Monday, 28 July 2025

PN Tilamuta: Seberkas Cahaya untuk Peradilan yang Agung

Di tengah krisis kepercayaan masyarakat terhadap institusi yang menegakkan keadilan di negeri ini,

ketika ruang sidang tak lagi selalu dipercaya,

ketika vonis dianggap tak mencerminkan nurani,

dan ketika suara-suara kehilangan tempat untuk berharap,

aku ingin kamu menengok sebuah tempat kecil, tempat mencari keadilan, yang mungkin luput dari perhatian.


Tempat itu bernama Pengadilan Negeri Tilamuta (PN Tilamuta).


Apakah kamu tahu bahwa putusan sesungguhnya bukan produk hakim, melainkan disebut sebagai produk pengadilan? Maka sudah semestinya upaya mewujudkan keadilan bukan hanya semangat dari pemutus perkara secara langsung, tapi juga dari unit-unit pendukungnya.


Meminjam ungkapan Sekretaris PN Tilamuta (Bapak Juang Samadi, S.Pd., M.H.), ditambah dengan apa yang aku rasakan, menurutku PN Tilamuta itu seperti ungkapan:

"Sebelum Hakim mengetuk palu dan Panitera Pengganti menorehkan penanya, kepaniteraan telah memastikan kelengkapan berkas sidang dan kesekretariatan telah memastikan kelengkapan ruang sidang, termasuk palu dan penanya"


Tidak mudah menemukan kesatuan elemen seperti itu apabila diselami lebih dalam makna dan senyatanya. 

PN Tilamuta seperti sebuah pengadilan yang mempersiapkan pengadil fokus mengadili dengan adil. Memberi sarana terbaik, juga menciptakan ruang aman dan nyaman untuk bekerja dengan baik. Aman itu berarti tidak ada intervensi dan nyaman itu berarti tidak banyak problematisasi.


Kamu mungkin tak percaya dengan apa yang aku sampaikan.

Tapi jujur, semua keluhan tentang tempat kerja yang rumit, tentang suasana kantor yang membuat sesak, tak pernah benar-benar aku rasakan.

Di sini, semua seolah berjalan sebagaimana mestinya.

Memang tak ada yang sempurna. Tapi di sini semua mengetahui dan menyadari porsinya.


Aku tidak tahu bagaimana pengalaman para pencari keadilan yang datang mencari keadilan di sini. Tapi aku pastikan selama detik pertama aku dan keempat rekanku melangkahkan kaki di sini, tak ada hal yang bisa mempengaruhi keyakinan kami. Setiap lembar yang kami bacakan adalah buah pikiran atas keyakinan kami dengan dasar hukum dan keadilan. Tentunya dengan sebaik-baiknya yang kami bisa usahakan.


Apa yang aku rasakan itu karena aku tidak berjalan sendiri.

Ada kebersamaan yang membuatku merasa ingin terus bertumbuh memberikan yang terbaik yang aku bisa.

Di sini aku mendapat dukungan dari pimpinan yang memberi ruang dan kepercayaan, teman-teman yang saling mengingatkan, juga rekan kerja yang saling menguatkan, semuanya bagian dari cahaya yang perlahan menyala dalam langkah-langkahku.


Meski Tilamuta 'hanyalah' sebuah pengadilan negeri yang jauh dari pusat keramaian,

atau mungkin membuat langkah awal terasa berat bagi mereka yang baru datang,

tapi saat kamu sudah benar-benar melihat dan merasakannya,

kamu tidak akan kehilangan harapan tentang bagaimana mewujudkan peradilan yang agung.


Tilamuta menguatkan harapan:

bahwa masih ada yang bekerja dengan hati,

yang menjunjung nilai,

dan percaya bahwa keadilan bukan sekadar produk hukum,

melainkan hasil dari kerja bersama manusia-manusia baik yang memegang teguh amanahnya.


Aku percaya kesan itu tak hanya aku rasakan sendiri tapi juga mereka yang pernah berada langsung di dalamnya, dan aku berharap nilai itu akan selalu ada di PN Tilamuta.


