Sunday, 9 November 2025

Rindu di Setiap Langkah

Pagi ini aku berjalan tanpa rute, mengikuti ke mana kaki ingin melangkah. Udara lembap, langit belum terlalu terang, dan setiap langkah terasa seperti percakapan diam antara aku dan hatiku sendiri. Sampai akhirnya jarak menunjukkan 5,5 kilometer. Aku berhenti sejenak, menarik napas panjang, dan menikmati rasa yang datang, rindu yang dalam, yang selama ini kutahan rapat-rapat: rindu pada anak.


Rindu yang tidak bisa disembunyikan di balik tumpukan tugas, rindu yang tidak bisa diredakan oleh kesibukan sidang, rindu yang tetap muncul bahkan di tengah lingkungan yang nyaman dan aman.

Rindu yang sederhana tapi menyesakkan, seperti ingin memeluk tapi hanya bisa membayangkan aroma rambutnya, ingin mengusap kepala saat hendak tidur atau ingin mengusap air matanya saat ia terjatuh tapi hanya bisa menatap layar ponsel,


---


Aku sering menenangkan diri dengan kalimat, “Ini semua demi mereka.” Dan memang benar. Tapi tetap saja, logika tidak selalu bisa mengalahkan rasa. Karena rindu bukan soal masuk akal atau tidak, melainkan soal hati yang terbayang mendengar tawa mereka setiap pagi, lalu tiba-tiba hanya mendengar suara burung dan detak langkah sendiri.


Rindu pada anak itu seperti berjalan jauh tanpa tahu kapan sampai. Setiap kali aku merasa kuat, tiba-tiba ada momen kecil yang membuat air mata menetes. Melihat anak orang lain digandeng ibunya, mendengar panggilan “Mama” di tempat umum, atau sekadar melihat mainan yang mirip dengan yang anak-anakku suka.


Namun akan selalu ada waktu di mana aku berdoa dalam diam: semoga mereka baik-baik saja, semoga mereka tumbuh dengan sehat dan bahagia, semoga kelak mereka tahu bahwa setiap detik yang kulewati di sini adalah bentuk cinta juga.


---


Kadang aku bertanya pada diri sendiri, bagaimana caranya menjadi ibu yang kuat kalau hati selalu ingin pulang? Tapi lalu aku belajar, mungkin kekuatan itu bukan berarti tidak menangis, melainkan tetap melangkah meski air mata belum kering. Kekuatan itu bukan berarti tidak rindu, melainkan tetap menjalani tanggung jawab dengan penuh cinta, sambil terus membawa nama anak-anak dalam setiap doa dan langkah.


Di titik itu aku sadar, menjadi orang tua ternyata adalah perjalanan pulang yang panjang. Kita tidak selalu berada di sisi mereka secara fisik, tapi kita selalu ingin membawa mereka dalam hati, ke mana pun kita pergi.

Setiap keputusan, setiap pengorbanan, bahkan setiap lelah yang tak terucap, semua bermuara pada satu hal: cinta.


---


Pagi ini, di tengah udara yang sejuk dan jalan yang lengang, aku membiarkan rindu itu hadir sepenuhnya. Tidak kutolak, tidak kusembunyikan. Aku biarkan ia menjadi bagian dari langkahku. Karena mungkin memang begitulah takdir seorang ibu yang hidup di antara jarak: belajar berdamai dengan rindu, sambil percaya bahwa doa bisa menembus ruang yang jauh.


Aku tahu, suatu hari nanti aku akan pulang, entah sementara atau selamanya. Dan ketika itu terjadi, pelukan kecil itu akan terasa seperti dunia yang kembali utuh. Tapi untuk sekarang, aku berjalan dulu.

Karena setiap langkah yang kuambil hari ini adalah bagian dari jalan pulang yang kutuju.


---


Rindu pada anak tidak akan pernah hilang. Ia hanya berubah bentuk, kadang menjadi semangat untuk bekerja dengan baik dan benar, kadang menjadi doa di sepertiga malam, kadang hanya menjadi senyum kecil ketika melihat foto di layar. Tapi rindu itu juga yang membuatku tetap hidup dengan makna: bahwa sejauh apa pun aku pergi, selalu ada alasan untuk kembali.


Dan hari ini, seperti 5,5 kilometer yang kulalui tadi, aku tahu:

aku belum sampai pada 2.500 kilometer yang memisahkan kita,

tapi aku selalu yakin ada waktu dan rezeki untuk bisa sampai di sana


Tunggu Papa dan Mama ya,

Minahasa Utara, 9 November 2025




No comments:

Post a Comment

Rindu di Setiap Langkah

Pagi ini aku berjalan tanpa rute, mengikuti ke mana kaki ingin melangkah. Udara lembap, langit belum terlalu terang, dan setiap langkah tera...