Sunday, 9 November 2025

Rindu di Setiap Langkah

Pagi ini aku berjalan tanpa rute, mengikuti ke mana kaki ingin melangkah. Udara lembap, langit belum terlalu terang, dan setiap langkah terasa seperti percakapan diam antara aku dan hatiku sendiri. Sampai akhirnya jarak menunjukkan 5,5 kilometer. Aku berhenti sejenak, menarik napas panjang, dan menikmati rasa yang datang, rindu yang dalam, yang selama ini kutahan rapat-rapat: rindu pada anak.


Rindu yang tidak bisa disembunyikan di balik tumpukan tugas, rindu yang tidak bisa diredakan oleh kesibukan, rindu yang tetap muncul bahkan di tengah lingkungan yang nyaman dan aman.

Rindu yang sederhana tapi menyesakkan, seperti ingin memeluk tapi hanya bisa membayangkan aroma rambutnya, ingin mengusap kepala saat hendak tidur atau ingin mengusap air matanya saat ia terjatuh tapi hanya bisa menatap layar ponsel,


---


Aku sering menenangkan diri dengan kalimat, “Ini semua demi mereka.” Dan memang benar. Tapi tetap saja, logika tidak selalu bisa mengalahkan rasa. Karena rindu bukan soal masuk akal atau tidak, melainkan soal hati yang terbayang mendengar tawa mereka setiap pagi, lalu tiba-tiba hanya mendengar suara burung dan detak langkah sendiri.


Rindu pada anak itu seperti berjalan jauh tanpa tahu kapan sampai. Setiap kali aku merasa kuat, tiba-tiba ada momen kecil yang membuat air mata menetes. Melihat anak orang lain digandeng ibunya, mendengar panggilan “Mama” di tempat umum, atau sekadar melihat mainan yang mirip dengan yang anak-anakku suka.


Namun akan selalu ada waktu di mana aku berdoa dalam diam: semoga mereka baik-baik saja, semoga mereka tumbuh dengan sehat dan bahagia, semoga kelak mereka tahu bahwa setiap detik yang kulewati di sini adalah bentuk cinta juga.


---


Kadang aku bertanya pada diri sendiri, bagaimana caranya menjadi ibu yang kuat kalau hati selalu ingin pulang? Tapi lalu aku belajar, mungkin kekuatan itu bukan berarti tidak menangis, melainkan tetap melangkah meski air mata belum kering. Kekuatan itu bukan berarti tidak rindu, melainkan tetap menjalani tanggung jawab dengan penuh cinta, sambil terus membawa nama anak-anak dalam setiap doa dan langkah.


Di titik itu aku sadar, menjadi orang tua ternyata adalah perjalanan pulang yang panjang. Kita tidak selalu berada di sisi mereka secara fisik, tapi kita selalu ingin membawa mereka dalam hati, ke mana pun kita pergi.

Setiap keputusan, setiap pengorbanan, bahkan setiap lelah yang tak terucap, semua bermuara pada satu hal: cinta.


---


Pagi ini, di tengah udara yang sejuk dan jalan yang lengang, aku membiarkan rindu itu hadir sepenuhnya. Tidak kutolak, tidak kusembunyikan. Aku biarkan ia menjadi bagian dari langkahku. Karena mungkin memang begitulah takdir seorang ibu yang hidup di antara jarak: belajar berdamai dengan rindu, sambil percaya bahwa doa bisa menembus ruang yang jauh.


Aku tahu, suatu hari nanti aku akan pulang, entah sementara atau selamanya. Dan ketika itu terjadi, pelukan kecil itu akan terasa seperti dunia yang kembali utuh. Tapi untuk sekarang, aku berjalan dulu.

Karena setiap langkah yang kuambil hari ini adalah bagian dari jalan pulang yang kutuju.


---


Rindu pada anak tidak akan pernah hilang. Ia hanya berubah bentuk, kadang menjadi semangat untuk bekerja dengan baik dan benar, kadang menjadi doa di sepertiga malam, kadang hanya menjadi senyum kecil ketika melihat foto di layar. Tapi rindu itu juga yang membuatku tetap hidup dengan makna: bahwa sejauh apa pun aku pergi, selalu ada alasan untuk kembali.


