Sunday, 5 October 2025

Penuhi Tangki Cinta Anak Kita Agar yang Ia Tuangkan Pada Sekitarnya Juga Berbentuk Cinta dan Kasih Sayang

Ada saat-saat ketika dunia sosial anak terasa seperti gelombang kecil yang tiba-tiba menjadi ombak. Hari ini ia tertawa dengan teman sebangku, besok sore ia pulang dengan mata basah karena dipanggil nama yang menyakitkan. Di antara jeda itulah hati orang tua sering terombang-ambing antara dorongan untuk melindungi, hasrat untuk menegur, dan keinginan besar agar anak kita tumbuh menjadi pribadi yang tetap lembut. Kita ingin mengajari mereka cara berdiri tegak, tetapi juga ingin memastikan telapak tangan mereka tetap hangat untuk menggenggam tangan temannya. Kita ingin mereka tidak menyakiti, dan tidak pula membiarkan diri disakiti. Pada titik inilah satu kalimat sederhana menjadi kompas: penuhi cinta anak kita, agar yang ia tuangkan ke dunia juga berbentuk cinta dan kasih sayang.

Anak belajar cara memperlakukan orang lain dari cara ia diperlakukan di rumah. Bukan sebatas teori yang kita sampaikan, melainkan atmosfer yang ia hirup setiap hari. Ketika ia ditampung perasaannya, diberi ruang untuk kecewa tanpa dihakimi, dan diajari bahasa untuk menamai sedihnya, maka perlahan ia mengerti: perasaan manusia itu sah untuk hadir, dan tetap bisa ditata. Dari pengalaman ditenangkan, ia belajar menenangkan. Dari pengalaman dihargai, ia belajar menghargai. Dari pengalaman dicintai tanpa syarat, ia belajar bahwa nilai diri tidak ditentukan oleh ajakan bermain atau ejekan sesaat.

Cinta yang kita penuhi di rumah bukan berarti memanjakan tanpa batas, melainkan menghadirkan pelukan, kehadiran, dan batas yang sehat sekaligus. Cinta berkata: “Perilaku menyakitkan tidak boleh diterima.” Kasih sayang menambahkan: “Kamu tetap berharga, dan temanmu mungkin sedang kesulitan mengelola perasaannya.” Kita tidak mengajari anak untuk membalas, tetapi juga tidak meminta mereka menahan sakit sendirian. Kita menunjukkan jalan tengah: boleh mengatakan “Aku tidak suka dipanggil begitu,” boleh menjauh dari situasi yang tidak aman, dan boleh mencari orang dewasa yang bisa membantu. Di waktu yang sama, kita menanam benih empati: orang yang melukai sering membawa luka. Empati tidak memaklumi kekerasan, ia hanya membantu anak memahami bahwa memilih kebaikan bukan tanda kelemahan, melainkan kekuatan yang terlatih.

Ada hari ketika anak berkata, “Dia nggak mau temenan sama aku lagi.” Rasanya seperti pintu kecil yang tiba-tiba ditutup di hadapannya. Di saat begitu, suara kita menjadi jembatan: “Wajar kamu sedih. Kehilangan itu sakit. Mama di sini.” Kata-kata itu mungkin terlihat sederhana, tapi ia mengajarkan sesuatu yang besar, bahwa sedih bukan musuh yang harus disembunyikan, melainkan tamu yang boleh duduk sebentar, diberi minum, lalu diantar pulang. Ketika anak tahu bagaimana caranya menata tamu bernama sedih, ia tak akan menumpahkan sedihnya menjadi sengatan di lidah atau dorongan di tangan. Ia belajar menata, bukan menekan; merasakan, bukan melukai.

Mengisi cawan cinta anak juga berarti menyediakan jeda harian ritual kecil yang konsisten. Lima menit bercerita sebelum tidur, pelukan yang sedikit lebih lama dari biasanya, satu pertanyaan yang tidak terburu-buru: “Bagian mana dari harimu yang paling bikin kamu bangga?” Jeda-jeda kecil ini adalah selimut tipis yang disulam hari demi hari; tidak tebal seketika, tetapi menghangatkan karena akumulasi. Anak tidak selalu ingat semua kalimat yang kita ucapkan, tetapi tubuhnya mengingat rasa aman yang kita bangun: di rumah, ia boleh menjadi dirinya sendiri.