Jika suatu hari nanti kamu memiliki kesempatan berkunjung ke Tilamuta,

lihatlah baik-baik.

Karena di sini, harapan itu disemai

bukan dengan gegap gempita,

tetapi dalam diam, dalam dedikasi, dan dalam ketulusan yang tidak menuntut pengakuan.


Di sebuah titik kecil di peta, ada seberkas cahaya.

Cahaya itu tidak bersinar begitu saja,

tapi ia berasal dari generator yang rodanya terus berputar,

karena ada kekuatan bersama yang mengayuhnya.


Dan jika suatu saat nanti orang bertanya padaku,

“Dari mana semua harapan yang kamu sampaikan tentang peradilan yang agung itu berawal?”

Aku akan tersenyum dan berkata:

Dari Pengadilan Negeri Tilamuta 😊


Tilamuta, 29 Juli 2025

Kutulis dini hari seusai packing 

Pada hari terakhirku bertugas di PN Tilamuta 

Monday, 21 July 2025

Mencari Jalan Tidak Harus Memotong Jalan

Dalam hidup, kita seringkali dihadapkan pada pilihan-pilihan kecil yang sebenarnya menunjukkan nilai besar yang kita junjung. Kadang bukan soal aturan itu sendiri, tapi bagaimana kita menyikapinya. Bukan sekadar soal apa yang diatur, tapi bagaimana cara kita memenuhi aturan itu dengan cara yang tetap menjunjung rasa hormat dan tanggung jawab.

Ada perbedaan antara mencari jalan keluar dan memotong jalan. Yang pertama butuh usaha, niat baik, dan kesadaran bahwa segala sesuatu bisa disiasati dengan cara yang tetap elegan sesuai jalurnya. Yang kedua seringkali lahir dari keinginan untuk menyederhanakan sesuatu secara instan tanpa memikirkan dampak atau rasa yang terkandung di dalamnya.

Kita bisa saja berkata, "Ah, ribet banget, yang penting kan tujuannya sama," atau, "Ah, nggak apa-apa, toh ini hal kecil." Tapi dalam banyak hal, cara kita memperlakukan hal kecil justru mencerminkan siapa kita dalam hal besar. Karena hormat itu bukan hanya untuk hal yang penting, tapi untuk setiap proses yang mengandung niat dan tanggung jawab.

Mematuhi sesuatu bukan berarti kehilangan jati diri. Justru di sanalah kita diuji: bagaimana berpikir jernih dan solutif ketika keterbatasan datang. Mungkin kita harus meminjam, meminta tolong, atau menyampaikan alasan dengan jujur pada yang berwenang. Itu semua adalah bentuk usaha yang tetap menjaga integritas dan relasi. Kita tidak sekadar tunduk, tapi turut menjaga makna dari sesuatu yang ditetapkan.

Dan tentang menghormati orang lain, kadang itu bukan soal seberapa banyak kita menyebutkan namanya atau menyertakan mereka dalam rencana, tapi seberapa kita melihat niat baik mereka, memberi ruang bagi perhatian mereka, dan tidak dengan mudah mengabaikannya hanya karena sudah merasa cukup dengan pilihan sendiri.

Sering kita dengar ungkapan, “If there’s no way, create one.” Ungkapan ini sepintas terdengar menggambarkan tentang ketekunan dan pantang menyerah. Tapi menciptakan jalan pun sebenarnya tetap butuh arah. Karena menciptakan jalan bukan berarti membenarkan segala cara. Kita bisa saja menemukan alternatif, tapi jangan sampai niat mempermudah membuat kita kehilangan esensi.

Menciptakan jalan berbeda dari memotong jalan. Yang satu lahir dari kehati-hatian dan hormat terhadap nilai; yang lain kerap lahir dari ketergesaan. Maka jika jalan itu belum ada, ciptakan. Tapi jangan sembarangan. Pastikan jalan itu tetap berpijak pada niat baik, pada tanggung jawab, dan pada kebaikan bersama.

Pada akhirnya, hidup bukan soal siapa yang paling cepat atau paling mudah. Tapi siapa yang tetap berjalan dengan sadar, menjaga nilai dalam setiap langkah kecil, dan tidak menjadikan alasan sebagai pintu untuk mengurangi rasa hormat.