Dan hari ini, seperti 5,5 kilometer yang kulalui tadi, aku tahu:

aku belum sampai pada 2.500 kilometer yang memisahkan kita,

tapi aku selalu yakin ada waktu dan rezeki untuk bisa sampai di sana


Tunggu Papa dan Mama ya,

Minahasa Utara, 9 November 2025




Monday, 20 October 2025

Mensyukuri yang Ada Sebelum Mengharap yang Belum Ada

Jika satu saja dari nikmat kecilku hilang besok, yang mana akan paling kurindukan dan bagaimana aku bisa menghargainya hari ini?

Kita sering membayangkan kehilangan dalam bentuk besar: kehilangan pekerjaan, kehilangan orang tercinta, atau kehilangan kesehatan. Tapi sering kali, yang hilang terlebih dahulu justru hal-hal kecil yang dulu terasa terlalu biasa untuk disyukuri:

Aroma kopi pagi.

Suara adzan dari kejauhan.

Udara hangat yang menyapa kulit saat matahari baru terbit.

Tawa anak yang pecah tiba-tiba di ruang tamu.

Saat semuanya berjalan baik, hal-hal itu seperti latar belakang hidup yang tidak kita sadari. Kita menamainya “biasa saja”. Tapi ketika hari-hari berubah, ketika sakit datang, ketika jarak memisahkan, ketika rutinitas tak lagi sama, barulah kita sadar betapa berartinya hal-hal kecil yang dulu kita abaikan. Saat itulah, dari dalam hati yang kosong, muncul bisikan lirih: “Andai dulu aku lebih memperhatikan.”

Menghargai nikmat bukan sekadar mengucapkan syukur, tapi menyadari keberadaannya sebelum ia pergi.

Berhenti sejenak dan biarkan rasa terima kasih memenuhi ruang yang sebelumnya diisi oleh kebiasaan.

Menggenggam tangan anak dan merasakan hangatnya, bukan hanya sebagai rutinitas, tapi sebagai mukjizat kecil.

Mengucap alhamdulillah untuk air yang bisa diminum, atap yang meneduhkan, dan jantung yang masih berdetak.

Kadang kita berpikir rasa syukur harus tampak besar, lewat ucapan, tulisan, atau perayaan. Tapi kita sering lupa bentuk syukur yang selanjutnya yaitu:

cara kita memperlakukan apa yang sudah kita miliki,

Coba bayangkan jika satu saja nikmat kecil itu hilang besok: pendengaran, ketenangan, langkah yang ringan, atau teman yang setia betapa kosong rasanya hari-hari kita.

Dan jika hari ini kita sudah bisa membayangkan kekosongan itu, maka hargailah setiap hal dan setiap momen dalam hidup kita.

Bukan dengan rasa takut kehilangan, tapi dengan kesadaran bahwa keberadaan itu semua saja sudah merupakan kasih sayang-Nya. Bukankah jika seluruh air laut menjadi tinta tetap tak akan cukup untuk menuliskan betapa banyaknya nikmat Allah kepada hamba-Nya?

Sebab keberkahan tidak selalu ada pada hal besar, tetapi juga pada kemampuan hati untuk memperhatikan hal kecil.

Dengan hati yang mampu melihat dan mensyukuri yang ada, maka kita akan selalu merasa kaya tanpa harus menunggu terpenuhi ini dan itu. Maka syukurilah segalanya sebelum diri menuntut segalanya.

Minahasa Utara, 20 Oktober 2025

Sunday, 5 October 2025

Penuhi Tangki Cinta Anak Kita Agar yang Ia Tuangkan Pada Sekitarnya Juga Berbentuk Cinta

Anak belajar cara memperlakukan orang lain dari cara ia diperlakukan di rumah. Bukan sebatas teori yang kita sampaikan, melainkan atmosfer yang ia hirup setiap hari. Ketika ia ditampung perasaannya, diberi ruang untuk kecewa tanpa dihakimi, dan diajari bahasa untuk menamai sedihnya, maka perlahan ia mengerti: perasaan manusia itu sah untuk hadir, dan tetap bisa ditata. Dari pengalaman ditenangkan, ia belajar menenangkan. Dari pengalaman dihargai, ia belajar menghargai. Dari pengalaman dicintai tanpa syarat, ia belajar bahwa nilai diri tidak ditentukan oleh ajakan bermain atau ejekan sesaat.

Cinta yang kita penuhi di rumah bukan berarti memanjakan tanpa batas, melainkan menghadirkan pelukan, kehadiran, dan batas yang sehat sekaligus. Cinta berkata: “Perilaku menyakitkan tidak boleh diterima.” Kasih sayang menambahkan: “Kamu tetap berharga, dan temanmu mungkin sedang kesulitan mengelola perasaannya.” 

