Sunday 17 September 2017

Kemampuan Kita (tidak) Terbatas

Saya selalu mengagumi setiap orang yang saya temui. Saya yakin setiap orang punya sesuatu yang bisa saya jadikan contoh atau pembelajaran untuk diri saya sendiri. Salah satunya adalah, saya belajar banyak dari kegigihan teman saya saat harus terus vertahan dalam keadaan nya yang serba terbatas.


Teman saya berasal dari suatu daerah di Jawa. Awalnya ia tidak pernah bercita untuk kuliah, karena di desanya tidak ada orang yang kuliah. Dalam bayangannya, selepas SMA, ia akan menjadi TKI, melihat beberapa kesuksesan orang-orang di desanya yang mengadu nasib di negeri orang. Namun tak sengaja, ia mendaftarkan ujian masuk universitas, karena saat itu ia hanya ikut teman-temannya yang kala itu sedang antri panjang di ruang guru untuk mendaftar kuliah. Beberapa tahun lalu, mendaftar kuliah tidak seperti sekarang yang bisa online dan upload semudah menekan tombol enter. Jadi saat itu, antrian panjang adalah antrian pendaftaran dari sekolah untuk dikirimkan berkasnya ke universitas. Ketidaksengajaan masuk dalam antrian, membuat dia bingung harus mendaftar jurusan apa, sehingga ia hanya asal menyebut bahwa ia akan mendaftar sama dengan orang yang di depannya. Sesederhana itu.


Dan rencana Allah pun berjalan, tak disangka ia diterima di sebuah universitas negeri di Yogyakarta. Awalnya, ia tidak mendapat restu dari ayahnya karena orang tua nya tak ada biaya. Bekerja sebagai petani saat itu tak mampu memenuhi uang spp apalagi biaya tinggal dan hidupnya di Kota Yogya. Tapi ibunya lah justru yang meyakinkan dirinya sendiri yang mulai goyah karena penolakan ayahnya. Ibunyalah yang meyakinkan ayahnya bahwa dia pasti bisa. Akhirnya ayahnya setuju dengan catatan ayahnya hanya mampu memberinya uang spp 1 semester dan uang kos, serta biaya hidup selama 6bulan. Selebihnya ayahnya tidak bisa menjamin karena memang tabungannya telah habis digunakan untuk itu. Teman saya menyanggupi dan berjanji pasti akan bisa bertahan dan berjuang, ia berjanji akan menyelesaikan studinya.


Alhasil karena biaya hidupnya hanya mampu dicukupi orang tuanya dalam enam bulan, selama empat tahun kuliah selanjutnya, ia tidak punya tempat berteduh dari panas, berlindung dari hujan, dan berbaring untuk melepas lelah. Dihabiskannya hari-hari di tempat yang berbeda, kadang di kos temannya, kadang di sebuah masjid yang dijumpainya, kadang di sekretariat organisasinya, atau kadang di dalam mobil operasional di sekrenya, asasnya dimanapun ia berada ia (harus) bisa merasa nyaman. Dia hanya sedikit memiliki pakaian dan tidak pernah punya buku, supaya ia hanya membawa sedikit barang untuk di bawa kemana-mana. Maka dari itu, demi memenuhi kebutuhannya, di samping kuliah, dia juga bekerja. Saya tidak pernah menyangka di tengah kehidupan kampus yang megah ini, di tengah kehidupan sosial kita yang semakin konsumtif dan menomorsatukan sebuah pengakuan, saya bertemu dengan seseorang yang begitu sederhana dengan pemikirannya yang luar biasa.


Saat kita kuliah cukup fokus dengan hari ini tugas apa, besok ujian apa, ia juga harus berpikir hari ini makan apa dan nanti harus tidur di mana. Saya tidak bisa membayangkan kehidupan bagaimana yang ia hadapi selama empat tahun menempuh pendidikan S1 nya itu. Saya saja tidak kuasa membayangkannya, namun kenyataannya ia sudah menamatkan S1 nya dengan lancar, dan itu adalah bukti bahwa ternyata ia memang mampu melaluinya. Alhamdulillaah, sekarang ia telah memiliki pekerjaan yang tetap dan bisa membantu keluarganya, bahkan juga orang-orang di sekitarnya.


Ternyata selama ini satu hal yang selalu membuatnya kuat, yaitu ibunya. Kekaguman saya tertuju pada sosok ibu yang bagaimanakah yang bisa mendidik anaknya menjadi seseorang yang sekuat teman saya itu. Saya berkeinginan suatu hari harus berkunjung ke rumahnya untuk berkenalan dengan beliau. Tapi suatu hari beberapa bulan lalu saya mendapat kabar bahwa ibunya meninggal dunia. Kabar yang sangat mendadak, karena ibunya tidak pernah mengeluhkan sakit. Saya sedih mendengarnya, seperti ikut merasa kehilangan.


Itulah kenapa saya saya pernah menulis ungkapan kekaguman saya di blog ini dengan judul hormatku untuk ibumu , beberapa waktu lalu. Saya kagum bagaimana beliau bisa mendidik anaknya hingga menjadi seseorang yang dalam menjalani hidupnya selalu berusaha dengan keras, memiliki jalan pemikiran yang cerdas dan memiliki kesabaran yang tak mudah mencapai batas. Terima kasih, dari keluarga ini, saya telah belajar banyak. 

Berjuanglah tanpa batas,
karena satu-satunya batas,
adalah saat di mana kita kembali pada Yang Di Atas

Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya. -QS. 2: 286-

Apa yang ada di sisimu akan lenyap, dan apa yang ada di sisi Allah adalah kekal. Dan Kami pasti akan memberi balasan kepada orang yang sabar dengan pahala yang lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan. -QS. 16:96-


1 Minggu 1 Cerita
Yogyakarta, 17 September 2017

No comments:

Post a Comment

Hidup Adalah Seni Menjadi Stranger (Sebuah Perjalanan Mengenal Career Class)

Saat aku udah mulai stuck , biasanya aku akan "berkelana" menjadi stranger. Masuk ke lingkungan yang benar-benar baru, nggak ada t...