Dari hal kecil dan keputusan kecil sehari-hari kita sesungguhnya secara tidak langsung membentuk kita sekaligus menunjukkan nilai diri kita yang sebenarnya. Semoga kita bisa menjadi pribadi yang tetap menjaga jalan yang benar, meski jalannya kadang terasa lebih panjang.

Monday, 14 July 2025

(Baru) Lima Tahun

Hari ini tepat lima tahun.

Lima tahun bukan waktu yang sebentar. Tapi juga bukan waktu yang cukup untuk dinilai tahu segalanya. Justru, dalam lima tahun terakhir ini, aku semakin sadar bahwa memahami hidup dan keadilan bukan soal seberapa banyak aturan yang kau hafal atau seberapa sering kau memutuskan sesuatu dengan yakin. Tapi tentang seberapa sering hatimu diuji untuk tetap menjadi manusia dan memanusiakan manusia di tengah sistem, di balik meja, atau bahkan di depan cerminmu sendiri.

Awalnya, aku pikir aku hanya perlu bekerja sebaik mungkin, menjalankan peran, menyelesaikan tugas, dan memastikan segalanya berjalan sesuai prosedur. Tapi ternyata, pekerjaan ini atau lebih tepatnya, perjalanan ini, membawaku lebih jauh. Ia mengubah cara pandangku tentang manusia, tentang luka yang tak terlihat, tentang harapan-harapan kecil yang menggantung di ruang yang sunyi dari tawa dan familiar dengan tangis.

Aku belajar bahwa tidak semua kesalahan lahir dari niat buruk. Kadang, orang hanya tersesat terlalu lama dan tak ada yang menuntunnya pulang. Aku juga belajar bahwa tidak semua yang menang merasa benar-benar menang, dan tak semua yang kalah berarti kehilangan segalanya.

Keadilan ternyata bukan hanya tentang memberi hukuman. Ia adalah tentang merawat rasa percaya orang-orang yang datang padamu. Mereka percaya bahwa kebenaran bisa ditegakkan maka mereka membawa masalahnya di hadapanmu. Akhirnya kamupun menyadari bahwa ketegasan tidak harus kehilangan empati. Bahwa kamu ingin bukan sekedar menatap berkas di depan matamu tapi juga bagaimana memulihkan keadaan yang dihadapkan padamu. Dan bahwa mendengar bisa lebih menyembuhkan daripada menghukum atas dasar balas dendam.

Dalam ruang itu, aku tak bisa selalu menjelaskan panjang lebar mengapa sebuah keputusan harus seperti itu. Aku juga tak boleh meminta maaf atas setiap kalimat yang mungkin terasa berat didengar. Karena di titik itu, aku harus yakin bahwa keputusan itu, setidaknya menurut yang aku tahu dan aku pahami dengan sebaik-baiknya dan sesungguh-sungguhnya, adalah keputusan yang adil.

Kerap suatu malam yang melelahkan, di balik semuanya, aku selalu menyelipkan doa. Untuk siapa pun yang pernah hadir di ruang itu, semoga hatinya lapang menerima. Semoga tahu ke mana harus melangkah setelah semua usai. Untuk mereka yang mungkin masih menyimpan luka atau kecewa, semoga kelak bisa memaafkan. Semoga yang sempat terputus, suatu saat bisa terajut. Dan yang pernah tersakiti, perlahan akan sembuh.

Di tempat pertama aku ditempatkan, aku tumbuh. Bukan karena aku hebat, tapi karena aku dipaksa belajar hal-hal yang tak pernah diajarkan di bangku sekolah atau kuliah: bersikap tenang dan netral dalam setiap keadaan, mendengarkan dengan sabar saat hati ingin menyela dan bertanggung jawab atas setiap kalimat yang terucap.

Di luar, aku belajar bersikap dewasa dalam keseharian, menahan aksi saat hati ingin bereaksi, menjaga perasaan di tengah tekanan, tetap hadir secara utuh meski kadang merasa lelah atau sepi.