Kita tidak mengajari anak untuk membalas, tetapi juga tidak meminta mereka menahan sakit sendirian. Kita menunjukkan jalan tengah: boleh mengatakan “Aku tidak suka dipanggil begitu,” boleh menjauh dari situasi yang tidak aman, dan boleh mencari orang dewasa yang bisa membantu. Di waktu yang sama, kita menanam benih empati: orang yang melukai sering membawa luka. Empati tidak memaklumi kekerasan, ia hanya membantu anak memahami bahwa memilih kebaikan bukan tanda kelemahan, melainkan kekuatan yang terlatih.

Ada hari ketika anak berkata, “Dia nggak mau temenan sama aku lagi.” Rasanya seperti pintu kecil yang tiba-tiba ditutup di hadapannya. Di saat begitu, kita bisa mengatakan: “Wajar kamu sedih. Rasanya seperti ditinggal ya? Mungkin teman kamu lagi pengen main dengan yang lain. It's okay, kamu bisa bermain dengan teman yang lain dulu. Pokoknya Mama di sini akan selalu dengar ceritamu.” Kata-kata itu mungkin terlihat sederhana, tapi ia mengajarkan sesuatu yang besar, bahwa sedih bukan musuh yang harus disembunyikan, melainkan tamu yang boleh duduk sebentar, diberi minum, lalu diantar pulang. Ketika anak tahu bagaimana caranya menata tamu bernama sedih, ia tak akan menumpahkan sedihnya menjadi sengatan di lidah atau dorongan di tangan. Ia belajar menata, bukan menekan; merasakan, bukan melukai.

Mengisi cawan cinta anak juga berarti menyediakan jeda harian ritual kecil yang konsisten. Lima menit bercerita sebelum tidur, pelukan yang sedikit lebih lama dari biasanya, satu pertanyaan yang tidak terburu-buru: “Bagian mana dari harimu yang paling bikin kamu bangga?” Jeda-jeda kecil ini adalah selimut tipis yang disulam hari demi hari; tidak tebal seketika, tetapi menghangatkan karena akumulasi. Anak tidak selalu ingat semua kalimat yang kita ucapkan, tetapi tubuhnya mengingat rasa aman yang kita bangun: di rumah, ia boleh menjadi dirinya sendiri.

Cinta yang kita penuhkan juga berbentuk bahasa. Kita bisa mengubah “Kamu jangan cengeng” menjadi “Air matamu berharga; sekarang ayo kita cari jalan keluar.” Mengganti “Kamu kan kuat, masa kalah begitu saja?” menjadi “Kamu berani cerita, itu sudah sangat kuat. Kita pikirkan langkah selanjutnya, ya.” Bahasa seperti ini mengajar anak dua hal sekaligus: mengakui rasa dan melatih aksi. Ia mengerti bahwa keberanian bukan berarti tidak menangis, melainkan tetap memilih cara yang baik meski hati retak.

Namun, memenuhi cinta tidak cukup jika tidak disertai penuntunan tentang batas. Kita ajarkan bahwa memaafkan itu mulia, tetapi memaafkan tidak sama dengan mengizinkan orang melukai berkali-kali. Kita bisa berkata, “Memaafkan membuat hati lega, tapi menjaga dirimu juga penting. Kamu boleh memilih teman yang membuatmu menjadi dirimu yang baik.” Kalimat ini menyambungkan dua tepi: rahmah untuk orang lain, dan rahmah untuk diri sendiri. Anak belajar bahwa cinta yang sehat selalu berjalan bersama batas yang jelas.


Di sekolah, kita bisa bersinergi dengan guru dan pengasuh. Bukan untuk mengadili, melainkan untuk membangun budaya menghargai. Ketika anak berani melapor, kita rayakan keberaniannya, bukan mengecapnya sebagai “pengadu.” Kita dorong sekolah membuat kesepakatan kelas: cara menyapa yang baik, kata-kata yang tidak boleh diucapkan, dan langkah pemulihan saat ada yang tersakiti. Anak-anak memerlukan peta; tugas orang dewasa memastikan petanya jelas dan jalannya aman.

