Monday, 1 September 2025

Air Mata yang Menyuburkan Hidup

Aku menemukan sebuah video di Instagram yang memperlihatkan di hutan Amazon di bawah pepohonan, ada seekor kura-kura berdiam diri sementara sekelompok kupu-kupu hinggap di sudut matanya. Sayap mereka bergetar pelan, seolah sedang menari di atas wajah reptil tua itu. Tapi ternyata kupu-kupu itu sedang mengisap air mata kura-kura

Aku mencari lebih jauh tentang hal itu dan aku baru mengetahui bahwa fenomena ini punya nama ilmiah yang indah: lakrifagi. Dari bahasa Latin lacrima (air mata) dan phagein (memakan), istilah ini menggambarkan perilaku kupu-kupu yang mengisap air mata kura-kura untuk mendapatkan garam dan mineral yang tak mereka temukan cukup dari nektar bunga.

Para peneliti di Amazon mendokumentasikan fenomena ini, dan ternyata ia bukan kebetulan. Bagi kupu-kupu, air mata kura-kura adalah nutrisi tambahan yang menyelamatkan hidup mereka.

Yang menarik, kura-kura biasanya tidak terusik. Ia membiarkan kupu-kupu itu menempel, seakan mengerti bahwa ada kehidupan lain yang sedang ia dukung. Dari satu tetes air mata, tercipta hubungan unik antara dua makhluk yang sama sekali berbeda.

---

Aku menatap video yang merekam peristiwa ini berkali-kali, bukan hanya karena keanehannya, melainkan karena sesuatu dalam hatiku yang ikut tersentuh. Betapa alam punya cara aneh untuk menyampaikan pelajaran.

Air mata, yang dalam kehidupan kita sering dimaknai sebagai tanda kelemahan, duka, atau bahkan rasa kalah, ternyata bisa menjadi sumber kehidupan. Apa yang biasanya dianggap sebagai akhir daya tahan, di dunia kupu-kupu justru menjadi awal keberlangsungan hidup.

Ada sesuatu yang menyadarkanku. Bahwa kesedihan tidak selalu sia-sia, bahwa kerentanan tidak selalu berarti hancur, dan bahwa memberi tidak selalu membutuhkan kekuatan, kadang justru lahir dari sisi paling rapuh diri kita.

---

Kita, manusia, sering terburu-buru menyeka air mata. Kita malu terlihat lemah, seakan tangis adalah noda yang harus disembunyikan. Kita lupa bahwa menangis adalah bentuk paling jujur dari menjadi manusia.

Pernahkah kamu merasakan betapa lega hati setelah menangis, meskipun masalah tidak serta-merta selesai? Ada sesuatu yang terurai dalam tiap tetes air mata, seolah tubuh sedang menciptakan ruang baru untuk menampung harapan. Mungkin, di situlah lakrifagi kehidupan bekerja: ketika kita menangis, bukan hanya kita yang merasa lebih ringan, tapi orang lain pun bisa belajar atau bahkan terinspirasi dari kerentanan kita.

Bukankah ada banyak cerita di mana kesaksian orang yang pernah hancur justru menguatkan orang lain? Bukankah sering kita merasa dekat dengan seseorang, bukan karena ia selalu tampak kuat, melainkan karena ia pernah berani menunjukkan luka?

Seperti kura-kura yang membiarkan kupu-kupu menyesap air matanya, kadang yang paling manusiawi yang bisa kita lakukan adalah mengizinkan orang lain menemukan sisi rapuh  kita.

---

Aku jadi ingat percakapan dengan seorang teman yang sedang melalui masa sulit. Ia berkata, “Aku capek selalu kelihatan kuat. Aku ingin sekali bisa menangis tanpa takut dihakimi.” Kata-katanya terucap ringan tapi terasa dalam. Betapa banyak dari kita yang dipenjara oleh ekspektasi: harus tangguh, harus tegar, harus baik-baik saja. Padahal, tak ada yang benar-benar baik-baik saja sepanjang waktu.

