Monday, 20 October 2025

Mensyukuri yang Ada Sebelum Mengharap yang Belum Ada

Jika satu saja dari nikmat kecilku hilang besok, yang mana akan paling kurindukan dan bagaimana aku bisa menghargainya hari ini?

Kita sering membayangkan kehilangan dalam bentuk besar: kehilangan pekerjaan, kehilangan orang tercinta, atau kehilangan kesehatan. Tapi sering kali, yang hilang terlebih dahulu justru hal-hal kecil yang dulu terasa terlalu biasa untuk disyukuri:

Aroma kopi pagi.

Suara adzan dari kejauhan.

Udara hangat yang menyapa kulit saat matahari baru terbit.

Tawa anak yang pecah tiba-tiba di ruang tamu.

Saat semuanya berjalan baik, hal-hal itu seperti latar belakang hidup yang tidak kita sadari. Kita menamainya “biasa saja”. Tapi ketika hari-hari berubah, ketika sakit datang, ketika jarak memisahkan, ketika rutinitas tak lagi sama, barulah kita sadar betapa berartinya hal-hal kecil yang dulu kita abaikan. Saat itulah, dari dalam hati yang kosong, muncul bisikan lirih: “Andai dulu aku lebih memperhatikan.”

Menghargai nikmat bukan sekadar mengucapkan syukur, tapi menyadari keberadaannya sebelum ia pergi.

Berhenti sejenak dan biarkan rasa terima kasih memenuhi ruang yang sebelumnya diisi oleh kebiasaan.

Menggenggam tangan anak dan merasakan hangatnya, bukan hanya sebagai rutinitas, tapi sebagai mukjizat kecil.

Mengucap alhamdulillah untuk air yang bisa diminum, atap yang meneduhkan, dan jantung yang masih berdetak.

Kadang kita berpikir rasa syukur harus tampak besar, lewat ucapan, tulisan, atau perayaan. Tapi kita sering lupa bentuk syukur yang selanjutnya yaitu:

cara kita memperlakukan apa yang sudah kita miliki,

Coba bayangkan jika satu saja nikmat kecil itu hilang besok: pendengaran, ketenangan, langkah yang ringan, atau teman yang setia betapa kosong rasanya hari-hari kita.

Dan jika hari ini kita sudah bisa membayangkan kekosongan itu, maka hargailah setiap hal dan setiap momen dalam hidup kita.

Bukan dengan rasa takut kehilangan, tapi dengan kesadaran bahwa keberadaan itu semua saja sudah merupakan kasih sayang-Nya. Bukankah jika seluruh air laut menjadi tinta tetap tak akan cukup untuk menuliskan betapa banyaknya nikmat Allah kepada hamba-Nya?

Sebab keberkahan tidak selalu ada pada hal besar, tetapi juga pada kemampuan hati untuk memperhatikan hal kecil.

Dengan hati yang mampu melihat dan mensyukuri yang ada, maka kita akan selalu merasa kaya tanpa harus menunggu terpenuhi ini dan itu. Maka syukurilah segalanya sebelum diri menuntut segalanya.

Minahasa Utara, 20 Oktober 2025

Sunday, 5 October 2025

Penuhi Tangki Cinta Anak Kita Agar yang Ia Tuangkan Pada Sekitarnya Juga Berbentuk Cinta

Anak belajar cara memperlakukan orang lain dari cara ia diperlakukan di rumah. Bukan sebatas teori yang kita sampaikan, melainkan atmosfer yang ia hirup setiap hari. Ketika ia ditampung perasaannya, diberi ruang untuk kecewa tanpa dihakimi, dan diajari bahasa untuk menamai sedihnya, maka perlahan ia mengerti: perasaan manusia itu sah untuk hadir, dan tetap bisa ditata. Dari pengalaman ditenangkan, ia belajar menenangkan. Dari pengalaman dihargai, ia belajar menghargai. Dari pengalaman dicintai tanpa syarat, ia belajar bahwa nilai diri tidak ditentukan oleh ajakan bermain atau ejekan sesaat.

