Thursday, 15 May 2025

Di Balik Makna Lebaran, Ketupat, dan Mudik

Sekitar sebulan yang lalu saya menghadiri acara Halal bi Halal yang di dalamnya terdapat tausiyah. Sebenarnya tausiyahnya tidak panjang, tapi entah kenapa terasa dalam sekali maknanya. Ada beberapa bagian yang menyentuh hati saya, sampai-sampai hampir saja saya meneteskan air mata. Tapi karena malu, saya pun buru-buru menyekanya. Hihihi.

Saya merasa perlu menuliskan apa yang saya tangkap dari tausiyah tersebut. Bukan hanya agar saya tidak lupa, tapi juga agar siapapun yang membacanya bisa ikut mengambil pelajaran.

Salah satu hal yang paling berkesan adalah ketika beliau menjelaskan filosofi kata kupat. Kupat adalah sebutan ketupat dalam bahasa Jawa. Ternyata di balik makanan yang biasa kita temui saat Lebaran ini, ada makna yang dalam.

Beliau menyebut bahwa kupat itu berasal dari dua makna: ngaku lepat dan laku ing papat.

Ngaku lepat artinya mengakui kesalahan. Karena setelah sebulan penuh kita berpuasa dan membersihkan diri, maka di hari raya kita diminta untuk saling memaafkan dan saling mengakui kesalahan. Tidak hanya kepada orang lain, tapi juga kepada diri sendiri dan kepada Allah.

Sementara laku ing papat artinya melakukan empat hal. Empat hal itu adalah lebaran, leburan, luberan, dan laburan. Berikut ini penjelasan beliau, yang saya coba tuliskan ulang dengan bahasa saya sendiri:

---

1. Lebaran

Kata lebar dalam bahasa Jawa berarti “selesai”. Lebaran menjadi tanda bahwa kita sudah menyelesaikan ibadah puasa selama sebulan penuh. Tapi bukan berarti semuanya berakhir begitu saja. Justru seharusnya, selesai Ramadhan itu adalah awal dari perjalanan baru. Kebiasaan baik yang kita bentuk selama bulan Ramadhan—sholat lebih tepat waktu, lebih sabar, lebih dermawan—semoga tidak ikut “selesai” juga, tapi bisa kita lanjutkan dalam kehidupan sehari-hari. Karena latihan selama tiga puluh hari itu bukan untuk pamer, tapi untuk membiasakan.

2. Leburan

Lebur artinya luluh, luruh, atau hancur. Setelah Ramadhan, kita berharap dosa-dosa kita juga ikut lebur. Di sepuluh hari terakhir Ramadhan, kita diajak untuk benar-benar bersungguh-sungguh dalam ibadah, dalam doa, dalam taubat. Maka saat Lebaran tiba, kita berharap semua beban itu telah luruh dan kita kembali bersih. Seperti baju putih yang dicuci dan dijemur di bawah matahari, kita berharap hati pun kembali bersih—tanpa noda dendam, iri, atau kesombongan.

3. Luberan

Luber berarti melimpah, meluap. Seperti air dalam ember yang meluap karena terlalu penuh. Dalam konteks Ramadhan dan Lebaran, ini melambangkan kelimpahan kebaikan. Kita diajak untuk berbagi, terutama melalui zakat fitrah. Karena dalam harta yang kita miliki, ada hak orang lain—hak fakir miskin, hak mereka yang membutuhkan. Maka setelah Ramadhan, semangat berbagi ini diharapkan terus meluber. Bukan cuma soal materi, tapi juga berbagi waktu, perhatian, dan kebaikan hati.

4. Laburan

Labur adalah membalut atau melapisi, biasanya digunakan dalam konteks mengecat atau menutupi dinding. Filosofinya, setelah Ramadhan kita ibarat rumah yang dilabur ulang. Kita melepaskan kebiasaan buruk dan memperbarui diri. Bukan sekadar bersih dari dosa, tapi juga tampil dengan wajah baru—lebih sabar, lebih bijak, dan lebih peduli. Laburan juga bisa bermakna menutupi aib orang lain, sebagaimana Allah telah menutupi aib kita selama ini. Maka jangan biarkan lidah kita jadi alat membuka aib saudara, padahal Allah sendiri menutupinya.

---

Setelah membahas kupat, beliau juga menyinggung soal mudik.

Lebaran memang identik dengan mudik. Pulang ke kampung halaman. Bertemu orang tua. Melepas rindu. Tapi beliau menyampaikan sesuatu yang cukup dalam: bahwa sejatinya hidup ini juga perjalanan mudik. Kita semua pada akhirnya akan kembali ke asal kita—kepada Allah, Sang Pencipta. Maka orang yang beruntung adalah yang sadar dari mana ia berasal dan ke mana ia akan pulang. Karena dengan begitu, ia tidak kehilangan arah dalam hidupnya.

Mudik itu indah karena kita tahu ada yang menanti. Begitu juga hidup, akan terasa bermakna jika kita yakin bahwa ada tempat kembali yang penuh kasih, tempat di mana segala rindu terjawab, dan segala letih terbayar.

Maka, seperti kita menyiapkan oleh-oleh untuk orang tua saat mudik, mari kita juga siapkan oleh-oleh terbaik untuk “mudik” kita yang sesungguhnya—amal baik, hati yang bersih, dan niat yang tulus. Karena nanti, saat waktunya pulang, kita ingin disambut dengan kalimat paling indah dari Tuhan kita:


"Wahai jiwa yang tenang, kembalilah kepada Tuhanmu dengan ridha dan diridhai." (QS. Al-Fajr: 27–28)

--------------------

Saya bersyukur sempat mendengarkan tausiyah itu. Sederhana tapi dalam. Ringan tapi menggerakkan hati. Semoga tulisan ini bisa jadi pengingat buat saya sendiri di masa depan, dan juga buat siapa pun yang sedang mencari makna di antara tradisi yang kita jalani setiap tahun.

Karena terkadang, hal-hal kecil seperti ketupat dan mudik menyimpan pelajaran hidup yang besar. Tinggal kita mau berhenti sejenak untuk merenunginya… atau tidak.

------------------

Terima kasih kepada beliau yang memberikan saya hikmah yang begitu mendalam. Hormat saya kepada beliau dan Insya Allah beliau selalu diberkahi Allah.

Tausiyah tersebut disampaikan oleh YM Bapak Dr. H. Chazim Maksalina, M.H., Ketua Pengadilan Tinggi Agama Gorontalo.

Gorontalo, April 2025

No comments:

Post a Comment

Catatan Singkat Menjelang Pengumuman Mutasi

Malam ini, katanya akan ada pengumuman mutasi. Isu seperti itu selalu saja ada, bahkan sejak lebih dari satu sampai dua tahun yang lalu. Tap...