Mungkin kita perlu belajar dari kura-kura. Tidak semua kerentanan harus ditutup rapat. Tidak semua air mata harus disembunyikan. Ada waktunya membiarkan orang lain menyaksikan, bahkan “mengisap” kekuatan darinya. Karena pada akhirnya, hidup ini bukan soal selalu kuat sendirian, melainkan soal berbagi ruang, bahkan ruang yang lahir dari kesedihan kita.

---

Lakrifagi mengajarkan satu hal sederhana namun sulit dipraktikkan: jangan buru-buru menolak luka atau kesedihan. Sebab bisa jadi, justru dari situlah lahir sesuatu yang memberi makan jiwa, entah jiwa kita sendiri atau jiwa orang lain.

Air mata tidak selalu tanda kekalahan. Kadang, ia adalah bentuk paling murni dari cinta, kepedulian, atau bahkan keberanian. Seperti kura-kura yang diam, tak melawan, meski matanya dihisap, mungkin ada kalanya kita pun perlu berdiam dan membiarkan pengalaman menyakitkan itu berlangsung. Karena di baliknya, ada kehidupan yang sedang terus berlanjut dan mungkin, ada kupu-kupu yang sedang bertahan berkat air mata kita.

Dan bukankah itu indah? Bahwa di dunia yang keras ini, kesedihan tidak selamanya sia-sia. Bahwa di tengah luka, masih ada ruang bagi kehidupan lain untuk tumbuh.

Air mata yang menyuburkan hidup, itulah warisan kecil yang bisa kita tinggalkan. Sebuah kebermanfaatan meski di tengah luka.


1 September 2025

Monday, 25 August 2025

Pulang Seperti Ikan Salmon

Ada banyak cara Allah menyampaikan pelajaran hidup.

Kadang lewat manusia yang bijak, kadang lewat peristiwa yang mengguncang, dan kadang tanpa kita duga lewat seekor ikan kecil bernama salmon.

Out of no where. Tiba-tiba terbersit dalam pikiranku tentang ikan salmon. Lalu aku mencari tahu tentang cara hidup ikan salmon.

Salmon ternyata tidak tinggal di satu tempat seumur hidupnya.

Ia lahir di air tawar, di sungai-sungai yang tenang. Tapi sejak awal, hidupnya sudah dipenuhi perpisahan. Saat usianya cukup, ia akan meninggalkan tempat kelahirannya dan berenang ke laut lepas.

Laut itu luas, asing, dan tak ramah.

Salmon akan menempuh jarak ribuan kilometer, menyusuri samudra selama bertahun-tahun untuk tumbuh dan bertahan. Ia belajar hidup di dunia yang keras. Ia mengejar makanannya, menghindari pemangsa, melewati arus besar yang tak bisa diprediksi.

Ikan salmon biasanya menempuh jarak migrasi dari laut ke tempat asalnya di sungai sejauh sekitar 1.000 hingga 1.400 kilometer. Selain jarak yang sangat jauh, salmon juga harus mendaki ketinggian hingga 2.100 meter dari permukaan laut untuk mencapai lokasi pemijahan mereka. Perjalanan ini termasuk salah satu migrasi terberat di dunia hewan karena salmon harus berenang melawan arus sungai yang deras dan menghadapi berbagai rintangan seperti predator dan kondisi lingkungan yang sulit

Satu hal yang tak berubah dari ikan salmon yaitu tujuannya.

Menurut riset oleh Dittman & Quinn (1996) dalam jurnal Nature, salmon muda belajar mengenali bau khas air sungai asalnya sebelum migrasi ke laut, sehingga saat dewasa mereka dapat menggunakan memori bau tersebut untuk kembali ke tempat lahirnya. Proses ini bersifat permanen dan sangat penting untuk navigasi dan kelangsungan hidup salmon

salmon memiliki sistem penciuman yang luar biasa tajam. Sejak kecil, ia menghafal "bau" khas sungai tempat ia dilahirkan. 

Bau itu tak sekadar aroma, melainkan kompas biologis yang tersimpan dalam sistem sarafnya. Di tengah laut yang tak mengenal arah, bau itu menjadi panggilan sunyi yang akan menuntunnya pulang.

Dan ketika tiba waktunya, salmon akan kembali.

