allah: “Apakah aku mampu?” Lalu merunduk, karena jawabannya adalah: “Tenang. Aku sedang berproses.”
Di usia ini, aku ingin lebih jujur pada diri. Bahwa aku lelah, iya. Bahwa aku takut, iya. Tapi aku tidak sendiri. Ada keluarga yang mendoakan. Ada anak-anak yang menantiku pulang. Ada suami yang mendampingi. Ada sahabat yang memahami. Ada diri yang terus belajar untuk ikhlas. Ada kekuatan.
Tapi aku juga tahu, semua kekuatan itu bukan berasal dariku semata.
Ada satu kekuatan yang lebih besar, yang senantiasa menyertai meski tak selalu aku sadari: Allah.
Allah yang tak pernah pergi, bahkan saat aku lupa mengadu.
Yang memberi ketika aku belum sempat meminta.
Yang menjawab doa-doaku melalui orang-orang yang aku cintai.
Yang menenangkanku melalui pelukan anak-anak, melalui tatapan suami yang tak banyak bicara tapi hadir dengan setia, melalui suara orang tua yang selalu mendoakanku di sepertiga malam.
Melalui sahabat-sahabat lama yang tetap ada walau jarak memisahkan raga.
Maka hari ini, aku juga ingin berterima kasih:
Untuk suamiku, yang mungkin tidak selalu tahu betapa aku menahan banyak hal, tapi tetap memilih untuk berjalan bersamaku. Terima kasih telah jadi bahu, jadi teman diskusi, jadi bagian dari “misi rahasia” kehidupan ini.
Untuk anak-anakku, Mas Adil dan Dek Damai, yang menjadi cermin ketulusan dan sumber kekuatan tak terduga. Setiap senyum kalian adalah doa yang dikabulkan. Mama akan terus berjuang, untuk bisa pulang dengan lebih utuh. Mama ingin jadi ibu yang tenang dan bahagia agar apa yang Mama tumpahkan bukan amarah tapi cinta dan kasih sayang.
Untuk orang tuaku, yang dari jauh tetap menjadi tempat aku pulang secara batin. Yang cintanya tidak pernah usang, meski raga seringkali tidak bisa bersama. Aku tidak akan menjadi seperti ini tanpa Mama dan Bapak.
Untuk saudara-saudaraku, yang menjadi pelindung dalam diam, penguat dalam doa, dan penyemangat dalam banyak cerita.
Untuk sahabat-sahabatku—dari masa kecil, remaja, hingga kini, yang tetap tinggal meski hidup membawa kita ke arah yang berbeda-beda. Terima kasih sudah tetap percaya bahwa aku adalah aku.
Untuk guru-guruku, maupun orang-orang yang kuanggap seperti guru dalam kehidupan, yang mendidikku, yang memberi bekal pengetahuan dan teladan untuk aku meniti satu per satu jalan hidupku, yang mengajarkan ilmu dan iman sebelum aku beramal.
Dan untuk pimpinan, rekan sejawat, serta seluruh rekan kerja, yang menjadi teman berproses bersama, yang memiliki niat baik yang sama, yang saling mendukung untuk menjaga diri agar tak keluar dari jalurnya.
Sert terima kasih untuk siapapun yang pernah berinteraksi denganku, yang menjadi bagian dalam perjalananku sejak kecil hingga sekarang.
Hari ini bukan hanya tentang pertambahan usia. Tapi tentang pertambahan makna.
Tentang tunduk yang lebih dalam pada kehendak Allah.
Tentang meyakini bahwa segala sesuatu, sekecil apapun, tidak ada yang sia-sia dalam genggaman-Nya.
Tentang meyakini bahwa di manapun pelabuhan selanjutnya, pasti adalah tempat yang Allah berkahi untuk kami.
Selamat memaknai bertambahnya usia, diriku.
Semoga kamu tetap hidup dengan hati yang hangat, akal yang jernih, dan langkah yang mengandung banyak doa dan usaha.
Tetap menjadi kamu—yang mencoba, meski tak selalu sempurna.
Yang berserah, tapi tak menyerah.
Dengan cinta, syukur, dan harapan,
Aku menulis ini dengan perasaan yang masih ingin tumbuh—bersama-Nya, juga bersama orang-orang yang aku cinta,
Ternyata usia 33-ku terasa seperti undangan untuk benar-benar Bangkit—dari hati yang paling dalam.
Boalemo, 20 Mei 2025
No comments:
Post a Comment