Monday, 1 September 2025

Air Mata yang Menyuburkan Hidup

Aku menemukan sebuah video di Instagram yang memperlihatkan di hutan Amazon di bawah pepohonan, ada seekor kura-kura berdiam diri sementara sekelompok kupu-kupu hinggap di sudut matanya. Sayap mereka bergetar pelan, seolah sedang menari di atas wajah reptil tua itu. Tapi ternyata kupu-kupu itu sedang mengisap air mata kura-kura

Aku mencari lebih jauh tentang hal itu dan aku baru mengetahui bahwa fenomena ini punya nama ilmiah yang indah: lakrifagi. Dari bahasa Latin lacrima (air mata) dan phagein (memakan), istilah ini menggambarkan perilaku kupu-kupu yang mengisap air mata kura-kura untuk mendapatkan garam dan mineral yang tak mereka temukan cukup dari nektar bunga.

Para peneliti di Amazon mendokumentasikan fenomena ini, dan ternyata ia bukan kebetulan. Bagi kupu-kupu, air mata kura-kura adalah nutrisi tambahan yang menyelamatkan hidup mereka.

Yang menarik, kura-kura biasanya tidak terusik. Ia membiarkan kupu-kupu itu menempel, seakan mengerti bahwa ada kehidupan lain yang sedang ia dukung. Dari satu tetes air mata, tercipta hubungan unik antara dua makhluk yang sama sekali berbeda.

---

Aku menatap video yang merekam peristiwa ini berkali-kali, bukan hanya karena keanehannya, melainkan karena sesuatu dalam hatiku yang ikut tersentuh. Betapa alam punya cara aneh untuk menyampaikan pelajaran.

Air mata, yang dalam kehidupan kita sering dimaknai sebagai tanda kelemahan, duka, atau bahkan rasa kalah, ternyata bisa menjadi sumber kehidupan. Apa yang biasanya dianggap sebagai akhir daya tahan, di dunia kupu-kupu justru menjadi awal keberlangsungan hidup.

Ada sesuatu yang menyadarkanku. Bahwa kesedihan tidak selalu sia-sia, bahwa kerentanan tidak selalu berarti hancur, dan bahwa memberi tidak selalu membutuhkan kekuatan, kadang justru lahir dari sisi paling rapuh diri kita.

---

Kita, manusia, sering terburu-buru menyeka air mata. Kita malu terlihat lemah, seakan tangis adalah noda yang harus disembunyikan. Kita lupa bahwa menangis adalah bentuk paling jujur dari menjadi manusia.

Pernahkah kamu merasakan betapa lega hati setelah menangis, meskipun masalah tidak serta-merta selesai? Ada sesuatu yang terurai dalam tiap tetes air mata, seolah tubuh sedang menciptakan ruang baru untuk menampung harapan. Mungkin, di situlah lakrifagi kehidupan bekerja: ketika kita menangis, bukan hanya kita yang merasa lebih ringan, tapi orang lain pun bisa belajar atau bahkan terinspirasi dari kerentanan kita.

Bukankah ada banyak cerita di mana kesaksian orang yang pernah hancur justru menguatkan orang lain? Bukankah sering kita merasa dekat dengan seseorang, bukan karena ia selalu tampak kuat, melainkan karena ia pernah berani menunjukkan luka?

Seperti kura-kura yang membiarkan kupu-kupu menyesap air matanya, kadang yang paling manusiawi yang bisa kita lakukan adalah mengizinkan orang lain menemukan sisi rapuh  kita.

---

Aku jadi ingat percakapan dengan seorang teman yang sedang melalui masa sulit. Ia berkata, “Aku capek selalu kelihatan kuat. Aku ingin sekali bisa menangis tanpa takut dihakimi.” Kata-katanya terucap ringan tapi terasa dalam. Betapa banyak dari kita yang dipenjara oleh ekspektasi: harus tangguh, harus tegar, harus baik-baik saja. Padahal, tak ada yang benar-benar baik-baik saja sepanjang waktu.

Mungkin kita perlu belajar dari kura-kura. Tidak semua kerentanan harus ditutup rapat. Tidak semua air mata harus disembunyikan. Ada waktunya membiarkan orang lain menyaksikan, bahkan “mengisap” kekuatan darinya. Karena pada akhirnya, hidup ini bukan soal selalu kuat sendirian, melainkan soal berbagi ruang, bahkan ruang yang lahir dari kesedihan kita.

---

Lakrifagi mengajarkan satu hal sederhana namun sulit dipraktikkan: jangan buru-buru menolak luka atau kesedihan. Sebab bisa jadi, justru dari situlah lahir sesuatu yang memberi makan jiwa, entah jiwa kita sendiri atau jiwa orang lain.

Air mata tidak selalu tanda kekalahan. Kadang, ia adalah bentuk paling murni dari cinta, kepedulian, atau bahkan keberanian. Seperti kura-kura yang diam, tak melawan, meski matanya dihisap, mungkin ada kalanya kita pun perlu berdiam dan membiarkan pengalaman menyakitkan itu berlangsung. Karena di baliknya, ada kehidupan yang sedang terus berlanjut dan mungkin, ada kupu-kupu yang sedang bertahan berkat air mata kita.

Dan bukankah itu indah? Bahwa di dunia yang keras ini, kesedihan tidak selamanya sia-sia. Bahwa di tengah luka, masih ada ruang bagi kehidupan lain untuk tumbuh.

Air mata yang menyuburkan hidup, itulah warisan kecil yang bisa kita tinggalkan. Sebuah kebermanfaatan meski di tengah luka.


1 September 2025

Monday, 25 August 2025

Pulang Seperti Ikan Salmon

Ada banyak cara Allah menyampaikan pelajaran hidup.

Kadang lewat manusia yang bijak, kadang lewat peristiwa yang mengguncang, dan kadang tanpa kita duga lewat seekor ikan kecil bernama salmon.

Out of no where. Tiba-tiba terbersit dalam pikiranku tentang ikan salmon. Lalu aku mencari tahu tentang cara hidup ikan salmon.

Salmon ternyata tidak tinggal di satu tempat seumur hidupnya.

Ia lahir di air tawar, di sungai-sungai yang tenang. Tapi sejak awal, hidupnya sudah dipenuhi perpisahan. Saat usianya cukup, ia akan meninggalkan tempat kelahirannya dan berenang ke laut lepas.

Laut itu luas, asing, dan tak ramah.

Salmon akan menempuh jarak ribuan kilometer, menyusuri samudra selama bertahun-tahun untuk tumbuh dan bertahan. Ia belajar hidup di dunia yang keras. Ia mengejar makanannya, menghindari pemangsa, melewati arus besar yang tak bisa diprediksi.

Ikan salmon biasanya menempuh jarak migrasi dari laut ke tempat asalnya di sungai sejauh sekitar 1.000 hingga 1.400 kilometer. Selain jarak yang sangat jauh, salmon juga harus mendaki ketinggian hingga 2.100 meter dari permukaan laut untuk mencapai lokasi pemijahan mereka. Perjalanan ini termasuk salah satu migrasi terberat di dunia hewan karena salmon harus berenang melawan arus sungai yang deras dan menghadapi berbagai rintangan seperti predator dan kondisi lingkungan yang sulit

Satu hal yang tak berubah dari ikan salmon yaitu tujuannya.

Menurut riset oleh Dittman & Quinn (1996) dalam jurnal Nature, salmon muda belajar mengenali bau khas air sungai asalnya sebelum migrasi ke laut, sehingga saat dewasa mereka dapat menggunakan memori bau tersebut untuk kembali ke tempat lahirnya. Proses ini bersifat permanen dan sangat penting untuk navigasi dan kelangsungan hidup salmon

salmon memiliki sistem penciuman yang luar biasa tajam. Sejak kecil, ia menghafal "bau" khas sungai tempat ia dilahirkan. 

Bau itu tak sekadar aroma, melainkan kompas biologis yang tersimpan dalam sistem sarafnya. Di tengah laut yang tak mengenal arah, bau itu menjadi panggilan sunyi yang akan menuntunnya pulang.

Dan ketika tiba waktunya, salmon akan kembali.

Ia berenang melawan arus. Melompat di antara jeram dan bebatuan.

Tubuhnya luka-luka, sisiknya mengelupas, siripnya terkoyak. Tapi ia tetap bergerak. Ia tidak kembali untuk bersantai. Ia tidak pulang karena tempat asalnya nyaman. Ia pulang untuk menyelesaikan satu misi terakhir: meneruskan kehidupan.

Salmon bertelur di tempat ia dilahirkan. Lalu mati.

Namun kematiannya bukan akhir yang sia-sia. Tubuhnya yang membusuk menjadi nutrisi bagi tanah dan air, memberi makan tumbuhan air, serangga, bahkan benih yang ia tinggalkan. Sungai menjadi hidup kembali karena pengorbanannya.

Sebagian dari kita mungkin bertanya, mengapa harus sejauh itu? Mengapa tidak menetap saja di laut yang luas? Mengapa harus kembali ke tempat yang dulu, hanya untuk mati?

Tapi di situlah letak pelajarannya.

Salmon tidak memilih jalan termudah.

Ia memilih jalan yang sesuai dengan tujuannya, meski itu jalan yang sulit sekalipun.

---

Kita hidup dalam zaman yang begitu cepat berubah. Banyak dari kita merantau, pindah kerja, membangun karier di tempat yang jauh dari tanah kelahiran. Kadang, pulang jadi sesuatu yang asing. Kita bahkan bingung, ke mana sebenarnya arah “pulang” itu? Apakah tempat yang dulu kita tinggalkan masih menerima kita? Apakah kita masih diingat?


Tapi mungkin, seperti salmon, kita tidak perlu pulang untuk dimanjakan.

Kita pulang untuk kembali.

Untuk menanam benih baru.

Untuk menyelesaikan cerita yang belum selesai.

Mungkin pulang bukan soal kembali ke rumah secara fisik. 

Pulang bisa berarti menyapa orang tua lewat suara yang hangat. 

Mendoakan tanah tempat kita tumbuh.

Mengajarkan nilai hidup yang kita warisi dari tempat asal kepada anak-anak kita, meski mereka tumbuh di tanah berbeda.

Dan kadang, pulang juga berarti mengakhiri siklus dalam hidup kita dengan damai.

Karena kita sadar kita sedang berada dalam perjalanan untuk "pulang".

Salmon mengajarkan bahwa hidup bukan sekadar soal bertahan. Tapi juga tentang keberanian untuk menempuh jalan pulang, meski menyakitkan.

Tentang membayar betapa besarnya kebaikan Pencipta kepada kita yang telah memberi kita kehidupan.

---

Salmon mengajarkan bahwa luka bisa jadi bagian dari perjalanan.

Bahwa tubuh yang lelah dan terkoyak bisa tetap bermakna.

Bahwa akhir bukan hanya tentang berhenti, tapi tentang melanjutkan kehidupan.

---

Hari ini, jika kamu merasa letih, tersesat, atau sedang menempuh jalan pulangmu sendiri—ingatlah salmon.

Ia bukan makhluk paling kuat di lautan. Tapi ia punya tujuan yang tak bisa digoyahkan.

Pulang, baginya, adalah bentuk cinta yang paling utuh.

Cinta itu melahirkan keberanian untuk mewariskan kehidupan terbaik 

Dan bukankah, di ujung segala perjalanan, kita semua ingin pulang?

Entah itu ke rumah, ke diri sendiri, atau ke Tuhan. Dengan hati yang damai, dan jiwa yang tahu: aku sudah menunaikan tugasku.

---

Aku pun termenung barangkali selama ini aku salah. Manusia itu tidak lahir seperti lembar kosong. Fitrahnya manusia adalah kembali kepada Tuhan-Nya. Manusia lahir dengan "blueprint" untuk beriman kepada Yang Menciptakannya. 

Sudahkah kita siap untuk pulang ke titik awal kita?

Monday, 18 August 2025

Merdeka Menulis

Ada hari-hari ketika aku membuka dokumen kosong, mengetik beberapa kalimat… lalu menghapus semuanya.

Bukan karena aku tak punya cerita, tapi karena seperti ada bisikan: “Siapa juga yang akan membaca ini?”

...

Di tengah kesibukan, kelelahan, dan kehidupan yang terus menuntut, menulis sering terasa seperti hal yang dilihat sebelah mata..

Tapi entah mengapa, aku tetap menulis.

Aku pernah bertanya pada diriku sendiri: “Apa gunanya menulis kalau tak ada yang membaca?”

Pertanyaan itu datang di tengah malam, ketika semua orang tidur, sementara aku sibuk menata kata-kata. Kadang menulis terasa seperti memanggil tanpa ada yang menyahutnya,, tak ada gema kembali. Tapi jari-jariku tetap menari di atas huruf-huruf.

Lalu aku sadar: aku menulis bukan untuk dunia. Aku menulis untuk merdeka.

Merdeka dari tuntutan agar semua kata harus dibaca dan disukai orang lain.

Merdeka dari ukuran produktivitas, target, atau hasil yang bisa dihitung.

Merdeka untuk jujur, untuk rapuh, untuk bingung, bahkan untuk kosong.

..

Menulis adalah ruang yang menerimaku apa adanya. Ia tidak menuntut aku selalu kuat. Ia membiarkanku menangis tanpa malu, tertawa tanpa alasan, dan jujur tanpa takut.

Di dunia yang setiap hari menuntut versiku yang “terbaik”, menulis justru menyambut versi diri yang lebih jujur.

..

Dan jika suatu saat ada yang membaca tulisanku, lalu merasa “aku juga pernah merasakan ini,” maka itu adalah bonus yang manis. Tapi bukan itu alasan utamaku tetap menulis.