Ia berenang melawan arus. Melompat di antara jeram dan bebatuan.

Tubuhnya luka-luka, sisiknya mengelupas, siripnya terkoyak. Tapi ia tetap bergerak. Ia tidak kembali untuk bersantai. Ia tidak pulang karena tempat asalnya nyaman. Ia pulang untuk menyelesaikan satu misi terakhir: meneruskan kehidupan.

Salmon bertelur di tempat ia dilahirkan. Lalu mati.

Namun kematiannya bukan akhir yang sia-sia. Tubuhnya yang membusuk menjadi nutrisi bagi tanah dan air, memberi makan tumbuhan air, serangga, bahkan benih yang ia tinggalkan. Sungai menjadi hidup kembali karena pengorbanannya.

Sebagian dari kita mungkin bertanya, mengapa harus sejauh itu? Mengapa tidak menetap saja di laut yang luas? Mengapa harus kembali ke tempat yang dulu, hanya untuk mati?

Tapi di situlah letak pelajarannya.

Salmon tidak memilih jalan termudah.

Ia memilih jalan yang sesuai dengan tujuannya, meski itu jalan yang sulit sekalipun.

---

Kita hidup dalam zaman yang begitu cepat berubah. Banyak dari kita merantau, pindah kerja, membangun karier di tempat yang jauh dari tanah kelahiran. Kadang, pulang jadi sesuatu yang asing. Kita bahkan bingung, ke mana sebenarnya arah “pulang” itu? Apakah tempat yang dulu kita tinggalkan masih menerima kita? Apakah kita masih diingat?


Tapi mungkin, seperti salmon, kita tidak perlu pulang untuk dimanjakan.

Kita pulang untuk kembali.

Untuk menanam benih baru.

Untuk menyelesaikan cerita yang belum selesai.

Mungkin pulang bukan soal kembali ke rumah secara fisik. 

Pulang bisa berarti menyapa orang tua lewat suara yang hangat. 

Mendoakan tanah tempat kita tumbuh.

Mengajarkan nilai hidup yang kita warisi dari tempat asal kepada anak-anak kita, meski mereka tumbuh di tanah berbeda.

Dan kadang, pulang juga berarti mengakhiri siklus dalam hidup kita dengan damai.

Karena kita sadar kita sedang berada dalam perjalanan untuk "pulang".

Salmon mengajarkan bahwa hidup bukan sekadar soal bertahan. Tapi juga tentang keberanian untuk menempuh jalan pulang, meski menyakitkan.

Tentang membayar betapa besarnya kebaikan Pencipta kepada kita yang telah memberi kita kehidupan.

---

Salmon mengajarkan bahwa luka bisa jadi bagian dari perjalanan.

Bahwa tubuh yang lelah dan terkoyak bisa tetap bermakna.

Bahwa akhir bukan hanya tentang berhenti, tapi tentang melanjutkan kehidupan.

---

Hari ini, jika kamu merasa letih, tersesat, atau sedang menempuh jalan pulangmu sendiri—ingatlah salmon.

Ia bukan makhluk paling kuat di lautan. Tapi ia punya tujuan yang tak bisa digoyahkan.

Pulang, baginya, adalah bentuk cinta yang paling utuh.

Cinta itu melahirkan keberanian untuk mewariskan kehidupan terbaik 

Dan bukankah, di ujung segala perjalanan, kita semua ingin pulang?

Entah itu ke rumah, ke diri sendiri, atau ke Tuhan. Dengan hati yang damai, dan jiwa yang tahu: aku sudah menunaikan tugasku.

---

Aku pun termenung barangkali selama ini aku salah. Manusia itu tidak lahir seperti lembar kosong. Fitrahnya manusia adalah kembali kepada Tuhan-Nya. Manusia lahir dengan "blueprint" untuk beriman kepada Yang Menciptakannya. 

Sudahkah kita siap untuk pulang ke titik awal kita?

Monday, 18 August 2025

Merdeka Menulis

Ada hari-hari ketika aku membuka dokumen kosong, mengetik beberapa kalimat… lalu menghapus semuanya.