Barangkali ada hari-hari ketika lelah mendera, ketika kita merasa gagal menjaga. Ingat: orang tua tidak dituntut sempurna; yang dibutuhkan anak adalah orang tua yang bisa kembali. Kembali menatap mata, kembali mengakui kekeliruan, kembali memeluk. Ketika kita meminta maaf pada anak karena suara kita sempat meninggi, kita sedang mengajar ia seni memperbaiki relasi. Dari rumah, ia belajar bahwa hubungan yang retak bisa dirapikan, dan luka kecil bisa ditempel dengan kejujuran.

Pada akhirnya, anak-anak menumpahkan apa yang penuh di dalam diri. Jika yang penuh adalah amarah yang tak bernama, ia mudah menyenggol. Jika yang penuh adalah validasi, kehangatan, dan contoh batas yang sehat, ia lebih mudah mengulurkan tangan. Karena itu, mari terus mengisi cawan mereka: dengan pelukan yang tidak pelit, dengan kalimat yang menenangkan, dengan teladan yang konsisten. Kita tidak bisa mengontrol semua ombak di luar sana, tetapi kita bisa menyiapkan perahu dayungnya adalah nilai, layarnya adalah kasih, dan kompasnya adalah cinta yang tak bersyarat.

Dan ketika suatu malam ia berbisik, “Dia nggak mau temenan sama aku lagi, Ma,” kita bisa memeluknya sambil berkata pelan, “Rasa sakit ini tidak akan selamanya. Kamu tetap bernilai, tetap dicintai. Mari kita rawat hatimu agar besok, kalau ada teman lain yang butuh kebaikan, kamu masih punya cinta untuk dibagikan.” Begitulah cinta bekerja: ia tidak membuat dunia selalu lembut, tetapi membuat anak kita tetap bisa memilih kelembutan, sekalipun dunia sedang keras.

Semoga pelukan atau perhatian yang terus dihadirkan, dan dari teladan yang terus diperbaiki, pelan-pelan anak kita akan membawa itu dalam dirinya dan kelak menuangkannya ke dunia sebagai cinta dan kasih sayang.

Ditulis setelah beberapa hari mendengar cerita anakku tentang hari-harinya di sekolah.

5 Oktober 2025

Monday, 1 September 2025

Air Mata yang Menyuburkan Hidup

Aku menemukan sebuah video di Instagram yang memperlihatkan di hutan Amazon di bawah pepohonan, ada seekor kura-kura berdiam diri sementara sekelompok kupu-kupu hinggap di sudut matanya. Sayap mereka bergetar pelan, seolah sedang menari di atas wajah reptil tua itu. Tapi ternyata kupu-kupu itu sedang mengisap air mata kura-kura

Aku mencari lebih jauh tentang hal itu dan aku baru mengetahui bahwa fenomena ini punya nama ilmiah yang indah: lakrifagi. Dari bahasa Latin lacrima (air mata) dan phagein (memakan), istilah ini menggambarkan perilaku kupu-kupu yang mengisap air mata kura-kura untuk mendapatkan garam dan mineral yang tak mereka temukan cukup dari nektar bunga.

Para peneliti di Amazon mendokumentasikan fenomena ini, dan ternyata ia bukan kebetulan. Bagi kupu-kupu, air mata kura-kura adalah nutrisi tambahan yang menyelamatkan hidup mereka.

Yang menarik, kura-kura biasanya tidak terusik. Ia membiarkan kupu-kupu itu menempel, seakan mengerti bahwa ada kehidupan lain yang sedang ia dukung. Dari satu tetes air mata, tercipta hubungan unik antara dua makhluk yang sama sekali berbeda.

---

Aku menatap video yang merekam peristiwa ini berkali-kali, bukan hanya karena keanehannya, melainkan karena sesuatu dalam hatiku yang ikut tersentuh. Betapa alam punya cara aneh untuk menyampaikan pelajaran.

Air mata, yang dalam kehidupan kita sering dimaknai sebagai tanda kelemahan, duka, atau bahkan rasa kalah, ternyata bisa menjadi sumber kehidupan. Apa yang biasanya dianggap sebagai akhir daya tahan, di dunia kupu-kupu justru menjadi awal keberlangsungan hidup.

Ada sesuatu yang menyadarkanku. Bahwa kesedihan tidak selalu sia-sia, bahwa kerentanan tidak selalu berarti hancur, dan bahwa memberi tidak selalu membutuhkan kekuatan, kadang justru lahir dari sisi paling rapuh diri kita.