Cinta yang kita penuhi di rumah bukan berarti memanjakan tanpa batas, melainkan menghadirkan pelukan, kehadiran, dan batas yang sehat sekaligus. Cinta berkata: “Perilaku menyakitkan tidak boleh diterima.” Kasih sayang menambahkan: “Kamu tetap berharga, dan temanmu mungkin sedang kesulitan mengelola perasaannya.” 

Kita tidak mengajari anak untuk membalas, tetapi juga tidak meminta mereka menahan sakit sendirian. Kita menunjukkan jalan tengah: boleh mengatakan “Aku tidak suka dipanggil begitu,” boleh menjauh dari situasi yang tidak aman, dan boleh mencari orang dewasa yang bisa membantu. Di waktu yang sama, kita menanam benih empati: orang yang melukai sering membawa luka. Empati tidak memaklumi kekerasan, ia hanya membantu anak memahami bahwa memilih kebaikan bukan tanda kelemahan, melainkan kekuatan yang terlatih.

Ada hari ketika anak berkata, “Dia nggak mau temenan sama aku lagi.” Rasanya seperti pintu kecil yang tiba-tiba ditutup di hadapannya. Di saat begitu, kita bisa mengatakan: “Wajar kamu sedih. Rasanya seperti ditinggal ya? Mungkin teman kamu lagi pengen main dengan yang lain. It's okay, kamu bisa bermain dengan teman yang lain dulu. Pokoknya Mama di sini akan selalu dengar ceritamu.” Kata-kata itu mungkin terlihat sederhana, tapi ia mengajarkan sesuatu yang besar, bahwa sedih bukan musuh yang harus disembunyikan, melainkan tamu yang boleh duduk sebentar, diberi minum, lalu diantar pulang. Ketika anak tahu bagaimana caranya menata tamu bernama sedih, ia tak akan menumpahkan sedihnya menjadi sengatan di lidah atau dorongan di tangan. Ia belajar menata, bukan menekan; merasakan, bukan melukai.

Mengisi cawan cinta anak juga berarti menyediakan jeda harian ritual kecil yang konsisten. Lima menit bercerita sebelum tidur, pelukan yang sedikit lebih lama dari biasanya, satu pertanyaan yang tidak terburu-buru: “Bagian mana dari harimu yang paling bikin kamu bangga?” Jeda-jeda kecil ini adalah selimut tipis yang disulam hari demi hari; tidak tebal seketika, tetapi menghangatkan karena akumulasi. Anak tidak selalu ingat semua kalimat yang kita ucapkan, tetapi tubuhnya mengingat rasa aman yang kita bangun: di rumah, ia boleh menjadi dirinya sendiri.

Cinta yang kita penuhkan juga berbentuk bahasa. Kita bisa mengubah “Kamu jangan cengeng” menjadi “Air matamu berharga; sekarang ayo kita cari jalan keluar.” Mengganti “Kamu kan kuat, masa kalah begitu saja?” menjadi “Kamu berani cerita, itu sudah sangat kuat. Kita pikirkan langkah selanjutnya, ya.” Bahasa seperti ini mengajar anak dua hal sekaligus: mengakui rasa dan melatih aksi. Ia mengerti bahwa keberanian bukan berarti tidak menangis, melainkan tetap memilih cara yang baik meski hati retak.

Namun, memenuhi cinta tidak cukup jika tidak disertai penuntunan tentang batas. Kita ajarkan bahwa memaafkan itu mulia, tetapi memaafkan tidak sama dengan mengizinkan orang melukai berkali-kali. Kita bisa berkata, “Memaafkan membuat hati lega, tapi menjaga dirimu juga penting. Kamu boleh memilih teman yang membuatmu menjadi dirimu yang baik.” Kalimat ini menyambungkan dua tepi: rahmah untuk orang lain, dan rahmah untuk diri sendiri. Anak belajar bahwa cinta yang sehat selalu berjalan bersama batas yang jelas.