...

Aku menulis karena di antara semua hal yang bisa hilang, suara hatiku sendiri harus tetap kujaga.

Aku menulis karena di balik semua tuntutan dunia, aku ingin merdeka untuk menjadi diriku sendiri.

Menulis tidak membuat hidupku lebih mudah. Tapi menulis membuatku lebih utuh.

Dan aku rasa itu sudah cukup.

...

Blog ini mungkin tak ramai. Tapi ia hidup. Karena setiap tulisannya lahir dari tempat yang jujur: dari rasa ingin memahami hidup, mencintai proses, dan merawat suara hati agar tidak terkubur.

Inilah kemerdekaan yang kutemukan dalam menulis.


Minut, 18 Agustus 2025

Monday, 11 August 2025

Hidup untuk Diri dan Orang Lain

Aku sedang berjalan santai ketika mataku menangkap sebuah kalimat di punggung kaos seseorang. Hurufnya hitam di atas kain merah: “A life lived for others is a life well lived.”


Aku membacanya sekali, lalu mencatatnya.  Di perjalanan aku mengulangi membaca kalimat itu. Ada sesuatu dari susunan kata itu yang tidak mau lepas dari kepalaku.


Hidup untuk orang lain.

Kalimat itu terdengar sederhana, tapi mengandung dunia di dalamnya.


Di tengah hiruk pikuk yang sering membuat kita mengejar target pribadi, kata-kata ini seperti jeda. Mengingatkan bahwa ada ukuran lain dari keberhasilan hidup: bukan hanya tentang apa yang kita capai, tapi tentang siapa saja yang merasakan hangatnya kehadiran kita.


Aku teringat pada orang-orang yang pernah membuat hidupku terasa lebih ringan. Ada yang mendengarkan ceritaku di hari-hari berat, ada yang memberi senyuman di waktu yang tepat, ada yang mengirimkan pesan singkat, “Semangat ya semoga kamu selalu baik-baik aja” tanpa tahu betapa kalimat itu menyelamatkan.


Memberi untuk orang lain tak selalu berarti pengorbanan besar. Kadang hanya soal menyisihkan sedikit waktu, perhatian, atau tenaga. Kadang hanya tentang memilih untuk hadir, meski sebentar. Dan anehnya, saat kita memberi, kita juga menerima, yaitu menerima rasa syukur, rasa terhubung, rasa bahwa hidup ini lebih besar dari sekadar diri kita sendiri.


Namun, ada satu pandangan lain yang tak kalah penting: “Hiduplah untuk dirimu sendiri. Siapa yang akan menyayangimu kalau bukan dirimu sendiri?

Itu juga benar. Kita tidak bisa menuang dari gelas yang kosong. Menyayangi diri sendiri adalah fondasi: memberi tubuh istirahat yang layak, menjaga hati dari racun, memberi ruang untuk bernapas, dan jujur pada diri tentang apa yang kita butuhkan.


Keduanya tidak bertentangan. Menyayangi diri sendiri menjaga kita tetap berdiri; hidup untuk orang lain memberi arah pada langkah kita. Menyadari batas diri membuat kita bisa memberi dengan tulus, bukan dengan terpaksa.


Mungkin kebahagiaan yang paling murni adalah ketika keduanya bertemu: saat kita cukup menyayangi diri untuk tetap utuh, dan cukup peduli pada orang lain untuk berbagi keutuhan itu.


Kalimat di punggung kaos itu kini sudah hilang ditelan keramaian. Tapi rasanya, ia sudah menetap di hati dan pikiranku, sebagai pengingat, bahwa hidup terbaik adalah hidup yang dimulai dari diri sendiri, lalu mengalir untuk orang lain.


Minahasa Utara, 11 Agustus 2025

Monday, 4 August 2025

Tentang Seorang Kakak yang Selalu Siaga

Saat aku menulis ini, kamu sedang terbaring di ruang ICU, dan aku tak bisa berada di sisimu. Padahal ada begitu banyak hal yang ingin aku ucapkan. Maka biarkan malam ini aku bicara melalui jemariku, sebagai seseorang yang hatinya penuh rindu dan syukur ditakdirkan sebagai adikmu.

...

Sejak kecil sampai sekarang, kamu selalu jadi orang yang paling siaga. Waktu aku masih SD sampai SMP, saat itu kita tinggal bertiga di rumah. Bapak dan Mama udah pindah kerja, Mas Adi masih kuliah di Bandung, jadi tinggal kamu, aku, dan mbak Antik, yang waktu itu masih sekolah, dan kamu sedang kuliah. Kamu yang selalu jemput aku pulang sekolah. Kamu cari jadwal kuliah yang katamu ga akan tabrakan dengan jam pulang sekolahku, juga jam lesku, kamu selalu pastikan kalau kamu pasti bisa antar-jemput aku. Kamu tidak pernah bilang itu pengorbanan, tapi aku tahu sekarang: itu bentuk perhatian dan kasih sayang yang besar.


Waktu dunia ini belum ada internet, kamu mengajakku ke tempat persewaan buku. Dari aku pinjam Bobo, Donal bebek, Conan, Smurf, Witch, majalah remaja, Chicken Soup for the Soul, sampai buku atau majalah yg isinya inspirasi kehidupan, wkwk itu semua aku lalui bersama kamu. Mengajak sewa buku itu sederhana, menyewa buku itu ga mahal, tapi ternyata hal yang tidak mewah itu membuat aku tumbuh dengan berani bermimpi dan selalu belajar berempati. Hal yang ternyata saat ini tidak mudah ditemui.


Waktu aku gagal masuk kelas bahasa inggris di SMA, kamu yang mengantarku mengambil hasilnya, kamu nggak marah atau kecewa, atau menghiburku yang gimana-gimana, kamu cuma bilang "gapapa berarti bukan rezekimu, kamu kan dari SD selalu dapat yg kamu kejar di sekolah, jadi gapapa kalau sekali-sekali ga dapat, Allah cuma lagi ngasih tahu kamu gimana rasanya kalau ga dapat yg kamu minta supaya nanti suatu saat kamu dapat yang lebih, syukurmu jadi tambah besar." Mungkin kamu udah lupa apa yang kamu bilang tapi kata-katamu jadi penguatku sampai sekarang tiap aku menemui sesuatu yang ga sesuai harapanku.


Sampai aku dewasa, kamu tetap menjadi orang yang paling cepat datang kalau aku butuh. Saat aku pulang atau pergi merantau, kamu yang mengantar dan menjemput ke bandara atau stasiun. Bahkan saat aku ditempatkan di Lampung, kamu yang mengantar mobil ke sana agar aku bisa lebih leluasa. Dan ketika aku mau cuti melahirkan saat pandemi COVID, kamu yang menjemput aku pulang dari Lampung. Kita menempuh perjalanan jauh naik mobil, dan meski dunia terasa genting, aku merasa aman karena kamu yang nyetir.


Kamu juga yang sigap untuk anak-anakku. Setiap kali mereka sakit, dan aku jauh, kamu yang selalu datang dan mengantar mereka ke rumah sakit, meski di tengah malam. Sama halnya ketika Bapak sakit. Kamu datang dalam sekejap. Kemudian kamu mijit Bapak jam satu pagi, jam tiga pagi, seolah kamu tidak kenal lelah. Waktu kamu lulus kuliah kamu ditawarin Bapak lanjut S-2 tapi kamu ga mau, kamu bilang kamu mau hidup di desa aja, supaya dekat orang tua, supaya kamu bisa siaga kalau Bapak dan Mama butuh apa-apa. Kamu ga peduli meski dibilang sarjana tapi kok di sawah, sarjana tapi kok pilih di kandang, sarjana tapi kok ga kemana-mana. "Memangnya kenapa, yang penting halal" adalah jawaban andalanmu.


Suatu hari aku bilang kalau aku mau daftar CPNS yang penempatannya seluruh Indonesia, awalnya aku ragu tapi kamu semangat banget, kamupun bilang "lanjut Na, tenang aja Bapak sama Mama nnt yang ngurus aku" sampai akhirnya aku diterima dan ditempatkan dari satu kota ke kota lain, dari satu pulau ke pulau lain, itu adalah kata-kata yang selalu kamu bilang setiap kita pisah di stasiun atau bandara sampai sekarang.


Meski kamu totalitas pada keluarga, kamu tidak pernah melupakan keluarga intimu, istrimu dan anak-anakmu. Meski terlihat keras sebenarnya hatimu tidak sekeras itu, buktinya kamu tetap jadi idola bagi anak-anakmu, entah bagaimana anak-anakmu kalau ditanya ingin jadi apa, jawabannya "ingin seperti Abi".


Kamu tidak pernah menunggu diminta tolong. Kamu selalu datang lebih dulu, hadir sebagai penjaga yang tidak pernah minta ucapan terima kasih. Tapi hari ini, izinkan aku bilang: terima kasih. Untuk setiap jemputan, pijatan, pelukan, dan ketulusan yang kamu berikan tanpa syarat.


Aku tahu, kamu tidak suka menjadi pusat perhatian. Tapi kamu harus tahu: kamu adalah pusat dari banyak hal baik dalam hidupku. Dalam hidup keluarga kita.


Sekarang, tubuhmu sedang beristirahat lebih lama di atas tempat tidur yang dingin di ruangan asing itu. Tapi aku tahu hatimu sedang berjuang. Dan dari jauh, aku menjaga kamu lewat doa-doa yang tidak putus.


Pulanglah, kamu yang selalu siaga. Dunia kami terasa senyap tanpamu. Rumah ini menunggumu. Aku menunggumu. Bukan hanya sebagai adik, tapi sebagai seseorang yang ingin sekali membalas semua kebaikanmu, meski aku tahu, itu tidak akan pernah cukup.


Ya Allah sembuhkanlah, sehatkanlah, Mas Bambang, kakak pertamaku, yang menemani banyak hal pertama dalam hidupku

Minahasa Utara, 4 Agustus 2025

Monday, 28 July 2025

PN Tilamuta: Seberkas Cahaya untuk Peradilan yang Agung

Di tengah krisis kepercayaan masyarakat terhadap institusi yang menegakkan keadilan di negeri ini,

ketika ruang sidang tak lagi selalu dipercaya,

ketika vonis dianggap tak mencerminkan nurani,

dan ketika suara-suara kehilangan tempat untuk berharap,

aku ingin kamu menengok sebuah tempat kecil, tempat mencari keadilan, yang mungkin luput dari perhatian.


Tempat itu bernama Pengadilan Negeri Tilamuta (PN Tilamuta).


Apakah kamu tahu bahwa putusan sesungguhnya bukan produk hakim, melainkan disebut sebagai produk pengadilan? Maka sudah semestinya upaya mewujudkan keadilan bukan hanya semangat dari pemutus perkara secara langsung, tapi juga dari unit-unit pendukungnya.


Meminjam ungkapan Sekretaris PN Tilamuta (Bapak Juang Samadi, S.Pd., M.H.), ditambah dengan apa yang aku rasakan, menurutku PN Tilamuta itu seperti ungkapan:

"Sebelum Hakim mengetuk palu dan Panitera Pengganti menorehkan penanya, kepaniteraan telah memastikan kelengkapan berkas sidang dan kesekretariatan telah memastikan kelengkapan ruang sidang, termasuk palu dan penanya"


Tidak mudah menemukan kesatuan elemen seperti itu apabila diselami lebih dalam makna dan senyatanya. 

PN Tilamuta seperti sebuah pengadilan yang mempersiapkan pengadil fokus mengadili dengan adil. Memberi sarana terbaik, juga menciptakan ruang aman dan nyaman untuk bekerja dengan baik. Aman itu berarti tidak ada intervensi dan nyaman itu berarti tidak banyak problematisasi.


Kamu mungkin tak percaya dengan apa yang aku sampaikan.

Tapi jujur, semua keluhan tentang tempat kerja yang rumit, tentang suasana kantor yang membuat sesak, tak pernah benar-benar aku rasakan.

Di sini, semua seolah berjalan sebagaimana mestinya.

Memang tak ada yang sempurna. Tapi di sini semua mengetahui dan menyadari porsinya.


Aku tidak tahu bagaimana pengalaman para pencari keadilan yang datang mencari keadilan di sini. Tapi aku pastikan selama detik pertama aku dan keempat rekanku melangkahkan kaki di sini, tak ada hal yang bisa mempengaruhi keyakinan kami. Setiap lembar yang kami bacakan adalah buah pikiran atas keyakinan kami dengan dasar hukum dan keadilan. Tentunya dengan sebaik-baiknya yang kami bisa usahakan.


Apa yang aku rasakan itu karena aku tidak berjalan sendiri.

Ada kebersamaan yang membuatku merasa ingin terus bertumbuh memberikan yang terbaik yang aku bisa.

Di sini aku mendapat dukungan dari pimpinan yang memberi ruang dan kepercayaan, teman-teman yang saling mengingatkan, juga rekan kerja yang saling menguatkan, semuanya bagian dari cahaya yang perlahan menyala dalam langkah-langkahku.


Meski Tilamuta 'hanyalah' sebuah pengadilan negeri yang jauh dari pusat keramaian,

atau mungkin membuat langkah awal terasa berat bagi mereka yang baru datang,

tapi saat kamu sudah benar-benar melihat dan merasakannya,

kamu tidak akan kehilangan harapan tentang bagaimana mewujudkan peradilan yang agung.


Tilamuta menguatkan harapan:

bahwa masih ada yang bekerja dengan hati,

yang menjunjung nilai,

dan percaya bahwa keadilan bukan sekadar produk hukum,

melainkan hasil dari kerja bersama manusia-manusia baik yang memegang teguh amanahnya.


