Sunday 14 May 2017

Seringnya Kita

Seringnya kita tertawa lebar saat dilimpahi nikmat,mengekspresikan kebahagiaan kita seolah dunia harus tau segalanya. tak peduli apakah saudara disamping kita sedang dalam kesulitan yang pelik, atau sedang punya beban yang melilit. Yang penting kita sedang bahagia. Itu saja.

Seringnya saat kita lelah, kita berharap ada bahu yang setia menawarkan diri menjadi sandaran, ada tangan yang rela memberikan pijatan menghilangkan pegal dikaki dan kebas ditangan, atau seminimalnya ada tangan yang menepuk pundak kita meyakinkan bahwa kita masih kuat, atau sekedar tatapan teduh yang mengisyaratkan bahwa masih ada kawan yang senantiasa bersedia membersamai. Itu sering jadi harapan kita terhadap orang lain, tapi sebaliknya jika orang lain yang mungkin kelelahan; jangankan untuk meringankan lelahnya, meliriknya dan menanyai kabarnya pun, seringkali kita tak sempat. Kita masing-masing sibuk dalam dunia kita sendiri.

Seringnya kita saat memberikan amanah kepada orang lain, berharap orang itu mampu bekerja dengan professional dan baik. Kita hanya mengharapkan mereka bekerja dengan baik. Namun jarang sekali kita berusaha mengetahui beban-beban pribadinya semisal kesehatan, finansial dan akademik, apakah semua itu juga berjalan dengan baik ataukah tidak?. Seringnya kita lupa, bahwa terkadang seseorang berupaya memenuhi komponen profesionalitas yang kita harapkan, sampai akhirnya ia lalai untuk profesional dalam urusannya sendiri, ia lalai dalam mengurus dirinya sendiri. Dan parahnya kita selalu terlambat menyadari, bahwa kita sudah mengabaikan banyak hal mengenai saudara kita selama ini.

Mungkin saja kesalahan ada pada diri kita sendiri. Kita tidak bisa memaksakan orang lain memenuhi
Mengandaikan sesuatu tak memperbaiki apapun. Tetapi mengevaluasi diri sendiri dan keadaan lah yang memperbaikinya. Semaksimal apapun kita berusaha, . Karena kita harus belajar melihat sesuatu tidak harus dari sudut pandang kita sendiri. Kita tidak bisa memaksa seseorang berkomitmen. Tetapi berpegag teguh pada komitmen adalah pilihan.

Seringnya kita, saat susah sedih dan gundah, kita berharap dan berharap dan berharap ada orang lain yang bersedia meringankan, membersamai, menolong, atau bahkan mengambil alih beban-beban kita dengan suka rela. Padahal semua yang dilimpahkan pada kita sudah diatur kadarnya; berapa orang yang akan membersamai, berapa banyak yang harus ditanggung, berapa pelik yang harus dihadapi. Semua diatur sesuai kadar. Tak ada yang salah dan tak ada yang tertukar. Tapi kita masih saja berharap kepekaan untuk meringankan, dari manusia-manusia yang juga sedang berharap hal yang sama dari kita.

Padahal ada yang senantiasa berharap kita datang tersedu disepertiga malam mengadukan segalanya pada-Nya. Mengembalikan seluruh pengharapan hanya pada-Nya. Memohon dukungan dan kekuatan hanya pada-.

Don’t depend on yourself, Don’t depend on other people: Depend on Allah. Depend on Allah. Depend on Allah.

©Hanifah | 2015
Sebuah tulisan yang baik untuk direnungkan dari cakrawalabiru.tumblr.com
_________________________________________
Semoga diam kita bukan karena tidak mau bicara, sendiri kita bukan karena tidak ingin diganggu. Tapi diam dan sendiri kita menjadi saat di mana kita merenungi apakah semua yang ada di kepala kita sudah sejalan dengan apa yang ada di dalam hati. Bukalah mata untuk melihat sesuatu dari berbagai sudut pandang dan bukalah hati agar dapat menerima segala sesuatu dengan lapang. Semoga dengan demikian kita belajar lebih peka terhadap banyak hal di luar diri. Karena dimanapun kita berdiri, kita ini tidak hidup sendiri. Baik-baiklah dalam membawa diri.

Klaten 14 Mei 2017

No comments:

Post a Comment

Hidup Adalah Seni Menjadi Stranger (Sebuah Perjalanan Mengenal Career Class)

Saat aku udah mulai stuck , biasanya aku akan "berkelana" menjadi stranger. Masuk ke lingkungan yang benar-benar baru, nggak ada t...