Di usia yang semakin dewasa,
selain adanya keinginan atau target untuk menikah, kita juga perlu mulai
memikirkan bagaimana kira-kira yang dapat dilakukan nantinya sebagai orang
tua supaya bisa mendidik anak-anak kita nanti. Hal ini penting agar
orientasi kita untuk menikah bukan sekedar cinta, bukan sekedar keinginan,
bukan sekedar sebuah target. Tetapi lebih dari itu, sebagai sebuah Ibadah.
Dalam pernikahan, Allah
memberikan rahmah berupa anak. Anak adalah amanah dari Allah yang harus kita
jaga. Yang namanya amanah, suatu saat bisa diambil dan suatu saat wajib
dikembalikan. Ketika kita mengembalikan sesuatu kepada pemiliknya, maka sudah
selayaknya lah kita mengembalikan dalam keadaan sebaik-baiknya.
Mendidik anak sudah
dimulai dari bahkan sebelum kita menikah. Bagaimana caranya? Dengan berusaha
terus memperbaiki diri dan mendekatkan diri kepada Allah setiap harinya. Bagaimana
kita bisa mendidik anak dengan baik jika kita tidak membekali diri kita dengan
baik. Maka memperbaiki diri adalah sebuah keharusan.
Seperti kata orang,
wanita adalah akar dari sebuah generasi. Jadilah sebaikbaiknya diri kita untuk
mempersiapkan diri menjadi guru pertama bagi anak-anak kita nanti. Semoga
dengan usaha memperbaiki diri ini, kita nantinya dipertemukan pula dengan
seorang laki-laki yang baik dan siap membimbing kita sekeluarga menuju jannah.
Jika nantinya menjadi
orang tua, saya akan menanamkan kecintaan kepada Allah sejak kecil. Saya ingin
anak kami nanti di setiap langkah yang ia ambil akan selalu ingat dan berserah
diri kepada Allah.Saya rasa ini akan menjadi tugas yang berat bagi saya dan
suami saya (nanti) sebagai orang tua mengingat perkembangan dunia dan pergaulan
yang semakin bebas saat ini.
Saat ini perkembangan
segala aspek kehidupan mendorong banyak orang tua jauh lebih resah seandainya
mereka meninggal dunia, anak cucunya hendak makan apa daripada jika mereka
meninggal dunia, anak cucunya hendak menyembah siapa.
Apakah ketika meninggal
dunia nanti, anaknya tetap akan menyembah Allah, atau jangan-jangan harta lah
yang diagungkan, jabatan lah yang dielu-elukan, dan kesenangan dunia lah yang
dia tuhankan?
Maka dari itu, saya
meyakini bahwa kegagalan itu bukan ketika orang tua berhasil dalam karir tetapi
anaknya memilih hidup sederhana dengan jalannya sendiri. Bukanlah kegagalan
sepanjang anak-anaknya tahu tujuan hidupnya dan punya komitmen yang kuat
terhadap agamanya.
Kegagalan adalah ketika
anak berhasil melebihi keberhasilan orang tua, tetapi jiwanya gersang, hatinya
rapuh, dan iman hampir tak terlihat bekasnya, bahkan telah hilang dari dalam
dirinya.
Wahai Dzat Yang Maha Membolak-balikkan Hati,
teguhkanlah hati kami di atas agama Mu
Dan Ibrahim telah
mewasiatkan ucapan itu kepada anak-anaknya, demikian pula Ya'qub. (Ibrahim
berkata): “Hai anak-anakku! Sesungguhnya Allah telah memilih agama ini bagimu,
maka janganlah kamu mati kecuali dalam memeluk agama Islam (QS. Al Baqarah:
132)
Ya Tuhanku, jadikanlah
aku dan anak cucuku orang-orang yang tetap mendirikan shalat, ya Tuhan kami,
perkenankanlah doaku. (QS. Ibrahim: 40)
Dan (ingatlah) ketika
Luqman berkata kepada anaknya, di waktu ia memberi pelajaran kepadanya: Hai
anakku, janganlah kamu mempersekutukan Allah, sesungguhnya mempersekutukan
(Allah) adalah benar-benar kezaliman yang besar. (QS. Luqman: 14)
Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu; penjaganya malaikat-malaikat yang kasar, yang keras, yang tidak mendurhakai Allah terhadap apa yang diperintahkan-Nya kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan. (QS At Tahrim: 6)
Tulisan ini sekaligus
menjadi pengingat bagi saya pribadi jika Allah mengamanahkan
saya sebagai orangtua di suatu saat nanti
Yogyakarta, 23 Februari 2017
No comments:
Post a Comment