Aku percaya kesan itu tak hanya aku rasakan sendiri tapi juga mereka yang pernah berada langsung di dalamnya, dan aku berharap nilai itu akan selalu ada di PN Tilamuta.


Jika suatu hari nanti kamu memiliki kesempatan berkunjung ke Tilamuta,

lihatlah baik-baik.

Karena di sini, harapan itu disemai

bukan dengan gegap gempita,

tetapi dalam diam, dalam dedikasi, dan dalam ketulusan yang tidak menuntut pengakuan.


Di sebuah titik kecil di peta, ada seberkas cahaya.

Cahaya itu tidak bersinar begitu saja,

tapi ia berasal dari generator yang rodanya terus berputar,

karena ada kekuatan bersama yang mengayuhnya.


Dan jika suatu saat nanti orang bertanya padaku,

“Dari mana semua harapan yang kamu sampaikan tentang peradilan yang agung itu berawal?”

Aku akan tersenyum dan berkata:

Dari Pengadilan Negeri Tilamuta 😊


Tilamuta, 29 Juli 2025

Kutulis dini hari seusai packing 

Pada hari terakhirku bertugas di PN Tilamuta 

Monday, 21 July 2025

Mencari Jalan Tidak Harus Memotong Jalan

Dalam hidup, kita seringkali dihadapkan pada pilihan-pilihan kecil yang sebenarnya menunjukkan nilai besar yang kita junjung. Kadang bukan soal aturan itu sendiri, tapi bagaimana kita menyikapinya. Bukan sekadar soal apa yang diatur, tapi bagaimana cara kita memenuhi aturan itu dengan cara yang tetap menjunjung rasa hormat dan tanggung jawab.

Ada perbedaan antara mencari jalan keluar dan memotong jalan. Yang pertama butuh usaha, niat baik, dan kesadaran bahwa segala sesuatu bisa disiasati dengan cara yang tetap elegan sesuai jalurnya. Yang kedua seringkali lahir dari keinginan untuk menyederhanakan sesuatu secara instan tanpa memikirkan dampak atau rasa yang terkandung di dalamnya.

Kita bisa saja berkata, "Ah, ribet banget, yang penting kan tujuannya sama," atau, "Ah, nggak apa-apa, toh ini hal kecil." Tapi dalam banyak hal, cara kita memperlakukan hal kecil justru mencerminkan siapa kita dalam hal besar. Karena hormat itu bukan hanya untuk hal yang penting, tapi untuk setiap proses yang mengandung niat dan tanggung jawab.

Mematuhi sesuatu bukan berarti kehilangan jati diri. Justru di sanalah kita diuji: bagaimana berpikir jernih dan solutif ketika keterbatasan datang. Mungkin kita harus meminjam, meminta tolong, atau menyampaikan alasan dengan jujur pada yang berwenang. Itu semua adalah bentuk usaha yang tetap menjaga integritas dan relasi. Kita tidak sekadar tunduk, tapi turut menjaga makna dari sesuatu yang ditetapkan.

Dan tentang menghormati orang lain, kadang itu bukan soal seberapa banyak kita menyebutkan namanya atau menyertakan mereka dalam rencana, tapi seberapa kita melihat niat baik mereka, memberi ruang bagi perhatian mereka, dan tidak dengan mudah mengabaikannya hanya karena sudah merasa cukup dengan pilihan sendiri.

Sering kita dengar ungkapan, “If there’s no way, create one.” Ungkapan ini sepintas terdengar menggambarkan tentang ketekunan dan pantang menyerah. Tapi menciptakan jalan pun sebenarnya tetap butuh arah. Karena menciptakan jalan bukan berarti membenarkan segala cara. Kita bisa saja menemukan alternatif, tapi jangan sampai niat mempermudah membuat kita kehilangan esensi.

Menciptakan jalan berbeda dari memotong jalan. Yang satu lahir dari kehati-hatian dan hormat terhadap nilai; yang lain kerap lahir dari ketergesaan. Maka jika jalan itu belum ada, ciptakan. Tapi jangan sembarangan. Pastikan jalan itu tetap berpijak pada niat baik, pada tanggung jawab, dan pada kebaikan bersama.

Pada akhirnya, hidup bukan soal siapa yang paling cepat atau paling mudah. Tapi siapa yang tetap berjalan dengan sadar, menjaga nilai dalam setiap langkah kecil, dan tidak menjadikan alasan sebagai pintu untuk mengurangi rasa hormat.

Dari hal kecil dan keputusan kecil sehari-hari kita sesungguhnya secara tidak langsung membentuk kita sekaligus menunjukkan nilai diri kita yang sebenarnya. Semoga kita bisa menjadi pribadi yang tetap menjaga jalan yang benar, meski jalannya kadang terasa lebih panjang.

Monday, 14 July 2025

(Baru) Lima Tahun

Hari ini tepat lima tahun.

Lima tahun bukan waktu yang sebentar. Tapi juga bukan waktu yang cukup untuk dinilai tahu segalanya. Justru, dalam lima tahun terakhir ini, aku semakin sadar bahwa memahami hidup dan keadilan bukan soal seberapa banyak aturan yang kau hafal atau seberapa sering kau memutuskan sesuatu dengan yakin. Tapi tentang seberapa sering hatimu diuji untuk tetap menjadi manusia dan memanusiakan manusia di tengah sistem, di balik meja, atau bahkan di depan cerminmu sendiri.

Awalnya, aku pikir aku hanya perlu bekerja sebaik mungkin, menjalankan peran, menyelesaikan tugas, dan memastikan segalanya berjalan sesuai prosedur. Tapi ternyata, pekerjaan ini atau lebih tepatnya, perjalanan ini, membawaku lebih jauh. Ia mengubah cara pandangku tentang manusia, tentang luka yang tak terlihat, tentang harapan-harapan kecil yang menggantung di ruang yang sunyi dari tawa dan familiar dengan tangis.

Aku belajar bahwa tidak semua kesalahan lahir dari niat buruk. Kadang, orang hanya tersesat terlalu lama dan tak ada yang menuntunnya pulang. Aku juga belajar bahwa tidak semua yang menang merasa benar-benar menang, dan tak semua yang kalah berarti kehilangan segalanya.

Keadilan ternyata bukan hanya tentang memberi hukuman. Ia adalah tentang merawat rasa percaya orang-orang yang datang padamu. Mereka percaya bahwa kebenaran bisa ditegakkan maka mereka membawa masalahnya di hadapanmu. Akhirnya kamupun menyadari bahwa ketegasan tidak harus kehilangan empati. Bahwa kamu ingin bukan sekedar menatap berkas di depan matamu tapi juga bagaimana memulihkan keadaan yang dihadapkan padamu. Dan bahwa mendengar bisa lebih menyembuhkan daripada menghukum atas dasar balas dendam.

Dalam ruang itu, aku tak bisa selalu menjelaskan panjang lebar mengapa sebuah keputusan harus seperti itu. Aku juga tak boleh meminta maaf atas setiap kalimat yang mungkin terasa berat didengar. Karena di titik itu, aku harus yakin bahwa keputusan itu, setidaknya menurut yang aku tahu dan aku pahami dengan sebaik-baiknya dan sesungguh-sungguhnya, adalah keputusan yang adil.

Kerap suatu malam yang melelahkan, di balik semuanya, aku selalu menyelipkan doa. Untuk siapa pun yang pernah hadir di ruang itu, semoga hatinya lapang menerima. Semoga tahu ke mana harus melangkah setelah semua usai. Untuk mereka yang mungkin masih menyimpan luka atau kecewa, semoga kelak bisa memaafkan. Semoga yang sempat terputus, suatu saat bisa terajut. Dan yang pernah tersakiti, perlahan akan sembuh.

Di tempat pertama aku ditempatkan, aku tumbuh. Bukan karena aku hebat, tapi karena aku dipaksa belajar hal-hal yang tak pernah diajarkan di bangku sekolah atau kuliah: bersikap tenang dan netral dalam setiap keadaan, mendengarkan dengan sabar saat hati ingin menyela dan bertanggung jawab atas setiap kalimat yang terucap.

Di luar, aku belajar bersikap dewasa dalam keseharian, menahan aksi saat hati ingin bereaksi, menjaga perasaan di tengah tekanan, tetap hadir secara utuh meski kadang merasa lelah atau sepi.

Dari kedua ruang itu, aku mulai mengerti: menjadi dewasa bukan tentang tahu segalanya, tapi tentang sanggup menghadapi yang tak terduga dengan hati yang lega.

Hari ini, aku tidak ingin merayakan. Tapi aku ingin berterima kasih. Kepada Tuhanku yang selalu membukakan mata atas hikmah tersembunyi, kepada diriku sendiri yang pernah takut tapi tetap berjalan, kepada orang-orang yang hadir mendukung dengan caranya. Juga kepada setiap kisah yang pernah singgah di ruang itu, yang mengajarkanku menjadi manusia sebelum menjadi apa pun yang lainnya.

Lima tahun ini membentukku. Bukan menjadi siapa-siapa dan harus dikenal siapa-siapa. Tapi menjadi seseorang yang terus belajar memahami kehidupan dan terus belajar memaknai keadilan. Jangan berhenti.

Monday, 7 July 2025

Saat Pengumuman Mutasi

Mutasi itu seperti pembuka babak baru dalam lembaran perjalanan hidup. Tempat baru, lingkungan baru, adaptasi baru, dan tentu... harapan baru.

Saat pengumuman mutasi datang, banyak teman sejawat bersukaria karena akhirnya mendekati homebase, lebih dekat dengan pasangan, anak, atau orang tua. Saya termasuk yang belum mendekat. Sedikit kecewa pasti ada dan saya pikir itu wajar saja. Siapapun pasti juga punya keinginan  untuk dekat dengan kampung halamannya. Bedanya adalah bagaimana kita mengelola kesiapan hati kita setelah bertemu dengan realita. Meski begitu, anehnya saya tidak merasa sedih, justru lebih ke perasaan deg degan untuk memulai sesuatu yang baru.

Mungkin karena sejak awal saya tak pernah berdoa dengan menyebut lokasi tertentu. Saya hanya minta satu hal: ditempatkan di tempat yang terbaik menurut-Nya. Dan saya sadar, itu berarti tempat yang terbaik versi-Nya bisa jadi bukan tempat yang paling saya inginkan secara pribadi. Tapi saya belajar percaya bahwa sesuatu apapun yang datang kepada kita di luar kendali kita, pasti yang terbaik.

Tentu saja, hati kecil tetap ingin pulang. Ingin lebih dekat dengan keluarga. Tapi sisi lain dari hati kecil saya juga sadar: jika semua orang ingin dekat rumah, siapa yang akan bertugas di tempat yang jauh dari rumah? Dan apakah kedekatan geografis selalu menjamin kenyamanan atau kemudahan?

Saya takut menggantungkan hidup pada sudut pandang dan tolak ukur yang saya ciptakan sendiri. Maka saya belajar melepaskan, dan membiarkan langkah ini diarahkan pada sebagaimana mestinya.

Ini adalah mutasi pertama saya sejak menjalani jabatan ini. Rasanya berbeda dari sekadar penempatan saat diklat atau magang. Kali ini benar-benar terasa sebagai peralihan fase hidup. Maka ketika pengumuman keluar, saya mengucap hamdalah dan sempat terdiam. Bingung menentukan reaksi saya. Karena saya ingat: bukankah ini yang saya minta? Tempat terbaik. Bukankah berarti ini tempat terbaik yang disiapkan untuk saya?

Saya menelepon suami. Kami tertawa. Bukan tawa puas tapi juga bukan tawa yang merendahkan. Kami tertawa karena kami sama-sama tahu bahwa kami juga bingung harus bereaksi apa.

Kami kemudian mencari sisi lain yang pasti banyak baiknya. Misalnya ternyata, jarak ke bandara hanya setengah jam. Jarak ke ibukota provinsi juga setengah jam. Kantor saya dan suami pun hanya terpaut kurang dari satu jam. Kami mulai cari tahu tentang berbagai ragam jenis perkara di tempat baru, tempat ibadah terdekat, hingga suasana dan sejarah kota melalui YouTube.

Diskusi kami pun bergeser pada hal-hal praktis: Apa yang dibawa? Apa yang ditinggal? Apa yang dijual? Packingnya bagaimana?

Dan ternyata, karena tempatnya tak terlalu jauh, biaya mutasi pun jadi lebih hemat. Bukankah itu berkah juga? Alhamdulillaah

...

Malam ini saya duduk sendirian. Membaca ulang nama-nama dalam pengumuman mutasi. Rasanya seperti melihat peta yang digambar Sang Pencipta. Kita semua hendak berpindah. Berpindah ke tempat yang kita butuhkan dan juga membutuhkan kita. Saya yakin itu.

...

Lalu saya teringat perbedaan yang jelas antara momen sekarang dan lima tahun yang lalu. Saat pertama kali mendapat kabar penempatan ke Tilamuta, Boalemo, saya menangis. Saya bahkan belum pernah mendengar nama tempat itu sebelumnya. Rasanya begitu jauh dan asing. Dalam hati saya bertanya-tanya, apa saya bisa hidup jauh di sana?

Tapi setelah menjalaninya, lima tahun penuh warna, saya tahu bahwa tempat ini bukan sekadar titik awal. Ini adalah ladang tempat saya menanam dan bertumbuh. Tempat pertama saya memakai jubah, menjalani profesi ini dengan segala perjalanannya. Tempat pertama saya belajar tentang pekerjaan, tentang kemanusiaan, dan mengenal diri sendiri lebih dalam.