Bukan karena aku tak punya cerita, tapi karena seperti ada bisikan: “Siapa juga yang akan membaca ini?”

...

Di tengah kesibukan, kelelahan, dan kehidupan yang terus menuntut, menulis sering terasa seperti hal yang dilihat sebelah mata..

Tapi entah mengapa, aku tetap menulis.

Aku pernah bertanya pada diriku sendiri: “Apa gunanya menulis kalau tak ada yang membaca?”

Pertanyaan itu datang di tengah malam, ketika semua orang tidur, sementara aku sibuk menata kata-kata. Kadang menulis terasa seperti memanggil tanpa ada yang menyahutnya,, tak ada gema kembali. Tapi jari-jariku tetap menari di atas huruf-huruf.

Lalu aku sadar: aku menulis bukan untuk dunia. Aku menulis untuk merdeka.

Merdeka dari tuntutan agar semua kata harus dibaca dan disukai orang lain.

Merdeka dari ukuran produktivitas, target, atau hasil yang bisa dihitung.

Merdeka untuk jujur, untuk rapuh, untuk bingung, bahkan untuk kosong.

..

Menulis adalah ruang yang menerimaku apa adanya. Ia tidak menuntut aku selalu kuat. Ia membiarkanku menangis tanpa malu, tertawa tanpa alasan, dan jujur tanpa takut.

Di dunia yang setiap hari menuntut versiku yang “terbaik”, menulis justru menyambut versi diri yang lebih jujur.

..

Dan jika suatu saat ada yang membaca tulisanku, lalu merasa “aku juga pernah merasakan ini,” maka itu adalah bonus yang manis. Tapi bukan itu alasan utamaku tetap menulis.

...

Aku menulis karena di antara semua hal yang bisa hilang, suara hatiku sendiri harus tetap kujaga.

Aku menulis karena di balik semua tuntutan dunia, aku ingin merdeka untuk menjadi diriku sendiri.

Menulis tidak membuat hidupku lebih mudah. Tapi menulis membuatku lebih utuh.

Dan aku rasa itu sudah cukup.

...

Blog ini mungkin tak ramai. Tapi ia hidup. Karena setiap tulisannya lahir dari tempat yang jujur: dari rasa ingin memahami hidup, mencintai proses, dan merawat suara hati agar tidak terkubur.

Inilah kemerdekaan yang kutemukan dalam menulis.


Minut, 18 Agustus 2025

Monday, 11 August 2025

Hidup untuk Diri dan Orang Lain

Aku sedang berjalan santai ketika mataku menangkap sebuah kalimat di punggung kaos seseorang. Hurufnya hitam di atas kain merah: “A life lived for others is a life well lived.”


Aku membacanya sekali, lalu mencatatnya.  Di perjalanan aku mengulangi membaca kalimat itu. Ada sesuatu dari susunan kata itu yang tidak mau lepas dari kepalaku.


Hidup untuk orang lain.

Kalimat itu terdengar sederhana, tapi mengandung dunia di dalamnya.


Di tengah hiruk pikuk yang sering membuat kita mengejar target pribadi, kata-kata ini seperti jeda. Mengingatkan bahwa ada ukuran lain dari keberhasilan hidup: bukan hanya tentang apa yang kita capai, tapi tentang siapa saja yang merasakan hangatnya kehadiran kita.


Aku teringat pada orang-orang yang pernah membuat hidupku terasa lebih ringan. Ada yang mendengarkan ceritaku di hari-hari berat, ada yang memberi senyuman di waktu yang tepat, ada yang mengirimkan pesan singkat, “Semangat ya semoga kamu selalu baik-baik aja” tanpa tahu betapa kalimat itu menyelamatkan.


Memberi untuk orang lain tak selalu berarti pengorbanan besar. Kadang hanya soal menyisihkan sedikit waktu, perhatian, atau tenaga. Kadang hanya tentang memilih untuk hadir, meski sebentar. Dan anehnya, saat kita memberi, kita juga menerima, yaitu menerima rasa syukur, rasa terhubung, rasa bahwa hidup ini lebih besar dari sekadar diri kita sendiri.