Cinta yang kita penuhkan juga berbentuk bahasa. Kita bisa mengubah “Kamu jangan cengeng” menjadi “Air matamu berharga; sekarang ayo kita cari jalan keluar.” Mengganti “Kamu kan kuat, masa kalah begitu saja?” menjadi “Kamu berani cerita, itu sudah sangat kuat. Kita pikirkan langkah selanjutnya, ya.” Bahasa seperti ini mengajar anak dua hal sekaligus: mengakui rasa dan melatih aksi. Ia mengerti bahwa keberanian bukan berarti tidak menangis, melainkan tetap memilih cara yang baik meski hati retak.

Namun, memenuhi cinta tidak cukup jika tidak disertai penuntunan tentang batas. Kita ajarkan bahwa memaafkan itu mulia, tetapi memaafkan tidak sama dengan mengizinkan orang melukai berkali-kali. Kita bisa berkata, “Memaafkan membuat hati lega, tapi menjaga dirimu juga penting. Kamu boleh memilih teman yang membuatmu menjadi dirimu yang baik.” Kalimat ini menyambungkan dua tepi: rahmah untuk orang lain, dan rahmah untuk diri sendiri. Anak belajar bahwa cinta yang sehat selalu berjalan bersama batas yang jelas.


Di sekolah, kita bisa bersinergi dengan guru dan pengasuh. Bukan untuk mengadili, melainkan untuk membangun budaya menghargai. Ketika anak berani melapor, kita rayakan keberaniannya, bukan mengecapnya sebagai “pengadu.” Kita dorong sekolah membuat kesepakatan kelas: cara menyapa yang baik, kata-kata yang tidak boleh diucapkan, dan langkah pemulihan saat ada yang tersakiti. Anak-anak memerlukan peta; tugas orang dewasa memastikan petanya jelas dan jalannya aman.

Barangkali ada hari-hari ketika lelah mendera, ketika kita merasa gagal menjaga. Ingat: orang tua tidak dituntut sempurna; yang dibutuhkan anak adalah orang tua yang bisa kembali. Kembali menatap mata, kembali mengakui kekeliruan, kembali memeluk. Ketika kita meminta maaf pada anak karena suara kita sempat meninggi, kita sedang mengajar ia seni memperbaiki relasi. Dari rumah, ia belajar bahwa hubungan yang retak bisa dirapikan, dan luka kecil bisa ditempel dengan kejujuran.

Pada akhirnya, anak-anak menumpahkan apa yang penuh di dalam diri. Jika yang penuh adalah amarah yang tak bernama, ia mudah menyenggol. Jika yang penuh adalah validasi, kehangatan, dan contoh batas yang sehat, ia lebih mudah mengulurkan tangan. Karena itu, mari terus mengisi cawan mereka: dengan pelukan yang tidak pelit, dengan kalimat yang menenangkan, dengan teladan yang konsisten. Kita tidak bisa mengontrol semua ombak di luar sana, tetapi kita bisa menyiapkan perahu dayungnya adalah nilai, layarnya adalah kasih, dan kompasnya adalah cinta yang tak bersyarat.

Dan ketika suatu malam ia berbisik, “Dia nggak mau temenan sama aku lagi, Ma,” kita bisa memeluknya sambil berkata pelan, “Rasa sakit ini tidak akan selamanya. Kamu tetap bernilai, tetap dicintai. Mari kita rawat hatimu agar besok, kalau ada teman lain yang butuh kebaikan, kamu masih punya cinta untuk dibagikan.” Begitulah cinta bekerja: ia tidak membuat dunia selalu lembut, tetapi membuat anak kita tetap bisa memilih kelembutan, sekalipun dunia sedang keras.

Semoga pelukan atau perhatian yang terus dihadirkan, dan dari teladan yang terus diperbaiki, pelan-pelan anak kita akan membawa itu dalam dirinya dan kelak menuangkannya ke dunia sebagai cinta dan kasih sayang.

5 Oktober 2025

No comments:

Post a Comment

Penuhi Tangki Cinta Anak Kita Agar yang Ia Tuangkan Pada Sekitarnya Juga Berbentuk Cinta dan Kasih Sayang

Ada saat-saat ketika dunia sosial anak terasa seperti gelombang kecil yang tiba-tiba menjadi ombak. Hari ini ia tertawa dengan teman sebangk...