Andaikata saya bisa memutar waktu dan diberi kesempatan memilih, saya tetap akan memilih Tilamuta sebagai tempat pertama saya. Karena dari pengalaman ini saya belajar satu hal:
Sesuatu yang belum saya kenal tidak perlu ditangisi. Sebab kemungkinan baik selalu ada bahkan ketika kita belum bisa melihatnya.

Maka kali ini, ketika penempatan tidak sesuai ekspektasi, saya tidak menangis. Saya tersenyum. Saya penasaran: hal sebaik apa lagi yang akan saya temui kali ini?

Dan karena itu pula, saya ingin membagikan beberapa hal yang saya pelajari ketika menghadapi kenyataan yang tidak berjalan sesuai harapan.
  • Ingat kembali niat awal.
Terkadang kita kecewa bukan karena kenyataan itu tidak baik, tetapi karena kita lupa apa yang dulu kita minta. Seperti ketika dulu doa saya adalah “tempatkan saya di tempat terbaik”, maka mungkin inilah jawabannya. Meski alasannya belum kita temukan hari ini.

  • Bedakan antara harapan dan kendali.

Boleh berharap, tapi jangan lupa bahwa tidak semua hal bisa kita kendalikan. Fokuslah pada hal yang bisa kita atur: niat, sikap, usaha, dan keikhlasan.
  • Validasi setiap perasaan, tapi jangan tinggal di sana.
Beri ruang untuk merasa sedih atau tertegun. Itu manusiawi. Tapi jangan terlalu lama berdiam di ruang kekecewaan. Ajak diri perlahan untuk bangkit dan beradaptasi.
  • Carilah makna, bukan alasan.
Alih-alih bertanya "Kenapa ini terjadi padaku?", ubah pertanyaan menjadi "Apa yang bisa aku pelajari dari sini?" Perspektif ini akan mengubah beban menjadi bekal.
  • Buka mata pada kebaikan kecil yang tetap ada.
Terkadang di tempat yang tidak pernah kita kira, kita menemukan teman baru, pelajaran baru, dan banyak hal lain yang tidak kita sadari.
  • Percayalah pada waktu dan proses.
Kita mungkin belum bisa memahami semuanya sekarang. Tapi waktu punya cara untuk membuat kita paham mengapa sesuatu harus terjadi.

Pada akhirnya saya percaya ada banyak kebaikan yang menunggu saya di ujung jalan sana. Saya hanya harus menapaki jalan itu dengan yakin dan penuh keberanian, beserta dengan bekal yang saya punya.

Dalam perjalanan ini saya juga menyiapkan tas bekal yang tidak saya isi karena kelak di sanalah saya akan mengisi tas itu dengan pelajaran, hikmah, dan kenangan-kenangan yang indah.

Bismillaah..

Thursday, 3 July 2025

Catatan Singkat Menjelang Pengumuman Mutasi

Malam ini, katanya akan ada pengumuman mutasi. Isu seperti itu selalu saja ada, bahkan sejak lebih dari satu sampai dua tahun yang lalu. Tapi kenyataannya, selama ini hanyalah angin lalu.

Namun entah kenapa, kali ini terasa berbeda. Cepat atau lambat, waktu itu akan tiba. Sudah ada yang siap meneruskan jejak kami di sini. Jadi mau tidak mau memang sudah waktunya melanjutkan perjalanan. Aku tak tahu pasti apakah benar malam ini atau tidak, tapi jantungku seperti menyadari sesuatu.

Ada getar kecil di dada yang tidak bisa diredakan hanya dengan kata, “tunggu saja.” Bukan karena takut, bukan pula karena tidak siap. Tapi karena rasanya seperti... datang juga akhirnya waktunya.

Lima tahun terakhir, tempat ini bukan sekadar lokasi kerja. Ia menjadi ruang belajar, tempat bertumbuh, tempat mengenal rasa sabar dan sepi, tempat merawat makna dari sebuah pengabdian. Dan kini, ketika bisik angin mulai mengabarkan akan ada rotasi, tubuhku menggigil bukan karena dingin, tapi karena satu kesadaran:

Barangkali, waktuku di sini memang akan segera berakhir.

Perasaan menjelang mutasi itu unik. Campur aduk.

Seperti berdiri di pintu rumah yang sudah terasa nyaman, tapi tangan kita sudah menggenggam kunci rumah lain yang belum pernah kita masuki.

Ada deg-degan, tapi bukan panik. Ada tanda tanya, tapi bukan ketakutan.

Yang ada justru semacam ketenangan yang gentar:

sebuah rasa yang tahu bahwa apa pun yang menanti, itulah tempat terbaik yang dipilihkan untukku.

Aku tidak tahu akan ditempatkan di mana.

Apakah di kota yang lebih besar?

Di daerah terpencil?

Apakah akan dekat dengan keluarga, atau justru lebih jauh lagi?

Apakah suasananya akan seramah di sini?

Apakah aku akan menemukan orang-orang yang bisa jadi teman berbagi, atau akan lebih banyak belajar diam dan bertahan?

Tapi aku belajar satu hal penting dalam profesi ini:

kita tidak pernah bisa memilih tempat pengabdian,

tapi kita bisa memilih cara kita mengabdi.

Dan di manapun aku ditugaskan nanti, aku ingin tetap hadir sebaik yang aku bisa, berupaya menjaga integritas, ketulusan, dan semangat untuk terus belajar.

Jadi malam ini, jika benar pengumuman itu akan tiba, aku ingin menyambutnya bukan dengan gelisah, tapi dengan bisikan pelan pada diri sendiri:

"Terima kasih untuk semua yang telah dilalui di sini. Dan selamat datang, apa pun yang akan dimulai nanti. Bismillaah, laa haula wa laa quwwata illaa billaah"

Monday, 30 June 2025

Random Thought: Kenapa ya Hewan Tak Punya Kecerdasan Seperti Manusia (?)

Aku sering terpikir sesuatu yang random secara tiba-tiba. Bukan karena tidak fokus, tapi karena hidup sehari-hari menyuguhkan pemandangan-pemandangan kecil yang memantik pertanyaan besar.

Seperti saat melihat seekor anjing jalanan mengais sampah dengan langkah letih, atau seekor kucing yang duduk di bawah meja warung pecel lele, mengeong pelan pada setiap orang yang makan, berharap diberi sedikit sisa makanan.

Atau saat melihat sapi menarik gerobak berat, matanya kosong, jalannya pelan, sementara tubuhnya tak besar dan kuat seperti yang sering kulihat, tapi kurus dan terlihat ringkih. Ia bisa saja hidup sebagai sapi perah atau sapi pedaging, diberi makan teratur dan dilepas di padang rumput. Tapi takdir menempatkannya di tengah jalan raya, jadi alat angkut manusia.

Ada pula semut yang tak sengaja terinjak. Atau ikan yang berenang bebas pagi hari, lalu terjaring nelayan sore harinya. Semua itu terjadi setiap hari. Di dunia yang sama dengan kita, tapi dalam cerita hidup yang tak pernah kita anggap sedang berjalan juga.

Lalu aku bertanya-tanya…

Saat anjing dan kucing itu berjalan sendirian, apakah mereka kesepian? Saat sapi harus menarik beban berat, apakah dalam hatinya ada keinginan untuk berontak? Saat seekor semut atau ikan mati karena takdir alam atau ulah manusia, apakah keluarganya kehilangan?

Ternyata mungkin inilah alasan Allah tidak membebani hewan dengan akal dan rasa sedalam manusia. Karena jika mereka bisa merasakan seperti kita, bayangkan betapa sering mereka harus menanggung kesedihan. Berapa kali mereka akan meratap karena kehilangan, dan berapa banyak mereka akan depresi karena terus dieksploitasi tanpa pilihan.

Dalam kemungkinan terburuk, bayangkan bagaimana mengerikannya jika hewan punya akal seperti manusia, dalam kondisi tertentu ia akan menjadi serakah, dan ingin menguasai manusia atau juga dunia. Manusia akan hidup penuh was was dan tak pernah tenang.


Menariknya, Allah tidak membiarkan kita berpikir bahwa hewan hanyalah makhluk rendahan. Dalam QS. Al-An’am (6): 38, Allah berfirman:

Dan tidak ada suatu binatang melata pun di bumi dan burung-burung yang terbang dengan kedua sayapnya, melainkan mereka adalah umat-umat (juga) seperti kamu.”

Ayat ini seperti tamparan halus bagi kita—pengingat bahwa hewan bukan figuran dalam cerita manusia. Mereka punya peran, punya nilai, dan punya tempat di mata Allah sebagai umat, bukan sebagai objek yang bebas kita perlakukan sesuka hati.


Maka bisa jadi, ini bukan soal siapa lebih tinggi, tapi siapa lebih sadar akan tanggung jawabnya.

Dalam ayat lain, Allah mengingatkan bahwa hewan-hewan yang kita manfaatkan sehari-hari adalah bentuk kasih sayang-Nya bagi manusia, bukan legitimasi untuk bersikap semena-mena. Dalam QS. An-Nahl (16): 5–7, disebutkan:

Dan Dia menciptakan binatang ternak untuk kamu; padanya ada (bulu) yang menghangatkan dan berbagai manfaat, dan sebagiannya kamu makan... dan ia memikul beban-bebanmu ke negeri yang kamu tidak sanggup mencapainya kecuali dengan susah payah.


Ya, mereka memang diciptakan untuk kita. Tapi perhatikan bagaimana ayat itu ditutup:

Sesungguhnya Tuhanmu Maha Pengasih, Maha Penyayang.

Artinya, relasi manusia dan hewan semestinya terjadi dalam payung kasih sayang, bukan dominasi. Hewan boleh bermanfaat bagi manusia, tapi manusia tidak boleh kehilangan belas kasihnya sebagai balasan atas manfaat itu.


Mereka tidak sekadar makhluk yang sedang hidup. Mereka juga makhluk hidup.

Mereka berperan menjaga keseimbangan alam, tanpa kita sadari.

Mereka memenuhi banyak kebutuhan manusia. Mereka menjadi penjaga kesetiaan tanpa janji. Menjadi teman bagi manusia tanpa meminta balas jasa. Menjadi makanan, tenaga, penghibur lara, dan masih banyak hal lainnya, tanpa banyak suara (red: protes).


Sementara kita?

Kita yang diberi akal dan hati, sering lupa bahwa anugerah itu seharusnya menjadi alat untuk melindungi, bukan membenarkan kuasa atas makhluk lain. Kita sibuk merasa lebih tinggi karena bisa berpikir dan berbicara, tapi kadang tumpul dalam rasa.

Betapa ironisnya—mereka tak punya suara, tapi justru merekalah yang paling setia. Mereka tak bisa bertanya, tapi justru merekalah yang terus memberi. Mereka tak tahu caranya memprotes, tapi justru merekalah yang paling sering dikorbankan.


Aku mulai bertanya pada diriku sendiri: Apakah selama ini kita terlalu sibuk menjadi makhluk cerdas, sampai lupa menjadi makhluk berbelas kasih?

Aku membayangkan di akhirat kelak, mereka -para makhluk diam yang hidupnya tampak kecil di mata kita- akan datang sebagai saksi. Bukan untuk menuntut, tapi berkata, “Aku ada. Aku pernah hidup. Tapi tak pernah kau lihat sebagai makhluk yang juga berhak dihormati.”

Bayangkan pula sebaliknya, bila kita menjadi manusia yang memperlakukan mereka dengan baik kemudian mereka datang dan berkata "Terima kasih. Kau jadikan bumi ini sedikit lebih layak kutinggali, meski hanya sebentar."

---

Hari ini, aku tak bisa menyelamatkan dunia. Tapi mungkin aku bisa mulai dengan hal kecil: memberi makan seekor kucing lapar, mengangkat semut dari genangan air, atau tidak memainkannya atas nama penasaran.

Karena ternyata, bukan hanya soal akal dan hati, tapi juga soal pilihan.

Apakah kita mau jadi manusia… atau sekadar makhluk hidup yang pandai tapi tak merasa?

Semoga kita bisa menjadi manusia yang tidak hanya cerdas, tapi juga lembut, sadar, dan bertanggung jawab, termasuk terhadap sesama makhluk yang berdampingan dengan kita dan hidup bersama di bumi yang sama.

Monday, 23 June 2025

Di Balik Pijatan yang Kuat, Ada Pijakan yang Jauh Lebih Kuat

Suatu malam setelah menyesuaikan jadwal masing-masing, akhirnya aku bisa menemukan jadwal yang cocok dengan mbak pijat langgananku. Aku senang sekali bisa pijat hari itu. Sekarang aku ingin berbagi cerita tentang dia, yang bukan sekadar tukang pijat biasa.

Tiap kali ia datang, kita seperti berbagi peran, ia membuat tubuhku terasa lebih ringan, dan sepertinya aku membuat pikirannya terasa lebih ringan. Karena sambil tangannya bekerja, mulutnya bercerita, dan kadang matanya berbinar atau berkaca-kaca. Ia bersemangat bercerita tentang masa kecilnya. Juga tentang hidupnya yang tak pernah benar-benar mudah, tapi juga tidak pernah membuatnya menyerah.

Dia anak perempuan pertama dari banyak saudara. Lahir di tengah keterbatasan, tapi sejak kecil sudah terbiasa (harus) berbagi. Dalam dunia yang kadang tak adil, ia tumbuh menjadi seseorang yang tak pernah merasa kekurangan karena hatinya penuh dengan rasa cukup, yang dia artikan bahwa cukup adalah perasaan "ketika bisa memberi".