---

Kita, manusia, sering terburu-buru menyeka air mata. Kita malu terlihat lemah, seakan tangis adalah noda yang harus disembunyikan. Kita lupa bahwa menangis adalah bentuk paling jujur dari menjadi manusia.

Pernahkah kamu merasakan betapa lega hati setelah menangis, meskipun masalah tidak serta-merta selesai? Ada sesuatu yang terurai dalam tiap tetes air mata, seolah tubuh sedang menciptakan ruang baru untuk menampung harapan. Mungkin, di situlah lakrifagi kehidupan bekerja: ketika kita menangis, bukan hanya kita yang merasa lebih ringan, tapi orang lain pun bisa belajar atau bahkan terinspirasi dari kerentanan kita.

Bukankah ada banyak cerita di mana kesaksian orang yang pernah hancur justru menguatkan orang lain? Bukankah sering kita merasa dekat dengan seseorang, bukan karena ia selalu tampak kuat, melainkan karena ia pernah berani menunjukkan luka?

Seperti kura-kura yang membiarkan kupu-kupu menyesap air matanya, kadang yang paling manusiawi yang bisa kita lakukan adalah mengizinkan orang lain menemukan sisi rapuh  kita.

---

Aku jadi ingat percakapan dengan seorang teman yang sedang melalui masa sulit. Ia berkata, “Aku capek selalu kelihatan kuat. Aku ingin sekali bisa menangis tanpa takut dihakimi.” Kata-katanya terucap ringan tapi terasa dalam. Betapa banyak dari kita yang dipenjara oleh ekspektasi: harus tangguh, harus tegar, harus baik-baik saja. Padahal, tak ada yang benar-benar baik-baik saja sepanjang waktu.

Mungkin kita perlu belajar dari kura-kura. Tidak semua kerentanan harus ditutup rapat. Tidak semua air mata harus disembunyikan. Ada waktunya membiarkan orang lain menyaksikan, bahkan “mengisap” kekuatan darinya. Karena pada akhirnya, hidup ini bukan soal selalu kuat sendirian, melainkan soal berbagi ruang, bahkan ruang yang lahir dari kesedihan kita.

---

Lakrifagi mengajarkan satu hal sederhana namun sulit dipraktikkan: jangan buru-buru menolak luka atau kesedihan. Sebab bisa jadi, justru dari situlah lahir sesuatu yang memberi makan jiwa, entah jiwa kita sendiri atau jiwa orang lain.

Air mata tidak selalu tanda kekalahan. Kadang, ia adalah bentuk paling murni dari cinta, kepedulian, atau bahkan keberanian. Seperti kura-kura yang diam, tak melawan, meski matanya dihisap, mungkin ada kalanya kita pun perlu berdiam dan membiarkan pengalaman menyakitkan itu berlangsung. Karena di baliknya, ada kehidupan yang sedang terus berlanjut dan mungkin, ada kupu-kupu yang sedang bertahan berkat air mata kita.

Dan bukankah itu indah? Bahwa di dunia yang keras ini, kesedihan tidak selamanya sia-sia. Bahwa di tengah luka, masih ada ruang bagi kehidupan lain untuk tumbuh.

Air mata yang menyuburkan hidup, itulah warisan kecil yang bisa kita tinggalkan. Sebuah kebermanfaatan meski di tengah luka.


1 September 2025

Monday, 25 August 2025

Pulang Seperti Ikan Salmon

Ada banyak cara Allah menyampaikan pelajaran hidup.

Kadang lewat manusia yang bijak, kadang lewat peristiwa yang mengguncang, dan kadang tanpa kita duga lewat seekor ikan kecil bernama salmon.

Out of no where. Tiba-tiba terbersit dalam pikiranku tentang ikan salmon. Lalu aku mencari tahu tentang cara hidup ikan salmon.

Salmon ternyata tidak tinggal di satu tempat seumur hidupnya.

Ia lahir di air tawar, di sungai-sungai yang tenang. Tapi sejak awal, hidupnya sudah dipenuhi perpisahan. Saat usianya cukup, ia akan meninggalkan tempat kelahirannya dan berenang ke laut lepas.

Laut itu luas, asing, dan tak ramah.

Salmon akan menempuh jarak ribuan kilometer, menyusuri samudra selama bertahun-tahun untuk tumbuh dan bertahan. Ia belajar hidup di dunia yang keras. Ia mengejar makanannya, menghindari pemangsa, melewati arus besar yang tak bisa diprediksi.