Dari kedua ruang itu, aku mulai mengerti: menjadi dewasa bukan tentang tahu segalanya, tapi tentang sanggup menghadapi yang tak terduga dengan hati yang lega.

Hari ini, aku tidak ingin merayakan. Tapi aku ingin berterima kasih. Kepada Tuhanku yang selalu membukakan mata atas hikmah tersembunyi, kepada diriku sendiri yang pernah takut tapi tetap berjalan, kepada orang-orang yang hadir mendukung dengan caranya. Juga kepada setiap kisah yang pernah singgah di ruang itu, yang mengajarkanku menjadi manusia sebelum menjadi apa pun yang lainnya.

Lima tahun ini membentukku. Bukan menjadi siapa-siapa dan harus dikenal siapa-siapa. Tapi menjadi seseorang yang terus belajar memahami kehidupan dan terus belajar memaknai keadilan. Jangan berhenti.

Thursday, 3 July 2025

Catatan Singkat Menjelang Pengumuman Mutasi

Malam ini, katanya akan ada pengumuman mutasi. Isu seperti itu selalu saja ada, bahkan sejak lebih dari satu sampai dua tahun yang lalu. Tapi kenyataannya, selama ini hanyalah angin lalu.

Namun entah kenapa, kali ini terasa berbeda. Cepat atau lambat, waktu itu akan tiba. Sudah ada yang siap meneruskan jejak kami di sini. Jadi mau tidak mau memang sudah waktunya melanjutkan perjalanan. Aku tak tahu pasti apakah benar malam ini atau tidak, tapi jantungku seperti menyadari sesuatu.

Ada getar kecil di dada yang tidak bisa diredakan hanya dengan kata, “tunggu saja.” Bukan karena takut, bukan pula karena tidak siap. Tapi karena rasanya seperti... datang juga akhirnya waktunya.

Lima tahun terakhir, tempat ini bukan sekadar lokasi kerja. Ia menjadi ruang belajar, tempat bertumbuh, tempat mengenal rasa sabar dan sepi, tempat merawat makna dari sebuah pengabdian. Dan kini, ketika bisik angin mulai mengabarkan akan ada rotasi, tubuhku menggigil bukan karena dingin, tapi karena satu kesadaran:

Barangkali, waktuku di sini memang akan segera berakhir.

Perasaan menjelang mutasi itu unik. Campur aduk.

Seperti berdiri di pintu rumah yang sudah terasa nyaman, tapi tangan kita sudah menggenggam kunci rumah lain yang belum pernah kita masuki.

Ada deg-degan, tapi bukan panik. Ada tanda tanya, tapi bukan ketakutan.

Yang ada justru semacam ketenangan yang gentar:

sebuah rasa yang tahu bahwa apa pun yang menanti, itulah tempat terbaik yang dipilihkan untukku.

Aku tidak tahu akan ditempatkan di mana.

Apakah di kota yang lebih besar?

Di daerah terpencil?

Apakah akan dekat dengan keluarga, atau justru lebih jauh lagi?

Apakah suasananya akan seramah di sini?

Apakah aku akan menemukan orang-orang yang bisa jadi teman berbagi, atau akan lebih banyak belajar diam dan bertahan?

Tapi aku belajar satu hal penting dalam profesi ini:

kita tidak pernah bisa memilih tempat pengabdian,

tapi kita bisa memilih cara kita mengabdi.

Dan di manapun aku ditugaskan nanti, aku ingin tetap hadir sebaik yang aku bisa, berupaya menjaga integritas, ketulusan, dan semangat untuk terus belajar.

Jadi malam ini, jika benar pengumuman itu akan tiba, aku ingin menyambutnya bukan dengan gelisah, tapi dengan bisikan pelan pada diri sendiri:

"Terima kasih untuk semua yang telah dilalui di sini. Dan selamat datang, apa pun yang akan dimulai nanti. Bismillaah, laa haula wa laa quwwata illaa billaah"

Merdeka Menulis

Ada hari-hari ketika aku membuka dokumen kosong, mengetik beberapa kalimat… lalu menghapus semuanya. Bukan karena aku tak punya cerita, tapi...