Di sekolah, kita bisa bersinergi dengan guru dan pengasuh. Bukan untuk mengadili, melainkan untuk membangun budaya menghargai. Ketika anak berani melapor, kita rayakan keberaniannya, bukan mengecapnya sebagai “pengadu.” Kita dorong sekolah membuat kesepakatan kelas: cara menyapa yang baik, kata-kata yang tidak boleh diucapkan, dan langkah pemulihan saat ada yang tersakiti. Anak-anak memerlukan peta; tugas orang dewasa memastikan petanya jelas dan jalannya aman.

Barangkali ada hari-hari ketika lelah mendera, ketika kita merasa gagal menjaga. Ingat: orang tua tidak dituntut sempurna; yang dibutuhkan anak adalah orang tua yang bisa kembali. Kembali menatap mata, kembali mengakui kekeliruan, kembali memeluk. Ketika kita meminta maaf pada anak karena suara kita sempat meninggi, kita sedang mengajar ia seni memperbaiki relasi. Dari rumah, ia belajar bahwa hubungan yang retak bisa dirapikan, dan luka kecil bisa ditempel dengan kejujuran.

Pada akhirnya, anak-anak menumpahkan apa yang penuh di dalam diri. Jika yang penuh adalah amarah yang tak bernama, ia mudah menyenggol. Jika yang penuh adalah validasi, kehangatan, dan contoh batas yang sehat, ia lebih mudah mengulurkan tangan. Karena itu, mari terus mengisi cawan mereka: dengan pelukan yang tidak pelit, dengan kalimat yang menenangkan, dengan teladan yang konsisten. Kita tidak bisa mengontrol semua ombak di luar sana, tetapi kita bisa menyiapkan perahu dayungnya adalah nilai, layarnya adalah kasih, dan kompasnya adalah cinta yang tak bersyarat.

Dan ketika suatu malam ia berbisik, “Dia nggak mau temenan sama aku lagi, Ma,” kita bisa memeluknya sambil berkata pelan, “Rasa sakit ini tidak akan selamanya. Kamu tetap bernilai, tetap dicintai. Mari kita rawat hatimu agar besok, kalau ada teman lain yang butuh kebaikan, kamu masih punya cinta untuk dibagikan.” Begitulah cinta bekerja: ia tidak membuat dunia selalu lembut, tetapi membuat anak kita tetap bisa memilih kelembutan, sekalipun dunia sedang keras.

Semoga pelukan atau perhatian yang terus dihadirkan, dan dari teladan yang terus diperbaiki, pelan-pelan anak kita akan membawa itu dalam dirinya dan kelak menuangkannya ke dunia sebagai cinta dan kasih sayang.

Ditulis setelah beberapa hari mendengar cerita anakku tentang hari-harinya di sekolah.

5 Oktober 2025

Monday, 1 September 2025

Air Mata yang Menyuburkan Hidup

Aku menemukan sebuah video di Instagram yang memperlihatkan di hutan Amazon di bawah pepohonan, ada seekor kura-kura berdiam diri sementara sekelompok kupu-kupu hinggap di sudut matanya. Sayap mereka bergetar pelan, seolah sedang menari di atas wajah reptil tua itu. Tapi ternyata kupu-kupu itu sedang mengisap air mata kura-kura

Aku mencari lebih jauh tentang hal itu dan aku baru mengetahui bahwa fenomena ini punya nama ilmiah yang indah: lakrifagi. Dari bahasa Latin lacrima (air mata) dan phagein (memakan), istilah ini menggambarkan perilaku kupu-kupu yang mengisap air mata kura-kura untuk mendapatkan garam dan mineral yang tak mereka temukan cukup dari nektar bunga.

Para peneliti di Amazon mendokumentasikan fenomena ini, dan ternyata ia bukan kebetulan. Bagi kupu-kupu, air mata kura-kura adalah nutrisi tambahan yang menyelamatkan hidup mereka.

Yang menarik, kura-kura biasanya tidak terusik. Ia membiarkan kupu-kupu itu menempel, seakan mengerti bahwa ada kehidupan lain yang sedang ia dukung. Dari satu tetes air mata, tercipta hubungan unik antara dua makhluk yang sama sekali berbeda.