Namun, ada satu pandangan lain yang tak kalah penting: “Hiduplah untuk dirimu sendiri. Siapa yang akan menyayangimu kalau bukan dirimu sendiri?

Itu juga benar. Kita tidak bisa menuang dari gelas yang kosong. Menyayangi diri sendiri adalah fondasi: memberi tubuh istirahat yang layak, menjaga hati dari racun, memberi ruang untuk bernapas, dan jujur pada diri tentang apa yang kita butuhkan.


Keduanya tidak bertentangan. Menyayangi diri sendiri menjaga kita tetap berdiri; hidup untuk orang lain memberi arah pada langkah kita. Menyadari batas diri membuat kita bisa memberi dengan tulus, bukan dengan terpaksa.


Mungkin kebahagiaan yang paling murni adalah ketika keduanya bertemu: saat kita cukup menyayangi diri untuk tetap utuh, dan cukup peduli pada orang lain untuk berbagi keutuhan itu.


Kalimat di punggung kaos itu kini sudah hilang ditelan keramaian. Tapi rasanya, ia sudah menetap di hati dan pikiranku, sebagai pengingat, bahwa hidup terbaik adalah hidup yang dimulai dari diri sendiri, lalu mengalir untuk orang lain.


Minahasa Utara, 11 Agustus 2025

Monday, 4 August 2025

Tentang Seorang Kakak yang Selalu Siaga

Saat aku menulis ini, kamu sedang terbaring di ruang ICU, dan aku tak bisa berada di sisimu. Padahal ada begitu banyak hal yang ingin aku ucapkan. Maka biarkan malam ini aku bicara melalui jemariku, sebagai seseorang yang hatinya penuh rindu dan syukur ditakdirkan sebagai adikmu.

...

Sejak kecil sampai sekarang, kamu selalu jadi orang yang paling siaga. Waktu aku masih SD sampai SMP, saat itu kita tinggal bertiga di rumah. Bapak dan Mama udah pindah kerja, Mas Adi masih kuliah di Bandung, jadi tinggal kamu, aku, dan mbak Antik, yang waktu itu masih sekolah, dan kamu sedang kuliah. Kamu yang selalu jemput aku pulang sekolah. Kamu cari jadwal kuliah yang katamu ga akan tabrakan dengan jam pulang sekolahku, juga jam lesku, kamu selalu pastikan kalau kamu pasti bisa antar-jemput aku. Kamu tidak pernah bilang itu pengorbanan, tapi aku tahu sekarang: itu bentuk perhatian dan kasih sayang yang besar.


Waktu dunia ini belum ada internet, kamu mengajakku ke tempat persewaan buku. Dari aku pinjam Bobo, Donal bebek, Conan, Smurf, Witch, majalah remaja, Chicken Soup for the Soul, sampai buku atau majalah yg isinya inspirasi kehidupan, wkwk itu semua aku lalui bersama kamu. Mengajak sewa buku itu sederhana, menyewa buku itu ga mahal, tapi ternyata hal yang tidak mewah itu membuat aku tumbuh dengan berani bermimpi dan selalu belajar berempati. Hal yang ternyata saat ini tidak mudah ditemui.


Waktu aku gagal masuk kelas bahasa inggris di SMA, kamu yang mengantarku mengambil hasilnya, kamu nggak marah atau kecewa, atau menghiburku yang gimana-gimana, kamu cuma bilang "gapapa berarti bukan rezekimu, kamu kan dari SD selalu dapat yg kamu kejar di sekolah, jadi gapapa kalau sekali-sekali ga dapat, Allah cuma lagi ngasih tahu kamu gimana rasanya kalau ga dapat yg kamu minta supaya nanti suatu saat kamu dapat yang lebih, syukurmu jadi tambah besar." Mungkin kamu udah lupa apa yang kamu bilang tapi kata-katamu jadi penguatku sampai sekarang tiap aku menemui sesuatu yang ga sesuai harapanku.