Ikan salmon biasanya menempuh jarak migrasi dari laut ke tempat asalnya di sungai sejauh sekitar 1.000 hingga 1.400 kilometer. Selain jarak yang sangat jauh, salmon juga harus mendaki ketinggian hingga 2.100 meter dari permukaan laut untuk mencapai lokasi pemijahan mereka. Perjalanan ini termasuk salah satu migrasi terberat di dunia hewan karena salmon harus berenang melawan arus sungai yang deras dan menghadapi berbagai rintangan seperti predator dan kondisi lingkungan yang sulit

Satu hal yang tak berubah dari ikan salmon yaitu tujuannya.

Menurut riset oleh Dittman & Quinn (1996) dalam jurnal Nature, salmon muda belajar mengenali bau khas air sungai asalnya sebelum migrasi ke laut, sehingga saat dewasa mereka dapat menggunakan memori bau tersebut untuk kembali ke tempat lahirnya. Proses ini bersifat permanen dan sangat penting untuk navigasi dan kelangsungan hidup salmon

salmon memiliki sistem penciuman yang luar biasa tajam. Sejak kecil, ia menghafal "bau" khas sungai tempat ia dilahirkan. 

Bau itu tak sekadar aroma, melainkan kompas biologis yang tersimpan dalam sistem sarafnya. Di tengah laut yang tak mengenal arah, bau itu menjadi panggilan sunyi yang akan menuntunnya pulang.

Dan ketika tiba waktunya, salmon akan kembali.

Ia berenang melawan arus. Melompat di antara jeram dan bebatuan.

Tubuhnya luka-luka, sisiknya mengelupas, siripnya terkoyak. Tapi ia tetap bergerak. Ia tidak kembali untuk bersantai. Ia tidak pulang karena tempat asalnya nyaman. Ia pulang untuk menyelesaikan satu misi terakhir: meneruskan kehidupan.

Salmon bertelur di tempat ia dilahirkan. Lalu mati.

Namun kematiannya bukan akhir yang sia-sia. Tubuhnya yang membusuk menjadi nutrisi bagi tanah dan air, memberi makan tumbuhan air, serangga, bahkan benih yang ia tinggalkan. Sungai menjadi hidup kembali karena pengorbanannya.

Sebagian dari kita mungkin bertanya, mengapa harus sejauh itu? Mengapa tidak menetap saja di laut yang luas? Mengapa harus kembali ke tempat yang dulu, hanya untuk mati?

Tapi di situlah letak pelajarannya.

Salmon tidak memilih jalan termudah.

Ia memilih jalan yang sesuai dengan tujuannya, meski itu jalan yang sulit sekalipun.

---

Kita hidup dalam zaman yang begitu cepat berubah. Banyak dari kita merantau, pindah kerja, membangun karier di tempat yang jauh dari tanah kelahiran. Kadang, pulang jadi sesuatu yang asing. Kita bahkan bingung, ke mana sebenarnya arah “pulang” itu? Apakah tempat yang dulu kita tinggalkan masih menerima kita? Apakah kita masih diingat?


Tapi mungkin, seperti salmon, kita tidak perlu pulang untuk dimanjakan.

Kita pulang untuk kembali.

Untuk menanam benih baru.

Untuk menyelesaikan cerita yang belum selesai.

Mungkin pulang bukan soal kembali ke rumah secara fisik. 

Pulang bisa berarti menyapa orang tua lewat suara yang hangat. 

Mendoakan tanah tempat kita tumbuh.

Mengajarkan nilai hidup yang kita warisi dari tempat asal kepada anak-anak kita, meski mereka tumbuh di tanah berbeda.

Dan kadang, pulang juga berarti mengakhiri siklus dalam hidup kita dengan damai.

Karena kita sadar kita sedang berada dalam perjalanan untuk "pulang".

Salmon mengajarkan bahwa hidup bukan sekadar soal bertahan. Tapi juga tentang keberanian untuk menempuh jalan pulang, meski menyakitkan.

Tentang membayar betapa besarnya kebaikan Pencipta kepada kita yang telah memberi kita kehidupan.

---

Salmon mengajarkan bahwa luka bisa jadi bagian dari perjalanan.

Bahwa tubuh yang lelah dan terkoyak bisa tetap bermakna.

Bahwa akhir bukan hanya tentang berhenti, tapi tentang melanjutkan kehidupan.

---

Hari ini, jika kamu merasa letih, tersesat, atau sedang menempuh jalan pulangmu sendiri—ingatlah salmon.