---

Aku menatap video yang merekam peristiwa ini berkali-kali, bukan hanya karena keanehannya, melainkan karena sesuatu dalam hatiku yang ikut tersentuh. Betapa alam punya cara aneh untuk menyampaikan pelajaran.

Air mata, yang dalam kehidupan kita sering dimaknai sebagai tanda kelemahan, duka, atau bahkan rasa kalah, ternyata bisa menjadi sumber kehidupan. Apa yang biasanya dianggap sebagai akhir daya tahan, di dunia kupu-kupu justru menjadi awal keberlangsungan hidup.

Ada sesuatu yang menyadarkanku. Bahwa kesedihan tidak selalu sia-sia, bahwa kerentanan tidak selalu berarti hancur, dan bahwa memberi tidak selalu membutuhkan kekuatan, kadang justru lahir dari sisi paling rapuh diri kita.

---

Kita, manusia, sering terburu-buru menyeka air mata. Kita malu terlihat lemah, seakan tangis adalah noda yang harus disembunyikan. Kita lupa bahwa menangis adalah bentuk paling jujur dari menjadi manusia.

Pernahkah kamu merasakan betapa lega hati setelah menangis, meskipun masalah tidak serta-merta selesai? Ada sesuatu yang terurai dalam tiap tetes air mata, seolah tubuh sedang menciptakan ruang baru untuk menampung harapan. Mungkin, di situlah lakrifagi kehidupan bekerja: ketika kita menangis, bukan hanya kita yang merasa lebih ringan, tapi orang lain pun bisa belajar atau bahkan terinspirasi dari kerentanan kita.

Bukankah ada banyak cerita di mana kesaksian orang yang pernah hancur justru menguatkan orang lain? Bukankah sering kita merasa dekat dengan seseorang, bukan karena ia selalu tampak kuat, melainkan karena ia pernah berani menunjukkan luka?

Seperti kura-kura yang membiarkan kupu-kupu menyesap air matanya, kadang yang paling manusiawi yang bisa kita lakukan adalah mengizinkan orang lain menemukan sisi rapuh  kita.

---

Aku jadi ingat percakapan dengan seorang teman yang sedang melalui masa sulit. Ia berkata, “Aku capek selalu kelihatan kuat. Aku ingin sekali bisa menangis tanpa takut dihakimi.” Kata-katanya terucap ringan tapi terasa dalam. Betapa banyak dari kita yang dipenjara oleh ekspektasi: harus tangguh, harus tegar, harus baik-baik saja. Padahal, tak ada yang benar-benar baik-baik saja sepanjang waktu.

Mungkin kita perlu belajar dari kura-kura. Tidak semua kerentanan harus ditutup rapat. Tidak semua air mata harus disembunyikan. Ada waktunya membiarkan orang lain menyaksikan, bahkan “mengisap” kekuatan darinya. Karena pada akhirnya, hidup ini bukan soal selalu kuat sendirian, melainkan soal berbagi ruang, bahkan ruang yang lahir dari kesedihan kita.

---

Lakrifagi mengajarkan satu hal sederhana namun sulit dipraktikkan: jangan buru-buru menolak luka atau kesedihan. Sebab bisa jadi, justru dari situlah lahir sesuatu yang memberi makan jiwa, entah jiwa kita sendiri atau jiwa orang lain.

Air mata tidak selalu tanda kekalahan. Kadang, ia adalah bentuk paling murni dari cinta, kepedulian, atau bahkan keberanian. Seperti kura-kura yang diam, tak melawan, meski matanya dihisap, mungkin ada kalanya kita pun perlu berdiam dan membiarkan pengalaman menyakitkan itu berlangsung. Karena di baliknya, ada kehidupan yang sedang terus berlanjut dan mungkin, ada kupu-kupu yang sedang bertahan berkat air mata kita.

Dan bukankah itu indah? Bahwa di dunia yang keras ini, kesedihan tidak selamanya sia-sia. Bahwa di tengah luka, masih ada ruang bagi kehidupan lain untuk tumbuh.