Sampai aku dewasa, kamu tetap menjadi orang yang paling cepat datang kalau aku butuh. Saat aku pulang atau pergi merantau, kamu yang mengantar dan menjemput ke bandara atau stasiun. Bahkan saat aku ditempatkan di Lampung, kamu yang mengantar mobil ke sana agar aku bisa lebih leluasa. Dan ketika aku mau cuti melahirkan saat pandemi COVID, kamu yang menjemput aku pulang dari Lampung. Kita menempuh perjalanan jauh naik mobil, dan meski dunia terasa genting, aku merasa aman karena kamu yang nyetir.


Kamu juga yang sigap untuk anak-anakku. Setiap kali mereka sakit, dan aku jauh, kamu yang selalu datang dan mengantar mereka ke rumah sakit, meski di tengah malam. Sama halnya ketika Bapak sakit. Kamu datang dalam sekejap. Kemudian kamu mijit Bapak jam satu pagi, jam tiga pagi, seolah kamu tidak kenal lelah. Waktu kamu lulus kuliah kamu ditawarin Bapak lanjut S-2 tapi kamu ga mau, kamu bilang kamu mau hidup di desa aja, supaya dekat orang tua, supaya kamu bisa siaga kalau Bapak dan Mama butuh apa-apa. Kamu ga peduli meski dibilang sarjana tapi kok di sawah, sarjana tapi kok pilih di kandang, sarjana tapi kok ga kemana-mana. "Memangnya kenapa, yang penting halal" adalah jawaban andalanmu.


Suatu hari aku bilang kalau aku mau daftar CPNS yang penempatannya seluruh Indonesia, awalnya aku ragu tapi kamu semangat banget, kamupun bilang "lanjut Na, tenang aja Bapak sama Mama nnt yang ngurus aku" sampai akhirnya aku diterima dan ditempatkan dari satu kota ke kota lain, dari satu pulau ke pulau lain, itu adalah kata-kata yang selalu kamu bilang setiap kita pisah di stasiun atau bandara sampai sekarang.


Meski kamu totalitas pada keluarga, kamu tidak pernah melupakan keluarga intimu, istrimu dan anak-anakmu. Meski terlihat keras sebenarnya hatimu tidak sekeras itu, buktinya kamu tetap jadi idola bagi anak-anakmu, entah bagaimana anak-anakmu kalau ditanya ingin jadi apa, jawabannya "ingin seperti Abi".


Kamu tidak pernah menunggu diminta tolong. Kamu selalu datang lebih dulu, hadir sebagai penjaga yang tidak pernah minta ucapan terima kasih. Tapi hari ini, izinkan aku bilang: terima kasih. Untuk setiap jemputan, pijatan, pelukan, dan ketulusan yang kamu berikan tanpa syarat.


Aku tahu, kamu tidak suka menjadi pusat perhatian. Tapi kamu harus tahu: kamu adalah pusat dari banyak hal baik dalam hidupku. Dalam hidup keluarga kita.


Sekarang, tubuhmu sedang beristirahat lebih lama di atas tempat tidur yang dingin di ruangan asing itu. Tapi aku tahu hatimu sedang berjuang. Dan dari jauh, aku menjaga kamu lewat doa-doa yang tidak putus.


Pulanglah, kamu yang selalu siaga. Dunia kami terasa senyap tanpamu. Rumah ini menunggumu. Aku menunggumu. Bukan hanya sebagai adik, tapi sebagai seseorang yang ingin sekali membalas semua kebaikanmu, meski aku tahu, itu tidak akan pernah cukup.


Ya Allah sembuhkanlah, sehatkanlah, Mas Bambang, kakak pertamaku, yang menemani banyak hal pertama dalam hidupku

Minahasa Utara, 4 Agustus 2025

Monday, 28 July 2025

PN Tilamuta: Seberkas Cahaya untuk Peradilan yang Agung

Di tengah krisis kepercayaan masyarakat terhadap institusi yang menegakkan keadilan di negeri ini,

ketika ruang sidang tak lagi selalu dipercaya,

ketika vonis dianggap tak mencerminkan nurani,

dan ketika suara-suara kehilangan tempat untuk berharap,

aku ingin kamu menengok sebuah tempat kecil, tempat mencari keadilan, yang mungkin luput dari perhatian.


Tempat itu bernama Pengadilan Negeri Tilamuta (PN Tilamuta).