Ia bukan makhluk paling kuat di lautan. Tapi ia punya tujuan yang tak bisa digoyahkan.

Pulang, baginya, adalah bentuk cinta yang paling utuh.

Cinta itu melahirkan keberanian untuk mewariskan kehidupan terbaik 

Dan bukankah, di ujung segala perjalanan, kita semua ingin pulang?

Entah itu ke rumah, ke diri sendiri, atau ke Tuhan. Dengan hati yang damai, dan jiwa yang tahu: aku sudah menunaikan tugasku.

---

Aku pun termenung barangkali selama ini aku salah. Manusia itu tidak lahir seperti lembar kosong. Fitrahnya manusia adalah kembali kepada Tuhan-Nya. Manusia lahir dengan "blueprint" untuk beriman kepada Yang Menciptakannya. 

Sudahkah kita siap untuk pulang ke titik awal kita?

Monday, 18 August 2025

Merdeka Menulis

Ada hari-hari ketika aku membuka dokumen kosong, mengetik beberapa kalimat… lalu menghapus semuanya.

Bukan karena aku tak punya cerita, tapi karena seperti ada bisikan: “Siapa juga yang akan membaca ini?”

...

Di tengah kesibukan, kelelahan, dan kehidupan yang terus menuntut, menulis sering terasa seperti hal yang dilihat sebelah mata..

Tapi entah mengapa, aku tetap menulis.

Aku pernah bertanya pada diriku sendiri: “Apa gunanya menulis kalau tak ada yang membaca?”

Pertanyaan itu datang di tengah malam, ketika semua orang tidur, sementara aku sibuk menata kata-kata. Kadang menulis terasa seperti memanggil tanpa ada yang menyahutnya,, tak ada gema kembali. Tapi jari-jariku tetap menari di atas huruf-huruf.

Lalu aku sadar: aku menulis bukan untuk dunia. Aku menulis untuk merdeka.

Merdeka dari tuntutan agar semua kata harus dibaca dan disukai orang lain.

Merdeka dari ukuran produktivitas, target, atau hasil yang bisa dihitung.

Merdeka untuk jujur, untuk rapuh, untuk bingung, bahkan untuk kosong.

..

Menulis adalah ruang yang menerimaku apa adanya. Ia tidak menuntut aku selalu kuat. Ia membiarkanku menangis tanpa malu, tertawa tanpa alasan, dan jujur tanpa takut.

Di dunia yang setiap hari menuntut versiku yang “terbaik”, menulis justru menyambut versi diri yang lebih jujur.

..

Dan jika suatu saat ada yang membaca tulisanku, lalu merasa “aku juga pernah merasakan ini,” maka itu adalah bonus yang manis. Tapi bukan itu alasan utamaku tetap menulis.

...

Aku menulis karena di antara semua hal yang bisa hilang, suara hatiku sendiri harus tetap kujaga.

Aku menulis karena di balik semua tuntutan dunia, aku ingin merdeka untuk menjadi diriku sendiri.

Menulis tidak membuat hidupku lebih mudah. Tapi menulis membuatku lebih utuh.

Dan aku rasa itu sudah cukup.

...

Blog ini mungkin tak ramai. Tapi ia hidup. Karena setiap tulisannya lahir dari tempat yang jujur: dari rasa ingin memahami hidup, mencintai proses, dan merawat suara hati agar tidak terkubur.

Inilah kemerdekaan yang kutemukan dalam menulis.


Minut, 18 Agustus 2025

Monday, 11 August 2025

Hidup untuk Diri dan Orang Lain

Aku sedang berjalan santai ketika mataku menangkap sebuah kalimat di punggung kaos seseorang. Hurufnya hitam di atas kain merah: “A life lived for others is a life well lived.”


Aku membacanya sekali, lalu mencatatnya.  Di perjalanan aku mengulangi membaca kalimat itu. Ada sesuatu dari susunan kata itu yang tidak mau lepas dari kepalaku.


Hidup untuk orang lain.

Kalimat itu terdengar sederhana, tapi mengandung dunia di dalamnya.


Di tengah hiruk pikuk yang sering membuat kita mengejar target pribadi, kata-kata ini seperti jeda. Mengingatkan bahwa ada ukuran lain dari keberhasilan hidup: bukan hanya tentang apa yang kita capai, tapi tentang siapa saja yang merasakan hangatnya kehadiran kita.