Air mata yang menyuburkan hidup, itulah warisan kecil yang bisa kita tinggalkan. Sebuah kebermanfaatan meski di tengah luka.


1 September 2025

Monday, 25 August 2025

Pulang Seperti Ikan Salmon

Ada banyak cara Allah menyampaikan pelajaran hidup.

Kadang lewat manusia yang bijak, kadang lewat peristiwa yang mengguncang, dan kadang tanpa kita duga lewat seekor ikan kecil bernama salmon.

Out of no where. Tiba-tiba terbersit dalam pikiranku tentang ikan salmon. Lalu aku mencari tahu tentang cara hidup ikan salmon.

Salmon ternyata tidak tinggal di satu tempat seumur hidupnya.

Ia lahir di air tawar, di sungai-sungai yang tenang. Tapi sejak awal, hidupnya sudah dipenuhi perpisahan. Saat usianya cukup, ia akan meninggalkan tempat kelahirannya dan berenang ke laut lepas.

Laut itu luas, asing, dan tak ramah.

Salmon akan menempuh jarak ribuan kilometer, menyusuri samudra selama bertahun-tahun untuk tumbuh dan bertahan. Ia belajar hidup di dunia yang keras. Ia mengejar makanannya, menghindari pemangsa, melewati arus besar yang tak bisa diprediksi.

Ikan salmon biasanya menempuh jarak migrasi dari laut ke tempat asalnya di sungai sejauh sekitar 1.000 hingga 1.400 kilometer. Selain jarak yang sangat jauh, salmon juga harus mendaki ketinggian hingga 2.100 meter dari permukaan laut untuk mencapai lokasi pemijahan mereka. Perjalanan ini termasuk salah satu migrasi terberat di dunia hewan karena salmon harus berenang melawan arus sungai yang deras dan menghadapi berbagai rintangan seperti predator dan kondisi lingkungan yang sulit

Satu hal yang tak berubah dari ikan salmon yaitu tujuannya.

Menurut riset oleh Dittman & Quinn (1996) dalam jurnal Nature, salmon muda belajar mengenali bau khas air sungai asalnya sebelum migrasi ke laut, sehingga saat dewasa mereka dapat menggunakan memori bau tersebut untuk kembali ke tempat lahirnya. Proses ini bersifat permanen dan sangat penting untuk navigasi dan kelangsungan hidup salmon

salmon memiliki sistem penciuman yang luar biasa tajam. Sejak kecil, ia menghafal "bau" khas sungai tempat ia dilahirkan. 

Bau itu tak sekadar aroma, melainkan kompas biologis yang tersimpan dalam sistem sarafnya. Di tengah laut yang tak mengenal arah, bau itu menjadi panggilan sunyi yang akan menuntunnya pulang.

Dan ketika tiba waktunya, salmon akan kembali.

Ia berenang melawan arus. Melompat di antara jeram dan bebatuan.

Tubuhnya luka-luka, sisiknya mengelupas, siripnya terkoyak. Tapi ia tetap bergerak. Ia tidak kembali untuk bersantai. Ia tidak pulang karena tempat asalnya nyaman. Ia pulang untuk menyelesaikan satu misi terakhir: meneruskan kehidupan.

Salmon bertelur di tempat ia dilahirkan. Lalu mati.

Namun kematiannya bukan akhir yang sia-sia. Tubuhnya yang membusuk menjadi nutrisi bagi tanah dan air, memberi makan tumbuhan air, serangga, bahkan benih yang ia tinggalkan. Sungai menjadi hidup kembali karena pengorbanannya.

Sebagian dari kita mungkin bertanya, mengapa harus sejauh itu? Mengapa tidak menetap saja di laut yang luas? Mengapa harus kembali ke tempat yang dulu, hanya untuk mati?

Tapi di situlah letak pelajarannya.

Salmon tidak memilih jalan termudah.

Ia memilih jalan yang sesuai dengan tujuannya, meski itu jalan yang sulit sekalipun.