Apakah kamu tahu bahwa putusan sesungguhnya bukan produk hakim, melainkan disebut sebagai produk pengadilan? Maka sudah semestinya upaya mewujudkan keadilan bukan hanya semangat dari pemutus perkara secara langsung, tapi juga dari unit-unit pendukungnya.


Meminjam ungkapan Sekretaris PN Tilamuta (Bapak Juang Samadi, S.Pd., M.H.), ditambah dengan apa yang aku rasakan, menurutku PN Tilamuta itu seperti ungkapan:

"Sebelum Hakim mengetuk palu dan Panitera Pengganti menorehkan penanya, kepaniteraan telah memastikan kelengkapan berkas sidang dan kesekretariatan telah memastikan kelengkapan ruang sidang, termasuk palu dan penanya"


Tidak mudah menemukan kesatuan elemen seperti itu apabila diselami lebih dalam makna dan senyatanya. 

PN Tilamuta seperti sebuah pengadilan yang mempersiapkan pengadil fokus mengadili dengan adil. Memberi sarana terbaik, juga menciptakan ruang aman dan nyaman untuk bekerja dengan baik. Aman itu berarti tidak ada intervensi dan nyaman itu berarti tidak banyak problematisasi.


Kamu mungkin tak percaya dengan apa yang aku sampaikan.

Tapi jujur, semua keluhan tentang tempat kerja yang rumit, tentang suasana kantor yang membuat sesak, tak pernah benar-benar aku rasakan.

Di sini, semua seolah berjalan sebagaimana mestinya.

Memang tak ada yang sempurna. Tapi di sini semua mengetahui dan menyadari porsinya.


Aku tidak tahu bagaimana pengalaman para pencari keadilan yang datang mencari keadilan di sini. Tapi aku pastikan selama detik pertama aku dan keempat rekanku melangkahkan kaki di sini, tak ada hal yang bisa mempengaruhi keyakinan kami. Setiap lembar yang kami bacakan adalah buah pikiran atas keyakinan kami dengan dasar hukum dan keadilan. Tentunya dengan sebaik-baiknya yang kami bisa usahakan.


Apa yang aku rasakan itu karena aku tidak berjalan sendiri.

Ada kebersamaan yang membuatku merasa ingin terus bertumbuh memberikan yang terbaik yang aku bisa.

Di sini aku mendapat dukungan dari pimpinan yang memberi ruang dan kepercayaan, teman-teman yang saling mengingatkan, juga rekan kerja yang saling menguatkan, semuanya bagian dari cahaya yang perlahan menyala dalam langkah-langkahku.


Meski Tilamuta 'hanyalah' sebuah pengadilan negeri yang jauh dari pusat keramaian,

atau mungkin membuat langkah awal terasa berat bagi mereka yang baru datang,

tapi saat kamu sudah benar-benar melihat dan merasakannya,

kamu tidak akan kehilangan harapan tentang bagaimana mewujudkan peradilan yang agung.


Tilamuta menguatkan harapan:

bahwa masih ada yang bekerja dengan hati,

yang menjunjung nilai,

dan percaya bahwa keadilan bukan sekadar produk hukum,

melainkan hasil dari kerja bersama manusia-manusia baik yang memegang teguh amanahnya.


Aku percaya kesan itu tak hanya aku rasakan sendiri tapi juga mereka yang pernah berada langsung di dalamnya, dan aku berharap nilai itu akan selalu ada di PN Tilamuta.


Jika suatu hari nanti kamu memiliki kesempatan berkunjung ke Tilamuta,

lihatlah baik-baik.

Karena di sini, harapan itu disemai

bukan dengan gegap gempita,

tetapi dalam diam, dalam dedikasi, dan dalam ketulusan yang tidak menuntut pengakuan.


Di sebuah titik kecil di peta, ada seberkas cahaya.

Cahaya itu tidak bersinar begitu saja,

tapi ia berasal dari generator yang rodanya terus berputar,

karena ada kekuatan bersama yang mengayuhnya.


Dan jika suatu saat nanti orang bertanya padaku,

“Dari mana semua harapan yang kamu sampaikan tentang peradilan yang agung itu berawal?”

