Hari ini tepat lima tahun.
Lima tahun bukan waktu yang sebentar. Tapi juga bukan waktu yang cukup untuk dinilai tahu segalanya. Justru, dalam lima tahun terakhir ini, aku semakin sadar bahwa memahami hidup dan keadilan bukan soal seberapa banyak aturan yang kau hafal atau seberapa sering kau memutuskan sesuatu dengan yakin. Tapi tentang seberapa sering hatimu diuji untuk tetap menjadi manusia dan memanusiakan manusia di tengah sistem, di balik meja, atau bahkan di depan cerminmu sendiri.
Awalnya, aku pikir aku hanya perlu bekerja sebaik mungkin, menjalankan peran, menyelesaikan tugas, dan memastikan segalanya berjalan sesuai prosedur. Tapi ternyata, pekerjaan ini atau lebih tepatnya, perjalanan ini, membawaku lebih jauh. Ia mengubah cara pandangku tentang manusia, tentang luka yang tak terlihat, tentang harapan-harapan kecil yang menggantung di ruang yang sunyi dari tawa dan familiar dengan tangis.
Aku belajar bahwa tidak semua kesalahan lahir dari niat buruk. Kadang, orang hanya tersesat terlalu lama dan tak ada yang menuntunnya pulang. Aku juga belajar bahwa tidak semua yang menang merasa benar-benar menang, dan tak semua yang kalah berarti kehilangan segalanya.
Keadilan ternyata bukan hanya tentang memberi hukuman. Ia adalah tentang merawat rasa percaya orang-orang yang datang padamu. Mereka percaya bahwa kebenaran bisa ditegakkan maka mereka membawa masalahnya di hadapanmu. Akhirnya kamupun menyadari bahwa ketegasan tidak harus kehilangan empati. Bahwa kamu ingin bukan sekedar menatap berkas di depan matamu tapi juga bagaimana memulihkan keadaan yang dihadapkan padamu. Dan bahwa mendengar bisa lebih menyembuhkan daripada menghukum atas dasar balas dendam.
Dalam ruang itu, aku tak bisa selalu menjelaskan panjang lebar mengapa sebuah keputusan harus seperti itu. Aku juga tak boleh meminta maaf atas setiap kalimat yang mungkin terasa berat didengar. Karena di titik itu, aku harus yakin bahwa keputusan itu, setidaknya menurut yang aku tahu dan aku pahami dengan sebaik-baiknya dan sesungguh-sungguhnya, adalah keputusan yang adil.
Kerap suatu malam yang melelahkan, di balik semuanya, aku selalu menyelipkan doa. Untuk siapa pun yang pernah hadir di ruang itu, semoga hatinya lapang menerima. Semoga tahu ke mana harus melangkah setelah semua usai. Untuk mereka yang mungkin masih menyimpan luka atau kecewa, semoga kelak bisa memaafkan. Semoga yang sempat terputus, suatu saat bisa terajut. Dan yang pernah tersakiti, perlahan akan sembuh.
Di tempat pertama aku ditempatkan, aku tumbuh. Bukan karena aku hebat, tapi karena aku dipaksa belajar hal-hal yang tak pernah diajarkan di bangku sekolah atau kuliah: bersikap tenang dan netral dalam setiap keadaan, mendengarkan dengan sabar saat hati ingin menyela dan bertanggung jawab atas setiap kalimat yang terucap.
Di luar, aku belajar bersikap dewasa dalam keseharian, menahan aksi saat hati ingin bereaksi, menjaga perasaan di tengah tekanan, tetap hadir secara utuh meski kadang merasa lelah atau sepi.
Dari kedua ruang itu, aku mulai mengerti: menjadi dewasa bukan tentang tahu segalanya, tapi tentang sanggup menghadapi yang tak terduga dengan hati yang lega.
Hari ini, aku tidak ingin merayakan. Tapi aku ingin berterima kasih. Kepada Tuhanku yang selalu membukakan mata atas hikmah tersembunyi, kepada diriku sendiri yang pernah takut tapi tetap berjalan, kepada orang-orang yang hadir mendukung dengan caranya. Juga kepada setiap kisah yang pernah singgah di ruang itu, yang mengajarkanku menjadi manusia sebelum menjadi apa pun yang lainnya.
Lima tahun ini membentukku. Bukan menjadi siapa-siapa dan harus dikenal siapa-siapa. Tapi menjadi seseorang yang terus belajar memahami kehidupan dan terus belajar memaknai keadilan. Jangan berhenti.
No comments:
Post a Comment