---

Kita hidup dalam zaman yang begitu cepat berubah. Banyak dari kita merantau, pindah kerja, membangun karier di tempat yang jauh dari tanah kelahiran. Kadang, pulang jadi sesuatu yang asing. Kita bahkan bingung, ke mana sebenarnya arah “pulang” itu? Apakah tempat yang dulu kita tinggalkan masih menerima kita? Apakah kita masih diingat?


Tapi mungkin, seperti salmon, kita tidak perlu pulang untuk dimanjakan.

Kita pulang untuk kembali.

Untuk menanam benih baru.

Untuk menyelesaikan cerita yang belum selesai.

Mungkin pulang bukan soal kembali ke rumah secara fisik. 

Pulang bisa berarti menyapa orang tua lewat suara yang hangat. 

Mendoakan tanah tempat kita tumbuh.

Mengajarkan nilai hidup yang kita warisi dari tempat asal kepada anak-anak kita, meski mereka tumbuh di tanah berbeda.

Dan kadang, pulang juga berarti mengakhiri siklus dalam hidup kita dengan damai.

Karena kita sadar kita sedang berada dalam perjalanan untuk "pulang".

Salmon mengajarkan bahwa hidup bukan sekadar soal bertahan. Tapi juga tentang keberanian untuk menempuh jalan pulang, meski menyakitkan.

Tentang membayar betapa besarnya kebaikan Pencipta kepada kita yang telah memberi kita kehidupan.

---

Salmon mengajarkan bahwa luka bisa jadi bagian dari perjalanan.

Bahwa tubuh yang lelah dan terkoyak bisa tetap bermakna.

Bahwa akhir bukan hanya tentang berhenti, tapi tentang melanjutkan kehidupan.

---

Hari ini, jika kamu merasa letih, tersesat, atau sedang menempuh jalan pulangmu sendiri—ingatlah salmon.

Ia bukan makhluk paling kuat di lautan. Tapi ia punya tujuan yang tak bisa digoyahkan.

Pulang, baginya, adalah bentuk cinta yang paling utuh.

Cinta itu melahirkan keberanian untuk mewariskan kehidupan terbaik 

Dan bukankah, di ujung segala perjalanan, kita semua ingin pulang?

Entah itu ke rumah, ke diri sendiri, atau ke Tuhan. Dengan hati yang damai, dan jiwa yang tahu: aku sudah menunaikan tugasku.

---

Aku pun termenung barangkali selama ini aku salah. Manusia itu tidak lahir seperti lembar kosong. Fitrahnya manusia adalah kembali kepada Tuhan-Nya. Manusia lahir dengan "blueprint" untuk beriman kepada Yang Menciptakannya. 

Sudahkah kita siap untuk pulang ke titik awal kita?

Monday, 18 August 2025

Merdeka Menulis

Ada hari-hari ketika aku membuka dokumen kosong, mengetik beberapa kalimat… lalu menghapus semuanya.

Bukan karena aku tak punya cerita, tapi karena seperti ada bisikan: “Siapa juga yang akan membaca ini?”

...

Di tengah kesibukan, kelelahan, dan kehidupan yang terus menuntut, menulis sering terasa seperti hal yang dilihat sebelah mata..

Tapi entah mengapa, aku tetap menulis.

Aku pernah bertanya pada diriku sendiri: “Apa gunanya menulis kalau tak ada yang membaca?”

Pertanyaan itu datang di tengah malam, ketika semua orang tidur, sementara aku sibuk menata kata-kata. Kadang menulis terasa seperti memanggil tanpa ada yang menyahutnya,, tak ada gema kembali. Tapi jari-jariku tetap menari di atas huruf-huruf.

Lalu aku sadar: aku menulis bukan untuk dunia. Aku menulis untuk merdeka.

Merdeka dari tuntutan agar semua kata harus dibaca dan disukai orang lain.

Merdeka dari ukuran produktivitas, target, atau hasil yang bisa dihitung.

Merdeka untuk jujur, untuk rapuh, untuk bingung, bahkan untuk kosong.

..

Menulis adalah ruang yang menerimaku apa adanya. Ia tidak menuntut aku selalu kuat. Ia membiarkanku menangis tanpa malu, tertawa tanpa alasan, dan jujur tanpa takut.