Kini, di usia dewasanya, dia merupakan seorang istri sekaligus seorang ibu yang bekerja, karena ingin membantu ekonomi keluarga. Ia bekerja dengan tangannya sendiri, memijat dengan ketelatenan yang tak berubah selama hampir tiga tahun aku mengenalnya. Hasil kerjanya tak ia nikmati sendirian. Ia kirimkan kepada orang tuanya, kepada mertuanya, terkadang bila ada lebih ia pun teringat kepada adik-adiknya. Jadi ketika ia cerita tentang liburan atau rezeki lebih, itu bukan tentang dirinya, tapi tentang keluarga, ia selalu ingin membagi sesuatu.

Dari tutur katanya, aku tahu dia bukan sekadar pekerja keras. Dia perencana yang baik. Setiap pengeluaran ia catat, setiap mimpi ia rancang. Bersama suaminya, mereka membangun kehidupan dari nol, sampai akhirnya bisa punya rumah sendiri. Ia bangga, tapi tak membusungkan dada. Ia selalu mengutamakan suaminya. Baginya, ia hanyalah pelengkap. Baginya, suaminya tetaplah pemberi nafkah utama yang akan selalu ia cintai dan ia hormati.

Namun, di balik kekuatannya, aku melihat ketegangan yang sering ia sembunyikan, kelelahan di balik senyumnya. Ia keras pada dirinya sendiri. Seringkali terlalu keras.

Dia terbiasa mengutamakan orang lain, bahkan dalam hal-hal kecil. Ketika aku pernah mengajaknya makan pempek selepas pijat, ia menyisakan potongan terbesar untuk anaknya. Pernah juga ia menolak ajakan makan karena suaminya belum makan, dan ia ingin makan bersama suaminya di rumah.

Aku terdiam. Kagum, tapi juga sedih. Dia begitu besar untuk orang lain, tapi apakah ia memberi ruang yang sama besar untuk dirinya sendiri?

---

Kita sering mengagumi perempuan tangguh seperti itu. Tapi kadang, kita lupa bahwa perempuan juga perlu dipeluk, bukan hanya dipuji karena kuatnya. Mereka perlu diingatkan bahwa mencintai diri sendiri bukanlah bentuk egoisme, tapi bagian dari menjaga agar cinta yang mereka berikan tidak habis di tengah jalan.

---

Untuk Mbak Pijat Profesionalku 😊

Terima kasih untuk ketulusanmu, untuk ceritamu, dan untuk kekuatan yang tanpa sadar kamu wariskan ke sekelilingmu. Tapi izinkan aku bilang:

Tak apa kalau sesekali kamu ingin sesuatu hanya untuk dirimu sendiri. Tak apa kalau kamu merasa lelah dan ingin menangis. Itu bukan kelemahan. Itu bagian dari manusia.

Cintailah dirimu juga, Mbak. Karena kamu juga layak diberi cinta, bukan hanya memberi. Dan dalam segala ketulusanmu untuk terus berjalan, pelan-pelan, langkah demi langkah, yakinlah bahwa tidak ada satu pun yang luput dari penglihatan Allah. Dia tahu setiap pijatan yang kamu berikan dengan niat baik, setiap rupiah yang kamu sisihkan untuk orang lain, setiap langkah pulang dengan kaki pegal tapi hati ikhlas.

Sebab kadang sabar tidak selalu terdengar. Ia tidak menggelegar seperti teriakan. Ia tidak tercatat di bumi tapi tercatat di langit, dalam kerja yang diulang hari demi hari, dalam menahan kata saat ingin marah, dalam memilih pulang saat bisa saja pergi.

Dan justru dalam sabar yang paling sunyi itulah, kamu bisa mencurahkan segala sesuatu kepada-Nya. Selama kamu memiliki-Nya, kamu punya segalanya.

Sekarang aku tahu, pijatanmu kuat karena ternyata pijakan kakimu sudah menapak dengan jauh lebih kuat. 

Semoga hidupmu senantiasa diberkahi. Dan semoga kamu tahu: kamu lebih dari cukup. Kamu sudah luar biasa. 

Friday, 20 June 2025

Doa Orang yang Memaafkan

Ketika seseorang menyakiti kita, kita dihadapkan pada beberapa jalan:

  • memaafkan dan mendoakan; atau
  • tidak memaafkan dan mengharap keadilan Allah di akhirat; atau
  • memaafkan tapi berharap Allah segera membalasnya di dunia


Dizalimi itu menyakitkan.

Dan kadang, luka paling dalam bukanlah luka fisik, tapi luka yang tak bisa dijelaskan… hanya bisa dirasakan.

Namun justru di saat-saat paling menyakitkan itulah, Allah menghadiahkan sebuah keistimewaan:

Doa orang yang terzalimi tak bersekat menuju langit.


Aku menyebutnya golden time.

Momen langka, waktu sakral—saat hati yang hancur justru paling didengar oleh Allah.


Kita bisa saja membalas.

Tapi bukankah itu hanya menjerumuskan kita pada lingkar luka yang sama?

Kita bisa saja mencaci.

Tapi bukankah yang diperintahkan adalah berkata baik atau diam?


Maka, ketika kita memilih diam…

dan justru berdoa:

Ya Allah, Engkau Mahatahu bahwa aku bisa membalas, tapi aku memilih diam karenaMu. Maka gantilah rasa sakit ini dengan kebaikan yang Engkau ridhai. Balaslah dengan adil. Bila Engkau kehendaki, ubahlah ia menjadi pribadi yang lebih baik.

Itu bukan kelemahan. Itu adalah kekuatan yang tenang.

Dan ketika kita mendoakan dalam diam, malaikat pun berkata:

"Dan untukmu juga, semoga mendapat yang sama."

Bayangkan.

Dua kekuatan doa. Doa yang tulus dari hati yang terluka, dan doa malaikat yang tak berdosa, bertemu pada satu waktu.

Bukankah itu tanda bahwa Allah benar-benar dekat?


Aku tahu… semua ini tidak mudah.

Bahkan mungkin terdengar naif. Seolah kita sok bijak, sok jadi malaikat padahal hati sedang berantakan.

Tapi percayalah, cara ini bukan tentang terlihat baik.

Ini tentang membebaskan hati dari beban, karena kita ingin hidup dengan tenang.

Dan bukankah kita juga ingin dijemput Allah dalam keadaan jiwa yang damai?


Lalu, mungkin ada yang bertanya, seperti aku pun pernah bertanya pada diriku sendiri:

"Kalau aku sudah memaafkan, tapi masih berharap agar orang itu mendapat balasan setimpal, apakah itu artinya aku belum benar-benar memaafkan?"

Dan jawabanku adalah:

Mungkin… kita sudah memaafkan, tapi belum sepenuhnya ikhlas.

Karena memaafkan itu proses.

Kadang kita sudah tidak ingin membalas, tidak menyebarkan aibnya, tidak membicarakannya, itu sudah bentuk memaafkan.

Tapi di dalam hati, masih tersisa harapan agar Allah membalasnya dengan adil.

Bukan karena kita pendendam,

tapi karena hati butuh rasa keadilan untuk sembuh.


Jika doa kita berbunyi:

"Ya Allah, balaslah sesuai keadilan-Mu, aku serahkan semua pada-Mu,"

itu bukan keburukan. Itu tawakal.

Itu bentuk memaafkan yang jujur—bukan sok suci, tapi juga tak mengabaikan luka.


Namun, jika hati masih berharap dia tersiksa, jatuh sejatuh-jatuhnya—

maka bisa jadi, kita belum memaafkan… kita hanya melepaskan genggaman, tapi belum merelakan.


Di sinilah kita diuji:

Apakah kita ingin balasan berupa penderitaan untuknya,

atau balasan berupa pelajaran, dan perubahan?


Karena saat kita bisa berkata:

"Aku tak ingin membalas. Aku ingin damai. Aku serahkan semuanya pada-Mu Ya Rabb. Aku yakin keadilan-Mu lebih sempurna dari semua skenario yang bisa kurancang sendiri,"

maka itulah bentuk tertinggi dari memaafkan.

Memaafkan bukan untuk membuat dia tenang.

Tapi agar kita sendiri hidup tanpa beban amarah yang perlahan-lahan mencuri bahagia.


Allah sendiri sudah menjanjikan:

Balasan suatu keburukan adalah keburukan yang setimpal. Akan tetapi, siapa yang memaafkan dan berbuat baik (kepada orang yang berbuat jahat), maka pahalanya dari Allah. Sesungguhnya Dia tidak menyukai orang-orang zalim.”

(QS. Asy-Syura: 40)


Bersegeralah menuju ampunan dari Tuhanmu dan surga (yang) luasnya (seperti) langit dan bumi yang disediakan bagi orang-orang yang bertakwa,yaitu) orang-orang yang selalu berinfak, baik di waktu lapang maupun sempit, orang-orang yang mengendalikan kemurkaannya, dan orang-orang yang memaafkan (kesalahan) orang lain. Allah mencintai orang-orang yang berbuat kebaikan.

(QS. Ali Imran: 133-134)

---

Kita tak selalu harus memaafkan secepat itu. Tapi kita bisa memilih untuk tidak ikut berubah buruk karena luka.

Kita bisa memilih untuk mendoakan yang terbaik untuk diri kita sendiri dan membiarkan Allah yang mengurus sisanya.

---

Memaafkan itu bukan untuk mereka, tapi untuk diri kita sendiri.

Karena kita berhak hidup dengan damai, tanpa terus membawa dendam yang membebani langkah, tanpa membiarkan luka lama mendikte cara kita mencintai hidup.

Kita memilih memaafkan bukan karena mereka pantas dimaafkan, tapi karena kita pantas untuk hidup tenang.

Karena pada akhirnya kita bukan ingin menang atas orang lain. Tapi menang atas hati kita sendiri.

Dan bukankah tidak ada kemenangan yang lebih indah daripada kita pulang dalam keadaan jiwa yang tenang?

Monday, 9 June 2025

"When Life Gives You Tangerines": Warisan yang Tak Terlihat oleh Mata

Aku baru selesai menonton drama korea berjudul When Life Gives You Tangerines, sebuah drama yang lembut, sunyi, tapi meninggalkan gema panjang di hati. Bukan karena alurnya yang dramatis, bukan karena plot twist atau dialog penuh air mata, tapi karena satu hal yang pelan-pelan menyentuh kesadaranku: kebahagiaan ternyata bisa diwariskan.

Drama ini secara garis besar bercerita tentang tiga perempuan dari satu garis keturunan: ibu Ae Sun, Ae Sun sendiri, dan anak perempuan Ae Sun. Masing-masing hidup dalam zaman berbeda. Masing-masing punya cara sendiri dalam bertahan dan mencintai.

Yang paling menggetarkan bagiku justru adalah tokoh ibu Ae Sun. Perempuan tangguh yang hidup dalam keterbatasan, menelan banyak duka dalam diam. Ae Sun tumbuh dalam bayang-bayang itu, hidupnya pun tidak mudah, tapi ia terlihat lebih bahagia, lebih punya ruang untuk tertawa dan punya keberanian untuk bermimpi meski akhirnya tak punya banyak pilihan. Lalu anak perempuan Ae Sun hidup dalam masa yang lebih lapang, lebih berani bermimpi, tapi ia bisa lebih bebas menentukan arah hidupnya, bahkan menjalani mimpinya.

Dari situ, aku tiba-tiba terdiam.

Seolah ada satu pintu kesadaran terbuka:

"Mungkinkah kebahagiaan yang kita rasakan hari ini adalah hasil dari pengorbanan diam-diam generasi sebelum kita?"


Mungkin kita merasa sudah berusaha keras, sudah berdoa sungguh-sungguh, lalu hidup menjadi lebih baik. Tapi bisa jadi ada doa yang lebih tua, lebih sunyi, lebih dalam... yang menjadi fondasi dari kebahagiaan kita sekarang.

Doa ibu kita. Doa nenek kita.

Air mata mereka. Lelah mereka.

Yang tak sempat kita lihat, tapi bekerja diam-diam membentuk jalan kita.

Bayangkan...

Saat kita merasa cukup hari ini, mungkin karena dulu ada perempuan yang rela lapar agar anaknya kenyang.

Saat kita bisa memilih jalan hidup kita sendiri, mungkin karena ada seorang ibu yang dulu hidupnya tidak diberi pilihan sehingga berupaya agar anaknya kelak bisa merasakan bagaimana memilih berbagai alternatif pilihan.

Dan saat kita bisa berkata “aku bahagia,” mungkin itu adalah buah dari pohon yang mereka tanam dalam tangis.


Aku jadi bertanya-tanya...

Mungkin ibu kita, saat seumur kita sekarang, tak sempat menikmati hidup sebagaimana kita.

Tapi kitalah yang memanen bahagia dari benih yang ia tanam.


Dan kini, ketika aku sendiri menjadi ibu—aku mulai sadar. Mungkin semua kelelahan dan ketidaksempurnaan yang kurasakan sekarang, semua perjuangan yang belum berbuah manis, adalah bentuk dari warisan yang sedang kutanam.

Untuk anak-anakku. Untuk cucuku kelak.


Ternyata menjadi ibu bukan hanya tentang melahirkan dan membesarkan. Tapi juga tentang melanjutkan kebaikan, tentang menyalakan harapan, tentang mengajarkan makna kebahagiaan yang sesungguhnya, tentang berupaya anak-anak kita tidak harus melalui kegelapan yang sama.

Dan jika kebahagiaan adalah warisan, maka aku ingin menjadi pewarisnya. Dan karena bagiku kebahagiaan sejati bukan diukur secara materi, maka aku ingin menjadi Pewaris yang tak hanya mewariskan apa yang terlihat oleh mata manusia tapi juga mewariskan hal yang terlihat oleh mata  hati manusia, yaitu iman, kebaikan dan nilai-nilai kehidupan.

