Mutasi itu seperti pembuka babak baru dalam lembaran perjalanan hidup. Tempat baru, lingkungan baru, adaptasi baru, dan tentu... harapan baru.
Saat pengumuman mutasi datang, banyak teman sejawat bersukaria karena akhirnya mendekati homebase, lebih dekat dengan pasangan, anak, atau orang tua. Saya termasuk yang belum mendekat. Sedikit kecewa pasti ada dan saya pikir itu wajar saja. Siapapun pasti juga punya keinginan untuk dekat dengan kampung halamannya. Bedanya adalah bagaimana kita mengelola kesiapan hati kita setelah bertemu dengan realita. Meski begitu, anehnya saya tidak merasa sedih, justru lebih ke perasaan deg degan untuk memulai sesuatu yang baru.
Mungkin karena sejak awal saya tak pernah berdoa dengan menyebut lokasi tertentu. Saya hanya minta satu hal: ditempatkan di tempat yang terbaik menurut-Nya. Dan saya sadar, itu berarti tempat yang terbaik versi-Nya bisa jadi bukan tempat yang paling saya inginkan secara pribadi. Tapi saya belajar percaya bahwa sesuatu apapun yang datang kepada kita di luar kendali kita, pasti yang terbaik.
Tentu saja, hati kecil tetap ingin pulang. Ingin lebih dekat dengan keluarga. Tapi sisi lain dari hati kecil saya juga sadar: jika semua orang ingin dekat rumah, siapa yang akan bertugas di tempat yang jauh dari rumah? Dan apakah kedekatan geografis selalu menjamin kenyamanan atau kemudahan?
Saya takut menggantungkan hidup pada sudut pandang dan tolak ukur yang saya ciptakan sendiri. Maka saya belajar melepaskan, dan membiarkan langkah ini diarahkan pada sebagaimana mestinya.
Ini adalah mutasi pertama saya sejak menjalani jabatan ini. Rasanya berbeda dari sekadar penempatan saat diklat atau magang. Kali ini benar-benar terasa sebagai peralihan fase hidup. Maka ketika pengumuman keluar, saya mengucap hamdalah dan sempat terdiam. Bingung menentukan reaksi saya. Karena saya ingat: bukankah ini yang saya minta? Tempat terbaik. Bukankah berarti ini tempat terbaik yang disiapkan untuk saya?
Saya menelepon suami. Kami tertawa. Bukan tawa puas tapi juga bukan tawa yang merendahkan. Kami tertawa karena kami sama-sama tahu bahwa kami juga bingung harus bereaksi apa.
Kami kemudian mencari sisi lain yang pasti banyak baiknya. Misalnya ternyata, jarak ke bandara hanya setengah jam. Jarak ke ibukota provinsi juga setengah jam. Kantor saya dan suami pun hanya terpaut kurang dari satu jam. Kami mulai cari tahu tentang berbagai ragam jenis perkara di tempat baru, tempat ibadah terdekat, hingga suasana dan sejarah kota melalui YouTube.
Diskusi kami pun bergeser pada hal-hal praktis: Apa yang dibawa? Apa yang ditinggal? Apa yang dijual? Packingnya bagaimana?
Dan ternyata, karena tempatnya tak terlalu jauh, biaya mutasi pun jadi lebih hemat. Bukankah itu berkah juga? Alhamdulillaah
...
Malam ini saya duduk sendirian. Membaca ulang nama-nama dalam pengumuman mutasi. Rasanya seperti melihat peta yang digambar Sang Pencipta. Kita semua hendak berpindah. Berpindah ke tempat yang kita butuhkan dan juga membutuhkan kita. Saya yakin itu.
...
Lalu saya teringat perbedaan yang jelas antara momen sekarang dan lima tahun yang lalu. Saat pertama kali mendapat kabar penempatan ke Tilamuta, Boalemo, saya menangis. Saya bahkan belum pernah mendengar nama tempat itu sebelumnya. Rasanya begitu jauh dan asing. Dalam hati saya bertanya-tanya, apa saya bisa hidup jauh di sana?
Tapi setelah menjalaninya, lima tahun penuh warna, saya tahu bahwa tempat ini bukan sekadar titik awal. Ini adalah ladang tempat saya menanam dan bertumbuh. Tempat pertama saya memakai jubah, menjalani profesi ini dengan segala perjalanannya. Tempat pertama saya belajar tentang pekerjaan, tentang kemanusiaan, dan mengenal diri sendiri lebih dalam.
Andaikata saya bisa memutar waktu dan diberi kesempatan memilih, saya tetap akan memilih Tilamuta sebagai tempat pertama saya. Karena dari pengalaman ini saya belajar satu hal:
Sesuatu yang belum saya kenal tidak perlu ditangisi. Sebab kemungkinan baik selalu ada bahkan ketika kita belum bisa melihatnya.
Maka kali ini, ketika penempatan tidak sesuai ekspektasi, saya tidak menangis. Saya tersenyum. Saya penasaran: hal sebaik apa lagi yang akan saya temui kali ini?
Dan karena itu pula, saya ingin membagikan beberapa hal yang saya pelajari ketika menghadapi kenyataan yang tidak berjalan sesuai harapan.
- Ingat kembali niat awal.
Terkadang kita kecewa bukan karena kenyataan itu tidak baik, tetapi karena kita lupa apa yang dulu kita minta. Seperti ketika dulu doa saya adalah “tempatkan saya di tempat terbaik”, maka mungkin inilah jawabannya. Meski alasannya belum kita temukan hari ini.
- Bedakan antara harapan dan kendali.
Boleh berharap, tapi jangan lupa bahwa tidak semua hal bisa kita kendalikan. Fokuslah pada hal yang bisa kita atur: niat, sikap, usaha, dan keikhlasan.
- Validasi setiap perasaan, tapi jangan tinggal di sana.
Beri ruang untuk merasa sedih atau tertegun. Itu manusiawi. Tapi jangan terlalu lama berdiam di ruang kekecewaan. Ajak diri perlahan untuk bangkit dan beradaptasi.
- Carilah makna, bukan alasan.
Alih-alih bertanya "Kenapa ini terjadi padaku?", ubah pertanyaan menjadi "Apa yang bisa aku pelajari dari sini?" Perspektif ini akan mengubah beban menjadi bekal.
- Buka mata pada kebaikan kecil yang tetap ada.
Terkadang di tempat yang tidak pernah kita kira, kita menemukan teman baru, pelajaran baru, dan banyak hal lain yang tidak kita sadari.
- Percayalah pada waktu dan proses.
Kita mungkin belum bisa memahami semuanya sekarang. Tapi waktu punya cara untuk membuat kita paham mengapa sesuatu harus terjadi.
Pada akhirnya saya percaya ada banyak kebaikan yang menunggu saya di ujung jalan sana. Saya hanya harus menapaki jalan itu dengan yakin dan penuh keberanian, beserta dengan bekal yang saya punya.
Dalam perjalanan ini saya juga menyiapkan tas bekal yang tidak saya isi karena kelak di sanalah saya akan mengisi tas itu dengan pelajaran, hikmah, dan kenangan-kenangan yang indah.
Bismillaah..
No comments:
Post a Comment