Di dunia yang setiap hari menuntut versiku yang “terbaik”, menulis justru menyambut versi diri yang lebih jujur.

..

Dan jika suatu saat ada yang membaca tulisanku, lalu merasa “aku juga pernah merasakan ini,” maka itu adalah bonus yang manis. Tapi bukan itu alasan utamaku tetap menulis.

...

Aku menulis karena di antara semua hal yang bisa hilang, suara hatiku sendiri harus tetap kujaga.

Aku menulis karena di balik semua tuntutan dunia, aku ingin merdeka untuk menjadi diriku sendiri.

Menulis tidak membuat hidupku lebih mudah. Tapi menulis membuatku lebih utuh.

Dan aku rasa itu sudah cukup.

...

Blog ini mungkin tak ramai. Tapi ia hidup. Karena setiap tulisannya lahir dari tempat yang jujur: dari rasa ingin memahami hidup, mencintai proses, dan merawat suara hati agar tidak terkubur.

Inilah kemerdekaan yang kutemukan dalam menulis.


Minut, 18 Agustus 2025

Monday, 11 August 2025

Hidup untuk Diri dan Orang Lain

Aku sedang berjalan santai ketika mataku menangkap sebuah kalimat di punggung kaos seseorang. Hurufnya hitam di atas kain merah: “A life lived for others is a life well lived.”


Aku membacanya sekali, lalu mencatatnya.  Di perjalanan aku mengulangi membaca kalimat itu. Ada sesuatu dari susunan kata itu yang tidak mau lepas dari kepalaku.


Hidup untuk orang lain.

Kalimat itu terdengar sederhana, tapi mengandung dunia di dalamnya.


Di tengah hiruk pikuk yang sering membuat kita mengejar target pribadi, kata-kata ini seperti jeda. Mengingatkan bahwa ada ukuran lain dari keberhasilan hidup: bukan hanya tentang apa yang kita capai, tapi tentang siapa saja yang merasakan hangatnya kehadiran kita.


Aku teringat pada orang-orang yang pernah membuat hidupku terasa lebih ringan. Ada yang mendengarkan ceritaku di hari-hari berat, ada yang memberi senyuman di waktu yang tepat, ada yang mengirimkan pesan singkat, “Semangat ya semoga kamu selalu baik-baik aja” tanpa tahu betapa kalimat itu menyelamatkan.


Memberi untuk orang lain tak selalu berarti pengorbanan besar. Kadang hanya soal menyisihkan sedikit waktu, perhatian, atau tenaga. Kadang hanya tentang memilih untuk hadir, meski sebentar. Dan anehnya, saat kita memberi, kita juga menerima, yaitu menerima rasa syukur, rasa terhubung, rasa bahwa hidup ini lebih besar dari sekadar diri kita sendiri.


Namun, ada satu pandangan lain yang tak kalah penting: “Hiduplah untuk dirimu sendiri. Siapa yang akan menyayangimu kalau bukan dirimu sendiri?

Itu juga benar. Kita tidak bisa menuang dari gelas yang kosong. Menyayangi diri sendiri adalah fondasi: memberi tubuh istirahat yang layak, menjaga hati dari racun, memberi ruang untuk bernapas, dan jujur pada diri tentang apa yang kita butuhkan.


Keduanya tidak bertentangan. Menyayangi diri sendiri menjaga kita tetap berdiri; hidup untuk orang lain memberi arah pada langkah kita. Menyadari batas diri membuat kita bisa memberi dengan tulus, bukan dengan terpaksa.


Mungkin kebahagiaan yang paling murni adalah ketika keduanya bertemu: saat kita cukup menyayangi diri untuk tetap utuh, dan cukup peduli pada orang lain untuk berbagi keutuhan itu.


Kalimat di punggung kaos itu kini sudah hilang ditelan keramaian. Tapi rasanya, ia sudah menetap di hati dan pikiranku, sebagai pengingat, bahwa hidup terbaik adalah hidup yang dimulai dari diri sendiri, lalu mengalir untuk orang lain.