Aku akan tersenyum dan berkata:

Dari Pengadilan Negeri Tilamuta 😊


Tilamuta, 29 Juli 2025

Kutulis dini hari seusai packing 

Pada hari terakhirku bertugas di PN Tilamuta 

Monday, 21 July 2025

Mencari Jalan Tidak Harus Memotong Jalan

Dalam hidup, kita seringkali dihadapkan pada pilihan-pilihan kecil yang sebenarnya menunjukkan nilai besar yang kita junjung. Kadang bukan soal aturan itu sendiri, tapi bagaimana kita menyikapinya. Bukan sekadar soal apa yang diatur, tapi bagaimana cara kita memenuhi aturan itu dengan cara yang tetap menjunjung rasa hormat dan tanggung jawab.

Ada perbedaan antara mencari jalan keluar dan memotong jalan. Yang pertama butuh usaha, niat baik, dan kesadaran bahwa segala sesuatu bisa disiasati dengan cara yang tetap elegan sesuai jalurnya. Yang kedua seringkali lahir dari keinginan untuk menyederhanakan sesuatu secara instan tanpa memikirkan dampak atau rasa yang terkandung di dalamnya.

Kita bisa saja berkata, "Ah, ribet banget, yang penting kan tujuannya sama," atau, "Ah, nggak apa-apa, toh ini hal kecil." Tapi dalam banyak hal, cara kita memperlakukan hal kecil justru mencerminkan siapa kita dalam hal besar. Karena hormat itu bukan hanya untuk hal yang penting, tapi untuk setiap proses yang mengandung niat dan tanggung jawab.

Mematuhi sesuatu bukan berarti kehilangan jati diri. Justru di sanalah kita diuji: bagaimana berpikir jernih dan solutif ketika keterbatasan datang. Mungkin kita harus meminjam, meminta tolong, atau menyampaikan alasan dengan jujur pada yang berwenang. Itu semua adalah bentuk usaha yang tetap menjaga integritas dan relasi. Kita tidak sekadar tunduk, tapi turut menjaga makna dari sesuatu yang ditetapkan.

Dan tentang menghormati orang lain, kadang itu bukan soal seberapa banyak kita menyebutkan namanya atau menyertakan mereka dalam rencana, tapi seberapa kita melihat niat baik mereka, memberi ruang bagi perhatian mereka, dan tidak dengan mudah mengabaikannya hanya karena sudah merasa cukup dengan pilihan sendiri.

Sering kita dengar ungkapan, “If there’s no way, create one.” Ungkapan ini sepintas terdengar menggambarkan tentang ketekunan dan pantang menyerah. Tapi menciptakan jalan pun sebenarnya tetap butuh arah. Karena menciptakan jalan bukan berarti membenarkan segala cara. Kita bisa saja menemukan alternatif, tapi jangan sampai niat mempermudah membuat kita kehilangan esensi.

Menciptakan jalan berbeda dari memotong jalan. Yang satu lahir dari kehati-hatian dan hormat terhadap nilai; yang lain kerap lahir dari ketergesaan. Maka jika jalan itu belum ada, ciptakan. Tapi jangan sembarangan. Pastikan jalan itu tetap berpijak pada niat baik, pada tanggung jawab, dan pada kebaikan bersama.

Pada akhirnya, hidup bukan soal siapa yang paling cepat atau paling mudah. Tapi siapa yang tetap berjalan dengan sadar, menjaga nilai dalam setiap langkah kecil, dan tidak menjadikan alasan sebagai pintu untuk mengurangi rasa hormat.

Dari hal kecil dan keputusan kecil sehari-hari kita sesungguhnya secara tidak langsung membentuk kita sekaligus menunjukkan nilai diri kita yang sebenarnya. Semoga kita bisa menjadi pribadi yang tetap menjaga jalan yang benar, meski jalannya kadang terasa lebih panjang.

Air Mata yang Menyuburkan Hidup

Aku menemukan sebuah video di Instagram yang memperlihatkan di hutan Amazon di bawah pepohonan, ada seekor kura-kura berdiam diri sementara ...