Aku ingin menjaga rantai kebaikan itu agar tidak terputus. Aku ingin anak-anakku tumbuh dan menyadari bahwa hidup yang lebih baik yang mereka nikmati, bukanlah hasil mereka sendiri, tapi juga hasil cinta-cinta sunyi dari ibu dan neneknya. Aku tidak mungkin bisa memberikan nasihat kehidupan kepada anakku jika aku tak mengalami suka duka dalam perjalanan hidupku, dan dalam suka duka itulah iman, kebaikan, dan nilai-nilai kehidupan yang ditanamkan ibuku padaku baik langsung atau tidak langsung, sangat membantuku untuk tetap bertahan.


Dan sekarang... aku pun bersyukur.

Karena aku punya ibu yang telah menanamkan iman, kebaikan, dan nilai-nilai kehidupan untukku. Ibu tidak memberi kemudahan di depan mata tapi apa yang ia ajarkan menjadi dasarku dalam menentukan setiap pilihan dalam hidup dan mendorongku memiliki keberanian untuk menghadapi dan menjalani setiap pilihan itu.

Aku ingin menjadi ibu yang juga menanam iman, kebaikan dan nilai-nilai kehidupan untuk anakku, sebagai bekal ia menjalani kehidupan dalam fase apapun. Dengan atau tanpaku.

---

Ya Allah bahagiakanlah hati ibuku yang telah bersusah payah mengusahakan kebahagiaan untukku, jadikanlah aku bisa mewariskan kebahagiaan itu juga untuk anakku, dan mudahkanlah anakku meraih kebahagiaan itu, serta melanjutkannya untuk cucuku.

Friday, 6 June 2025

Idul Adha 1446: Tentang Belajar Percaya dan Belajar Ikhlas

Pagi ini langit Boalemo dinaungi awan mendung dan gerimis. Masjid Agung Baiturrahman tetap dipadati jamaah, yang datang untuk shalat Idul Adha. Aku berada di barisan tengah, seusai sholat, berusaha menyimak khutbah yang disampaikan khatib. Aku bersemangat mengikuti sholat id di sini karena setiap khutbah yang disampaikan di masjid ini selalu menyentuh hatiku seperti hari ini.

Khutbah pagi ini mengangkat dua hal agung yang selalu melekat dalam Idul Adha: ibadah haji dan pengorbanan Nabi Ibrahim. Tapi ia tidak berhenti sebagai peringatan keagamaan biasa. Ia hadir sebagai refleksi atas kejadian nyata yang sedang kita hadapi.


Pelajaran tentang Ibadah Haji tahun ini

Tahun ini, banyak calon jamaah haji jalur furoda, jalur nonkuota yang biayanya bisa mencapai ratusan juta rupiah per orang, gagal berangkat. Visa mereka dibatalkan sepihak oleh pemerintah Arab Saudi. Secara tiba-tiba, di luar rencana. Mereka yang sudah mempersiapkan fisik, hati, dan tabungan pun akhirnya terhenti dan tidak bisa berangkat.

Sebagian orang mungkin berkata: “Padahal sudah bayar mahal, kok bisa batal?” Justru dari sinilah pelajaran datang:

Bahwa tidak ada satu pun kuasa manusia yang mampu mendahului kehendak Allah. Bahwa izin Allah tidak bisa dibeli, meski dengan ratusan juta sekalipun.

Kisah lain dari khutbah itu lebih menyentuh lagi. Seorang jamaah bernama Ameur Al-Mansour Gaddafi, berasal dari Libya, gagal naik pesawat karena nama belakangnya mirip dengan pemimpin politik masa lalu. Ia pun harus diperiksa secara khusus hingga akhirnya rombongan berangkat tanpanya. Tapi Amir tidak mau pulang. Ia memilih menunggu di bandara, dengan keyakinan: “Saya tidak akan pergi dari sini kecuali untuk berangkat haji.

Tak lama, pesawat yang ditumpangi rombongan Amir mengalami gangguan teknis dan harus kembali ke bandara. Namun Amir tetap tidak diikutkan karena seluruh penumpang tetap berada dalam pesawat untuk kemudian diberangkatkan lagi. Namun Amir tetap berada di bandara dan berdoa dengan keyakinan kepada Allah.

Lalu keajaiban terjadi.

Pesawat itu mengalami gangguan teknis, dan harus kembali kedua kalinya ke bandara. Dan saat kapten akhirnya tahu bahwa Amir masih menunggu, ia menyatakan bahwa pesawat tidak akan kembali terbang tanpa dirinya. Akhirnya, Amir pun ikut terbang. Kehadirannya disambut tangis dan tepuk tangan rombongannya.

Kemudian saat diwawancara media, Amir mengatakan "Saya percaya kalau itu sudah ditakdirkan untuk saya, tidak ada kekuatan yang dapat menghalanginya."

Masya Allah dari kedua kejadian di atas, kita semua belajar:

Bahwa jika Allah menghendaki, tak ada yang bisa menolak.

Dan jika Allah belum menghendaki, tak ada yang bisa memaksa.


Pelajaran dari Kisah Nabi Ibrahim dan Nabi Ismail

Lalu khutbah menuntun pada kisah pengorbanan Nabi Ibrahim dan Ismail. Sebuah teladan tentang pengorbanan seorang ayah yang diperintah menyembelih anak yang sudah lama dinanti. 

"Wahai anakku sesungguhnya aku melihat dalam mimpi bahwa aku menyembelihmu. Maka fikirkanlah apa pendapatmu." (QS. As-Saffat: 102)

Seorang anak menerima dengan kerelaan dan menjawab dengan hati yang tenang:

"Wahai Ayahku, kerjakanlah apa yang diperintahkan kepadamu. Insya Allah, engkau akan mendapatiku termasuk orang-orang yang sabar." (QS. As-Saffat: 102)

Itu bukan hanya ketaatan. Tapi bentuk tertinggi dari cinta kepada Allah—ketika sesuatu yang paling kita cintai tidak lagi kita pertahankan, jika itu memang diminta oleh-Nya.

Dan pada akhirnya, Allah mengganti sembelihan itu dengan domba. Ternyata itu semua adalah ujian ketaatan. Kisah tersebut sebagai simbol bahwa ketulusan, kerelaan, dan ketaatan adalah esensi dari ibadah.

Kisah ini menyadarkan aku akan satu hal: Bahwa banyak hal yang kita genggam erat, padahal seharusnya sudah kita lepaskan kepada Allah, yaitu ketika harta, jabatan, bahkan atau relasi apapun yang kita cintai secara berlebihan telah menghalangi kita untuk taat kepada-Nya. Karena hal yang amat kita cintai bisa membuat kita berpaling dari-Nya.

Dari Nabi Ismail kita bisa belajar tentang rasa hormat, hal yang dewasa ini mulai pudar. Kita lihat sekarang banyak hubungan orang tua dan anak diwarnai pembangkangan, penentangan, hentakan, kezaliman, dan lainnya.

Sesungguhnya rasa hormat itu tidak bisa lahir begitu saja. Kita sebagai orang tua juga harus meneladani ketaatan dan kesalehan Nabi Ibrahim sehingga anak dengan kesadarannya pun bisa menghormati sosok orang tuanya.

Dan di ujung khutbah, ayat ini disebutkan:

"Kamu sekali-kali tidak akan memperoleh kebajikan (yang sempurna) sebelum kamu menginfakkan sebagian harta yang kamu cintai. Apa pun yang kamu infakkan, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui tentangnya." (QS. Ali Imran: 92)

_____

Idul Adha, pada akhirnya, bukan hanya tentang berbagi daging semata. Tapi tentang hati yang rela, jiwa yang berserah, dan manusia yang belajar bahwa tidak semua bisa dibeli, dan tidak semua harus dimiliki.

Hari ini aku belajar:

Bahwa mencintai Allah berarti siap berkorban. Bahwa berdoa bukan hanya soal meminta diberi, tapi juga ridho ketika keinginan kita sedang ditahan. Bahwa di dalam cinta ada rasa percaya, dan rela adalah bentuk tertinggi dari rasa cinta.

Selamat Idul Adha. Semoga kita tidak sekadar menyembelih hewan qurban, tapi juga menyembelih ambisi yang berlebihan, cinta dunia yang membutakan, dan ketakutan yang tak perlu. 

Idul Adha adalah tentang percaya bahwa yang kita genggam erat belum tentu baik, dan yang kita lepaskan karena Allah belum tentu benar-benar hilang.

Idul Adha adalah latihan ikhlas, saat kita belajar bahwa yang paling kita cintai pun bisa menjadi ujian, dan keikhlasan adalah bentuk tertinggi dari keimanan.

Tahun ini aku pulang dari masjid dengan doa dalam hati:

Semoga aku bisa tumbuh lebih taat, lebih ikhlas, lebih rela, juga selalu percaya dan berprasangka baik kepada Allah.

Aku harus selalu percaya jika Allah benar-benar berkehendak, pintu mana pun yang terkunci rapat akan bisa terbuka. Meski bagi manusia nampak tidak mungkin, meski nampak tidak bisa terjadi.

Laa haulaa wa laa quwwata illaa billaah.


Boalemo, 10 Dzulhijjah 1446

Monday, 2 June 2025

Sebelum Secarik SK Mengantarmu Merantau

Sebelum seseorang memutuskan benar-benar pergi merantau karena sebuah tugas negara, pada umumnya akan dihantui banyak ketakutan. Bukan hanya soal meninggalkan rumah dan akan jarang bertemu keluarga, tapi merantau menuju tempat yang bahkan belum pernah didengar sebelumnya, itu terdengar menjadi sesuatu yang menyesakkan. Rasanya seperti akan dilempar ke ujian yang belum dipelajari rumusnya atau dilempar ke hutan belantara yang belum didapatkan petanya.

Saat pulang bekerja dan sendirian di rumah, mungkin akan terbayang banyak pertanyaan di kepala:

Bagaimana jika aku tidak kuat? Bagaimana jika pilihan ini salah? Bagaimana kalau kesepian terlalu menyesakkan? Bagaimana kalau dunia kerja di tempat asing ini terlalu berat untuk kutanggung sehari-hari? Bagaimana kalau aku rindu dan aku tak punya cukup bekal untuk pulang?

Apabila kita hendak merantau, sebagian orang akan berkata kepada kita, 'Kamu pasti bisa' seolah semuanya akan berjalan sesederhana itu. Padahal menjadi seorang perantau bukan hanya soal berani, tapi juga soal merelakan banyak hal yang selama ini menjadi tempat pulang. Suara orang yang kita sayang, pelukan keluarga, rutinitas yang familiar, bahkan sekadar warung makan kecil yang sudah hafal pesanan kita, meninggalkan itu semua seperti meninggalkan bagian hidup kita.

Ketika merantau kita akan meninggalkan itu semua dengan jantung yang berdebar. Di bayangan kita akan ada malam-malam panjang yang sepi, pagi yang dingin tanpa sapaan, dan rutinitas yang keras tanpa siapa-siapa untuk bersandar.

........

Tapi ternyata, apa yang aku alami tidak demikian. Hari-hari di perantauan itu datang dengan cara yang berbeda. Tidak semenyakitkan yang kubayangkan. Tidak segelap yang kutakuti. Ternyata aku bisa membuat makanan enak sendiri karena tak ada jajanan kekinian yang bisa kubeli, aku bisa pulang dan makan malam sendiri tanpa khawatir tak ada yang menemani, aku bisa menyelesaikan pekerjaan dengan baik, lalu saat lelah datang aku pun bisa menenangkan diri di kamar sendiri. Tapi anehnya aku tak merasa sendirian.

Meski ada saat di mana aku menangis menahan rindu, tapi tangis itu bagian dari aku mengungkapkan perasaanku. Dan itu tidak apa-apa. Siapa sih orang yang tidak rindu kala jauh dari rumah? Tapi meski tak bertemu setiap hari, rindu orang-orang terkasih masih bisa kuredam dari telepon yang kugenggam, meski hari-hari lebih banyak sendiri tapi kebaikan dan kehangatan orang-orang di sekelilingku di sini membuatku tak pernah merasa sendiri.

Justru saat ini salah satu takdir yang aku syukuri dalam hidup adalah ditempatkan di sini. Di sini aku belajar banyak hal baik. Banyak yang bilang bahwa 'jangan jadikan teman kerjamu teman baikmu', tapi aku tidak memahaminya, karena di sini aku bertemu teman-teman yang supportif dan perhatian. Dalam pekerjaan profesional, mereka adalah teman diskusi yang baik, dalam kehidupan sehari-hari mereka seperti keluarga yang memastikan aku baik-baik saja.

Ternyata banyak ketakutan hanya hidup di pikiran kita sendiri. Sebagian besar tidak terbukti, dan yang terbukti pun ternyata tak seburuk yang kita kira.

Aku belajar bahwa menjadi perantau tidak membuatku kehilangan arah, justru membuatku menemukan diriku sendiri. Bahwa tidak apa-apa takut, asal tetap melangkah. Tidak apa-apa di awal merasa sendiri, asal mau beradaptasi.

Aku teringat ada yang pernah mengatakan hal ini kepadaku:

Ketika suatu hal di luar kendaliku datang kepadaku, aku percaya itu bagian dari takdir yang disiapkan untukku. Jika Allah mengabulkan doaku maka aku bahagia, tetapi jika Allah tidak mengabulkan doaku maka aku lebih bahagia. Karena yang pertama adalah pilihanku, sedangkan yang kedua adalah pilihan Allah.

Dan pada akhirnya, dari kota kecil yang hening, aku tahu satu hal penting: aku bisa. Bukan karena tidak pernah takut, tapi karena tetap berjalan dengan merangkul ketakutan itu melalui keyakinan, "insya Allah bisa, aku akan baik-baik saja, karena ada Allah yang selalu menjaga setiap langkahku."