Minahasa Utara, 11 Agustus 2025

Friday, 8 August 2025

Pemimpin yang Melihat dan Menghargai

Saat itu saya menghadap Ketua untuk membahas perihal surat tugas sekaligus menyampaikan terima kasih dan maaf atas segala interaksi selama kami bekerja bersama.

Kesan-kesan yang beliau sampaikan membuat saya merasa memiliki pemimpin yang melihat dan menghargai, sedangkan pesan-pesan yang beliau sampaikan akan saya bagikan juga di sini:

1. Tegas Itu Tidak Harus Konfrontatif

“Tetaplah bersikap tegas, sikap tegas yang tidak harus konfrontatif.”

Ketegasan yang tidak konfrontatif bisa menjadi jembatan. Sikap tersebut membantu pimpinan mengambil keputusan karena menciptakan ruang diskusi yang sehat, bukan penuh ketegangan.

Ternyata, ketegasan tidak harus disampaikan dengan berteriak, ketegasan juga bisa disampaikan dengan tenang tanpa mencederai.

2. Genggam Erat Orang-orang Baik


“Kalau bertemu orang yang menurutmu baik dan nilai dirinya sejalan denganmu, genggamlah erat hubungan itu. Karena belum tentu kamu akan bertemu lagi orang seperti itu.”

Kita sering menganggap rekan kerja hanya bagian dari sistem. Tapi pesan ini mengingatkan saya bahwa di balik struktur, ada manusia. Ada hubungan yang, jika dijaga dengan tulus, bisa menjadi kekuatan yang tak tergantikan.

Relasi yang sehat bukan hanya memperlancar kerja, tapi juga memperkuat dalam menjalani hari-hari kerja yang melelahkan. Apabila kita bisa menemukan orang yang kita nilai baik dan sejalan, apalagi yang bisa kita jadikan contoh, itu adalah hubungan yang patut kita jaga dengan baik.

3. Integritas tidak boleh membuat seseorang menjadi jumawa

“Integritas tidak terjadi dalam satu malam. Ia adalah buah dari konsistensi. Tapi kalau kita mampu menjaganya, jangan sampai menjadikan kita jumawa. Tetap berbuat baik pada siapapun, siapa tahu kelembutan atau kebaikan kita bisa membuka hati orang lain yang berjalan bersama kita.”

Integritas sering dipandang sebagai sesuatu yang besar, tapi sesungguhnya, ia dibangun dari keputusan-keputusan kecil yang jujur, bahkan saat tidak ada yang melihat. Dan ketika orang mulai dikenal karena integritas, di situlah godaan baru muncul: merasa lebih baik dari orang lain. Oleh karena itu Pak Ketua mengingatkan untuk tetap rendah hati, tetap manusiawi, tetap berbuat baik pada siapapun.

Kita tidak pernah tahu apa yang dialami orang lain, bisa saja orang yang kita anggap kurang baik suatu saat menjadi jauh lebih baik dari kita. Maka kita harus menjaga hati agar tidak merasa lebih besar atau merasa lebih baik daripada orang lain.

...

Tiga pesan itu menjadi bekal untuk melangkah. Ternyata langkah saya bukan untuk meninggalkan, tapi "berangkat" untuk tujuan yang lebih besar.

Terima kasih, Pak Ketua, Bapak Jayadi Husain, S.H., M.H. Terima kasih telah melihat bukan hanya apa yang saya atau rekan saya kerjakan, tapi juga menghargai siapa kami saat menjalaninya. Semoga setiap kebaikan yang Bapak tinggalkan menjadi amal yang tidak terputus.

Surat tugas sudah dijalankan, dan saat ini saya telah berpindah tugas, tapi warisan nilai dari kepemimpinan Bapak akan terus saya bawa, ke manapun kaki ini melangkah.

Berangkat dari Tilamuta
Agustus 2025

Mensyukuri yang Ada Sebelum Mengharap yang Belum Ada

Jika satu saja dari nikmat kecilku hilang besok, yang mana akan paling kurindukan dan bagaimana aku bisa menghargainya hari ini? Kita sering...