........

Untukmu yang sedang memegang surat tugas di tangan dan tengah mempertimbangkan untuk berangkat atau tetap tinggal, izinkan aku berkata:

Jangan biarkan bayangan ketakutan membuatmu berhenti melangkah. Tapi juga, jangan buru-buru mengambil keputusan besar saat hatimu masih gelisah.

Luangkan waktu untuk mencari tahu. Tentang tempat tugasmu, tentang budaya kerjanya, tentang kemungkinan-kemungkinan baik yang mungkin belum kamu lihat. Ambil keputusan setelah kepalamu cukup mendapat informasi, bukan hanya setelah hatimu dikepung oleh rasa cemas.

Sebab keputusan yang diambil dari kesadaran penuh akan terasa lebih mantap meski jalannya tetap menanjak.

Dan bila pada akhirnya kamu memutuskan untuk tidak berangkat, itu pun bukan kegagalan. Jangan biarkan siapapun menghakimi pilihanmu, karena hanya kamu yang tahu sepenuhnya isi hidupmu. Bisa jadi ada orang tua yang sulit melepas anak satu-satunya. Bisa jadi ada janji yang belum bisa ditinggalkan. Bisa jadi ada hal-hal yang lebih dalam dari yang terlihat.

Jadi, apapun keputusanmu, melangkah atau bertahan, ambil dengan sadar. Ambil dengan penuh kasih pada dirimu sendiri. Karena keberanian bukan hanya soal berani pergi, tapi juga tentang jujur pada apa yang penting bagimu.

Karena sejatinya, hidup bukan soal siapa yang paling berani mengambil risiko, tapi siapa yang paling tulus menjalani pilihannya. Tak semua orang harus pergi jauh untuk bisa bertumbuh. Dan tak semua yang tinggal berarti tak berkembang.

Kita hanya perlu jujur pada diri sendiri: apakah keputusan yang kita ambil benar-benar karena kita telah paham dan siap, atau hanya karena ketakutan yang belum kita ajak bicara baik-baik?

Aku pernah memilih untuk tetap melangkah, dan ternyata jalannya tidak seburuk yang kutakutkan. Tapi aku juga belajar untuk tidak menganggap remeh keputusan siapapun yang memilih untuk tidak berangkat, karena kita tak pernah tahu cerita di baliknya. Mungkin mereka tak benar-benar mundur, mereka hanya memilih untuk melindungi sesuatu yang bagi mereka sangat berarti.

Jadi, untuk siapa pun yang kini sedang di persimpangan antara menetap atau melangkah, ingatlah: Perasaanmu valid, tapi jangan biarkan rasa takut jadi satu-satunya alasan. Kuatkan niat, kumpulkan informasi, lalu beri ruang untuk dirimu menimbang dengan jernih.

Kalau akhirnya kamu memilih berangkat pergi, bawalah hatimu yang utuh. Kalau akhirnya kamu memilih tetap tinggal, peluklah keputusanmu tanpa rasa bersalah.

Karena bagaimanapun juga setiap pilihan ada konsekuensi yang dijalani. Tak bisa dipungkiri setiap pilihan itu tidak hanya berpengaruh pada hidupmu semata tapi juga berpengaruh pada sistem yang telah berjalan juga pada mimpi-mimpi orang lain yang dititipkan melalui surat di tanganmu.

Yang terpenting adalah: kamu memilih dengan sadar. Bukan karena dorongan orang lain, bukan karena panik, dan bukan karena bayangan di kepala yang belum tentu benar.

Tapi bukankah hidup memang begitu? Itulah seni kehidupan. Bagaimana kita berani memilih dan bertanggungjawab pada pilihan.

Semoga di mana pun kakimu berpijak nanti, entah di tanah rantau atau tanah lahirmu, kamu tetap bisa tumbuh, tetap merasa cukup, dan tetap punya ruang untuk menjadi dirimu sendiri.


Ditulis dari tempat yang menjadi bibit tanya dalam dirimu, tapi siap menjadi ladang baru tempat bertumbuhmu.

Boalemo, 2 Juni 2025

Monday, 26 May 2025

Yang Kita Tinggali Sementara dan yang Kita Tinggalkan Selamanya

 "Dunia ini seperti membangun rumah bagi orang yang tak akan pernah menempatinya, dan mengumpulkan harta bagi orang yang tak akan pernah memilikinya"

Itulah kalimat yang terlintas di pikiranku ketika kemarin datang melayat ibu dari seorang teman. Dalam sunyi dan doa, aku menyadari bahwa: kita hidup di dunia ini seperti sedang tinggal di rumah sewa, nyaman untuk sesaat, tapi bukan milik kita selamanya.

Ada orang yang menghabiskan hidupnya membangun rumah impian, membeli tanah, menyusun batu bata dengan hati-hati. Tapi sebelum sempat menempatinya, usianya sudah habis. Ada pula yang sibuk mengejar harta, bekerja siang malam demi mengumpulkan angka di rekening. Tapi sebelum bisa menikmati semuanya, hidupnya telah usai. 

Begitu banyak energi kita curahkan untuk memperindah dunia, menyusun rencana-rencana, mengejar pencapaian, dan meraih pengakuan. Tapi ada satu kebenaran yang sering datang hanya dalam sunyi, dalam merenungi kepergian seseorang, atau dalam perenungan yang jujur: bahwa semua ini, akhirnya, akan kita tinggalkanAkan sangat merugi jika setiap yang kita usahakan hanya diniatkan untuk dunia, karena ternyata kita tak akan pernah benar-benar tinggal di sini selamanya.

Rumah kita yang sebenarnya bukan di sini. Dan harta kita yang sesungguhnya bukan yang kita simpan, melainkan yang kita tinggalkan dalam bentuk kebaikan. Rumah, harta, dan apapun yang kita kejar kelak hanya akan menjadi sesuatu yang tidak ada artinya jika tidak dilandasi iman dan kebaikan.

Ada tiga hal yang akan tetap tinggal saat kita pergi:

  • Sedekah jariyah

Sedekah bisa dalam bentuk apapun dan nominal berapapun sepanjang diniatkan karena Allah dan untuk kebaikan di jalan Allah.

  • Ilmu yang bermanfaat

Ilmu bermanfaat itu bukan sekedar ilmu yang terdaftar di kurikulum, nilai kehidupan yang selaras dengan iman pun juga ilmu, bahkan tulisan-tulisan kita di sosial media yang meninggalkan manfaat itu juga ilmu.

  • Anak-anak yang sholih

Dengan menyadari bahwa dunia ini akan kita tinggalkan selamanya maka ketika menjadi orang tua, cara kita memandang anak kita pun menjadi berbeda, ternyata hidup sukses kaya raya bukanlah tolak ukur keberhasilan orang tua, tetapi keberhasilan adalah ketika anak tumbuh dalam iman dan kebaikan, maka apapun jalan hidup yang dipilih pasti akan menjadi berkah baginya, dan juga bagi orang tua yang mendidik nilai-nilai kehidupan pada anaknya.

Ketiganya adalah warisan yang hidup ketika nama kita tak lagi disebut-sebut. Dan ketiga hal itu punya persamaan, yaitu adanya keberlanjutan dan kebermanfaatan. Ada "estafet" dari diri kita pada sekitar kita.

Hal-hal demikianlah yang seharusnya bisa membuat kita menjalani hari-hari ini bukan dengan tergesa, tapi dengan utuh dan penuh kesadaran, karena ada "misi" yang hendak kita jalankan. Namun di tengah hiruk pikuk dunia, kadang secara tidak sadar kita berpikir bahwa: kalau dunia ini cuma sebentar, untuk apa terlalu peduli dengan orang lain?

Justru karena sebentar, kita harus menjalaninya dengan sebaik-baiknya. Menjaga sikap, menjaga amanah, menjaga kata dan perbuatan, menjaga dari mana harta kita dapatkan dan ke mana dibelanjakan, dsb. Karena cara kita hidup, meski tak kekal, bisa menjadi warisan tak ternilai bagi orang-orang yang kita cintai.

Dunia inilah tempat satu-satunya kita menyiapkan bekal untuk pulang ke rumah kita yang sesungguhnya. Bukankah hal itu seharusnya membuat kita bersemangat untuk hidup? Karena setiap kita membuka mata di pagi hari artinya, "aku masih diberi kesempatan satu kali lagi".

...

Hidup ini singkat.
Terlalu singkat untuk dijalani tanpa arah.
Justru karena singkat,
setiap detik adalah ladang, tempat kita menanam benih manfaat
karena manfaat itulah bekal yang bisa dibawa bersama jasad.

Kita tidak menetap,
kita hanya penyewa
Namun semoga, selama singgah,
kita sempat menumbuhkan nilai dengan sungguh,
sempat meninggalkan jejak
yang terus hidup meski kita telah terkubur pada tanah yang dipijak.

Sebab warisan iman dan amal kebaikan
itulah yang akan mempertemukan kita kembali:
dengan keluarga, sahabat,
dan jiwa-jiwa baik yang pernah menyentuh hidup kita.

Mari kita perbaiki niat kita dalam mengejar dunia

Mari kita tanam nilai-nilai dan amal-amal itu,
di tempat yang kita tinggali sementara
demi suatu hari di mana kita berkumpul kembali
di tempat yang (bisa) kita tinggali selamanya.

_______________________________________


Ketahuilah bahwa kehidupan dunia itu hanyalah permainan, kelengahan, perhiasan, dan saling bermegah-megahan di antara kamu serta berlomba-lomba dalam banyaknya harta dan anak keturunan. 
(QS. Al Hadid: 20)

---

Dan, carilah pada apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu (pahala) negeri akhirat, tetapi janganlah kamu lupakan bagianmu di dunia. Berbuat baiklah (kepada orang lain) sebagaimana Allah telah berbuat baik kepadamu dan janganlah kamu berbuat kerusakan di bumi. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berbuat kerusakan

(QS. Al Qashash: 77)

Thursday, 22 May 2025

SK Mutasi: Bukan Sekedar Naskah di Atas Kertas

Ada sebuah naskah yang tak ditulis oleh tangan manusia. Ia tidak tercetak dalam tinta, tidak pula diumumkan lewat pengumuman resmi. Tapi naskah itu hidup—mengalir dalam setiap detak jantungku, dalam kelelahan yang tak pernah aku umumkan, dalam cinta yang aku titipkan di punggung tangan setiap kali melihat anak-anakku tertidur setelah aku meninabobokan meski berada ribuan kilometer dari mereka.

Naskah itu pernah menuliskan:


Bahwa aku akan jauh dari anak-anakku untuk menegakkan keadilan.

Bahwa aku akan mencintai pekerjaanku, bahkan saat tubuhku ingin menyerah.

Bahwa aku akan duduk dalam ruang sidang, menjadi tegas tapi harus tenang, menjadi berimbang tapi tidak boleh bimbang, kemudian harus mengadili tanpa menghakimi.

Bahwa aku akan menjadi perempuan yang berdiri di tengah kehidupan—bersama sosok lelaki yang mengajariku tetap tersenyum dalam setiap keadaan, bahkan bisa tertawa bersama menertawai diri kami sendiri, yang dengan percaya diri selalu pulang beberapa kali setahun dengan keyakinan: gapapa, pasti ada, pasti cukup, karena meski tabungan menipis ternyata Allah selalu memberi rasa cukup di dalam hati selama berasal dari yang baik dan untuk sesuatu yang baik.

Dan kini… halaman berikutnya sedang dibuka.
Belum aku lihat tempatnya. Belum aku tahu kapan keputusan itu diberikan. Tapi aku yakin Allah sudah menetapkannya.
Belum aku tahu di kota mana aku akan menapak…
Tapi setiap aku lihat ke belakang, aku tahu Dia tak pernah salah meletakkan takdir. Jadi, kenapa harus risau?

Jika aku ditempatkan lebih dekat dengan anak-anak, itu berarti hatiku sudah cukup untuk diuji dalam jarak dan perpisahan.
Jika aku tetap jauh, itu berarti ada cahaya yang Allah titipkan padaku, untuk menerangi tempat yang lebih membutuhkan keadilan, dan Allah ingin aku yang mewujudkannya di sana, melalui goresan pena yang didahului perenungan yang dalam.

Apapun yang tertulis nanti…
Itu bukan hasil dari rapat pimpinan semata.
Itu bagian dari naskah besar yang Allah tulis, yang pasti terbaik untukku.

Maka aku harus membaca naskah itu dengan iman.
Aku harus menjalani bab berikutnya dengan syukur dan sabar.
Dan suatu saat nanti ketika aku menengok ke belakang lagi, aku akan berkata:

“Ya Allah… ternyata Engkau benar-benar memberi jalan terbaik untukku.”

Sama halnya seperti hari ini, saat aku begitu mensyukuri menjalani langkah pertamaku di sini. Tempat di mana aku punya banyak waktu untuk melihat setiap perkara dengan lebih mendalam, untuk belajar membawa diri dengan baik, dan untuk memahami banyak hal secara menyeluruh. Semua tidak akan aku dapatkan jika aku berada di tempat yang dekat dan beban yang padat.

Di manapun nanti, percayalah pasti yang terbaik untukku, untuk kamu, untuk kita.

-------------------

Ditulis saat dag dig dug, menunggu naskah di atas kertas berjudul: TPM

Boalemo, Mei 2025


"Dan berdoalah: Ya Tuhanku, tempatkanlah aku pada tempat yang diberkati, dan Engkau adalah sebaik-baik Yang memberi tempat"

(QS. Al Mu'minun: 29)

Tuesday, 20 May 2025

Refleksi 33 Tahun: Bangkit dalam Nama dan Makna

Usia 33 tahun. Bagi orang lain mungkin itu hanyalah angka. Tapi bagiku yang menjalani, hari ini aku ingin mengingat perjalanan hidup yang menyimpan begitu banyak cerita. Hari ini aku tidak hanya bertambah usia, tapi aku bertambah dalam kesadaran tentang siapa aku, ke mana aku melangkah, dan apa makna dari semua ini.


Namaku Bangkit. Dan mungkin baru di usia ini aku benar-benar menghayati makna nama itu.

Bangkit… bukan sekadar berdiri setelah jatuh. Tapi juga tentang menerima bahwa kejatuhan itu pun bagian dari jalan hidup yang harus dilalui. Tentang memilih tetap bernapas saat dunia serasa menyesakkan. Tentang memeluk luka tanpa harus mengutuk mengapa ia datang. Tentang berjalan di lorong-lorong sunyi dalam menjalani peran sebagai ibu, istri, anak, sekaligus peran dalam pekerjaan ini dan menjadikannya ruang kontemplasi, bukan penjara.


Sudah lima tahun aku menjalani tugas di tempat yang jauh dari anak-anak. Adil dan Damai, dua nama yang setiap malam kusebut dalam doa. Dua cahaya yang mengajarkanku bahwa cinta tidak diukur dari jarak, tapi dari kesungguhan hati untuk tetap hadir meski lewat suara, gambar, atau surat-surat yang kusematkan dalam jurnal-jurnal malamku.

Suamiku pun tak selalu di sisi. Tapi dari keterpisahan jarak itu aku belajar bahwa pernikahan bukan tentang terus bersama secara fisik, melainkan tentang saling menjaga dalam komitmen yang terus diperbaharui dengan doa dan perjuangan.


Di usia ini, aku mulai percaya ungkapan bahwa integritas adalah "kemewahan" yang harus terus dijaga. Sebenarnya ungkapan inipun salah, karena integritas seharusnya menjadi "bare minimum" setiap dari kita. Di ruang sidang, aku menyaksikan manusia dalam berbagai lapis luka dan ego. Tapi di balik palu, aku tahu: aku juga manusia. Maka tugasku bukan sekadar menjatuhkan putusan, tapi menghadirkan keadilan yang hidup—yang memanusiakan. Dan untuk bisa memiliki nurani itu aku harus menjaga hatiku dengan sebaik-baiknya karena aku sadar perbuatan buruk akan menodai hati dan menghalangi petunjuk dan kebijaksanaan masuk ke dalam hatiku.


Dulu aku berpikir, usia matang itu tentang tahu segalanya. Tapi ternyata tidak. Usia 33 justru membuatku lebih banyak bertanya. Lebih sering diam. Lebih sering bertanya kepada Allah: “Apakah aku mampu?” Lalu merunduk, karena jawabannya adalah: “TenangAku sedang berproses.”


Di usia ini, aku ingin lebih jujur pada diri. Bahwa aku lelah, iya. Bahwa aku takut, iya. Tapi aku tidak sendiri. Ada keluarga yang mendoakan. Ada anak-anak yang menantiku pulang. Ada suami yang mendampingi. Ada sahabat yang memahami. Ada diri yang terus belajar untuk ikhlas. Ada kekuatan.


Tapi aku juga tahu, semua kekuatan itu bukan berasal dariku semata.

Ada satu kekuatan yang lebih besar, yang senantiasa menyertai meski tak selalu aku sadari: Allah.

Allah yang tak pernah pergi, bahkan saat aku lupa mengadu.

Yang memberi ketika aku belum sempat meminta.

Yang menjawab doa-doaku melalui orang-orang yang aku cintai.

Yang menenangkanku melalui pelukan anak-anak, melalui tatapan suami yang tak banyak bicara tapi hadir dengan setia, melalui suara orang tua yang selalu mendoakanku di sepertiga malam.

Melalui sahabat-sahabat lama yang tetap ada walau jarak memisahkan raga.


Maka hari ini, aku juga ingin berterima kasih:

Untuk suamiku, yang mungkin tidak selalu tahu betapa aku menahan banyak hal, tapi tetap memilih untuk berjalan bersamaku. Terima kasih telah jadi bahu, jadi teman diskusi, jadi bagian dari “misi rahasia” kehidupan ini.

Untuk anak-anakku, Mas Adil dan Dek Damai, yang menjadi cermin ketulusan dan sumber kekuatan tak terduga. Setiap senyum kalian adalah doa yang dikabulkan. Mama akan terus berjuang, untuk bisa pulang dengan lebih utuh. Mama ingin jadi ibu yang tenang dan bahagia agar apa yang Mama tumpahkan bukan amarah tapi cinta dan kasih sayang.

Untuk orang tuaku, yang dari jauh tetap menjadi tempat aku pulang secara batin. Yang cintanya tidak pernah usang, meski raga seringkali tidak bisa bersama. Aku tidak akan menjadi seperti ini tanpa Mama dan Bapak.

Untuk saudara-saudaraku, yang menjadi pelindung dalam diam, penguat dalam doa, dan penyemangat dalam banyak cerita.

Untuk sahabat-sahabatku dari masa kecil, remaja, hingga kini, yang tetap tinggal meski hidup membawa kita ke arah yang berbeda-beda. Terima kasih sudah tetap percaya bahwa aku adalah aku.

Untuk guru-guruku, maupun orang-orang yang kuanggap seperti guru dalam kehidupan, yang mendidikku, yang memberi bekal pengetahuan dan teladan untuk aku meniti satu per satu jalan hidupku, yang mengajarkan ilmu dan iman sebelum aku beramal.

Dan untuk pimpinan, rekan sejawat, serta seluruh rekan kerja, yang menjadi teman berproses bersama, yang memiliki niat baik yang sama, yang saling mendukung untuk menjaga diri agar tak keluar dari jalurnya.

Sert terima kasih untuk siapapun yang pernah berinteraksi denganku, yang menjadi bagian dalam perjalananku sejak kecil hingga sekarang.


Hari ini bukan hanya tentang pertambahan usia. Tapi tentang pertambahan makna.

Tentang tunduk yang lebih dalam pada kehendak Allah.

Tentang meyakini bahwa segala sesuatu, sekecil apapun, tidak ada yang sia-sia dalam genggaman-Nya.

Tentang meyakini bahwa di manapun pelabuhan selanjutnya, pasti adalah tempat yang Allah berkahi untuk kami.


Selamat memaknai bertambahnya usia, diriku.

Semoga kamu tetap hidup dengan hati yang hangat, akal yang jernih, dan langkah yang mengandung banyak doa dan usaha.

Tetap menjadi kamu, yang mencoba, meski tak selalu sempurna.

Yang berserah, tapi tak menyerah.


Dengan cinta, syukur, dan harapan,

Aku menulis ini dengan perasaan yang masih ingin tumbuh bersama-Nya, juga bersama  orang-orang yang aku cinta,

Ternyata usia 33-ku terasa seperti undangan untuk benar-benar Bangkit, dari hati yang paling dalam.

Boalemo, 20 Mei 2025

Thursday, 15 May 2025

Di Balik Makna Lebaran, Ketupat, dan Mudik

Sekitar sebulan yang lalu saya menghadiri acara Halal bi Halal yang di dalamnya terdapat tausiyah. Sebenarnya tausiyahnya tidak panjang, tapi entah kenapa terasa dalam sekali maknanya. Ada beberapa bagian yang menyentuh hati saya, sampai-sampai hampir saja saya meneteskan air mata. Tapi karena malu, saya pun buru-buru menyekanya. Hihihi.

Saya merasa perlu menuliskan apa yang saya tangkap dari tausiyah tersebut. Bukan hanya agar saya tidak lupa, tapi juga agar siapapun yang membacanya bisa ikut mengambil pelajaran.

Salah satu hal yang paling berkesan adalah ketika beliau menjelaskan filosofi kata kupat. Kupat adalah sebutan ketupat dalam bahasa Jawa. Ternyata di balik makanan yang biasa kita temui saat Lebaran ini, ada makna yang dalam.

Beliau menyebut bahwa kupat itu berasal dari dua makna: ngaku lepat dan laku ing papat.

Ngaku lepat artinya mengakui kesalahan. Karena setelah sebulan penuh kita berpuasa dan membersihkan diri, maka di hari raya kita diminta untuk saling memaafkan dan saling mengakui kesalahan. Tidak hanya kepada orang lain, tapi juga kepada diri sendiri dan kepada Allah.

Sementara laku ing papat artinya melakukan empat hal. Empat hal itu adalah lebaran, leburan, luberan, dan laburan. Berikut ini penjelasan beliau, yang saya coba tuliskan ulang dengan bahasa saya sendiri:

---

1. Lebaran

Kata lebar dalam bahasa Jawa berarti “selesai”. Lebaran menjadi tanda bahwa kita sudah menyelesaikan ibadah puasa selama sebulan penuh. Tapi bukan berarti semuanya berakhir begitu saja. Justru seharusnya, selesai Ramadhan itu adalah awal dari perjalanan baru. Kebiasaan baik yang kita bentuk selama bulan Ramadhan, sholat lebih tepat waktu, lebih sabar, lebih dermawan, semoga tidak ikut “selesai” juga, tapi bisa kita lanjutkan dalam kehidupan sehari-hari. Karena latihan selama tiga puluh hari itu bukan untuk pamer, tapi untuk membiasakan.

2. Leburan

Lebur artinya luluh, luruh, atau hancur. Setelah Ramadhan, kita berharap dosa-dosa kita juga ikut lebur. Di sepuluh hari terakhir Ramadhan, kita diajak untuk benar-benar bersungguh-sungguh dalam ibadah, dalam doa, dalam taubat. Maka saat Lebaran tiba, kita berharap semua beban itu telah luruh dan kita kembali bersih. Seperti baju putih yang dicuci dan dijemur di bawah matahari, kita berharap hati pun kembali bersih, tanpa noda dendam, iri, atau kesombongan.

3. Luberan

Luber berarti melimpah, meluap. Seperti air dalam ember yang meluap karena terlalu penuh. Dalam konteks Ramadhan dan Lebaran, ini melambangkan kelimpahan kebaikan. Kita diajak untuk berbagi, terutama melalui zakat fitrah. Karena dalam harta yang kita miliki, ada hak orang lain, hak fakir miskin, hak mereka yang membutuhkan. Maka setelah Ramadhan, semangat berbagi ini diharapkan terus meluber. Bukan cuma soal materi, tapi juga berbagi waktu, perhatian, dan kebaikan hati.

4. Laburan

Labur adalah membalut atau melapisi, biasanya digunakan dalam konteks mengecat atau menutupi dinding. Filosofinya, setelah Ramadhan kita ibarat rumah yang dilabur ulang. Kita melepaskan kebiasaan buruk dan memperbarui diri. Bukan sekadar bersih dari dosa, tapi juga tampil dengan wajah baru—lebih sabar, lebih bijak, dan lebih peduli. Laburan juga bisa bermakna menutupi aib orang lain, sebagaimana Allah telah menutupi aib kita selama ini. Maka jangan biarkan lidah kita jadi alat membuka aib saudara, padahal Allah sendiri menutupinya.

---

Setelah membahas kupat, beliau juga menyinggung soal mudik.

Lebaran memang identik dengan mudik. Pulang ke kampung halaman. Bertemu orang tua. Melepas rindu. Tapi beliau menyampaikan sesuatu yang cukup dalam: bahwa sejatinya hidup ini juga perjalanan mudik. Kita semua pada akhirnya akan kembali ke asal kita, kepada Allah, Sang Pencipta. Maka orang yang beruntung adalah yang sadar dari mana ia berasal dan ke mana ia akan pulang. Karena dengan begitu, ia tidak kehilangan arah dalam hidupnya.

Mudik itu indah karena kita tahu ada yang menanti. Begitu juga hidup, akan terasa bermakna jika kita yakin bahwa ada tempat kembali yang penuh kasih, tempat di mana segala rindu terjawab, dan segala letih terbayar.

Maka, seperti kita menyiapkan oleh-oleh untuk orang tua saat mudik, mari kita juga siapkan oleh-oleh terbaik untuk “mudik” kita yang sesungguhnya, amal baik, hati yang bersih, dan niat yang tulus. Karena nanti, saat waktunya pulang, kita ingin disambut dengan kalimat paling indah dari Tuhan kita:


"Wahai jiwa yang tenang, kembalilah kepada Tuhanmu dengan ridha dan diridhai." (QS. Al-Fajr: 27–28)

--------------------

Saya bersyukur sempat mendengarkan tausiyah itu. Sederhana tapi dalam. Ringan tapi menggerakkan hati. Semoga tulisan ini bisa jadi pengingat buat saya sendiri di masa depan, dan juga buat siapa pun yang sedang mencari makna di antara tradisi yang kita jalani setiap tahun.

Karena terkadang, hal-hal kecil seperti ketupat dan mudik menyimpan pelajaran hidup yang besar. Tinggal kita mau berhenti sejenak untuk merenunginya… atau tidak.

------------------

Terima kasih kepada beliau yang memberikan saya hikmah yang begitu mendalam. Hormat saya kepada beliau dan Insya Allah beliau selalu diberkahi Allah.

Tausiyah tersebut disampaikan oleh YM Bapak Dr. H. Chazim Maksalina, M.H., Ketua Pengadilan Tinggi Agama Gorontalo.

Gorontalo, April 2025

Air Mata yang Menyuburkan Hidup

Aku menemukan sebuah video di Instagram yang memperlihatkan di hutan Amazon di bawah pepohonan, ada seekor kura-kura berdiam diri sementara ...