Aku teringat pada orang-orang yang pernah membuat hidupku terasa lebih ringan. Ada yang mendengarkan ceritaku di hari-hari berat, ada yang memberi senyuman di waktu yang tepat, ada yang mengirimkan pesan singkat, “Semangat ya semoga kamu selalu baik-baik aja” tanpa tahu betapa kalimat itu menyelamatkan.


Memberi untuk orang lain tak selalu berarti pengorbanan besar. Kadang hanya soal menyisihkan sedikit waktu, perhatian, atau tenaga. Kadang hanya tentang memilih untuk hadir, meski sebentar. Dan anehnya, saat kita memberi, kita juga menerima, yaitu menerima rasa syukur, rasa terhubung, rasa bahwa hidup ini lebih besar dari sekadar diri kita sendiri.


Namun, ada satu pandangan lain yang tak kalah penting: “Hiduplah untuk dirimu sendiri. Siapa yang akan menyayangimu kalau bukan dirimu sendiri?

Itu juga benar. Kita tidak bisa menuang dari gelas yang kosong. Menyayangi diri sendiri adalah fondasi: memberi tubuh istirahat yang layak, menjaga hati dari racun, memberi ruang untuk bernapas, dan jujur pada diri tentang apa yang kita butuhkan.


Keduanya tidak bertentangan. Menyayangi diri sendiri menjaga kita tetap berdiri; hidup untuk orang lain memberi arah pada langkah kita. Menyadari batas diri membuat kita bisa memberi dengan tulus, bukan dengan terpaksa.


Mungkin kebahagiaan yang paling murni adalah ketika keduanya bertemu: saat kita cukup menyayangi diri untuk tetap utuh, dan cukup peduli pada orang lain untuk berbagi keutuhan itu.


Kalimat di punggung kaos itu kini sudah hilang ditelan keramaian. Tapi rasanya, ia sudah menetap di hati dan pikiranku, sebagai pengingat, bahwa hidup terbaik adalah hidup yang dimulai dari diri sendiri, lalu mengalir untuk orang lain.


Minahasa Utara, 11 Agustus 2025

Friday, 8 August 2025

Pemimpin yang Melihat dan Menghargai

Saat itu saya menghadap Ketua untuk membahas perihal surat tugas sekaligus menyampaikan terima kasih dan maaf atas segala interaksi selama kami bekerja bersama.

Kesan-kesan yang beliau sampaikan membuat saya merasa memiliki pemimpin yang melihat dan menghargai, sedangkan pesan-pesan yang beliau sampaikan akan saya bagikan juga di sini:

1. Tegas Itu Tidak Harus Konfrontatif

“Tetaplah bersikap tegas, sikap tegas yang tidak harus konfrontatif.”

Ketegasan yang tidak konfrontatif bisa menjadi jembatan. Sikap tersebut membantu pimpinan mengambil keputusan karena menciptakan ruang diskusi yang sehat, bukan penuh ketegangan.

Ternyata, ketegasan tidak harus disampaikan dengan berteriak, ketegasan juga bisa disampaikan dengan tenang tanpa mencederai.

2. Genggam Erat Orang-orang Baik


“Kalau bertemu orang yang menurutmu baik dan nilai dirinya sejalan denganmu, genggamlah erat hubungan itu. Karena belum tentu kamu akan bertemu lagi orang seperti itu.”

Kita sering menganggap rekan kerja hanya bagian dari sistem. Tapi pesan ini mengingatkan saya bahwa di balik struktur, ada manusia. Ada hubungan yang, jika dijaga dengan tulus, bisa menjadi kekuatan yang tak tergantikan.

Relasi yang sehat bukan hanya memperlancar kerja, tapi juga memperkuat dalam menjalani hari-hari kerja yang melelahkan. Apabila kita bisa menemukan orang yang kita nilai baik dan sejalan, apalagi yang bisa kita jadikan contoh, itu adalah hubungan yang patut kita jaga dengan baik.

3. Integritas tidak boleh membuat seseorang menjadi jumawa

“Integritas tidak terjadi dalam satu malam. Ia adalah buah dari konsistensi. Tapi kalau kita mampu menjaganya, jangan sampai menjadikan kita jumawa. Tetap berbuat baik pada siapapun, siapa tahu kelembutan atau kebaikan kita bisa membuka hati orang lain yang berjalan bersama kita.”

Integritas sering dipandang sebagai sesuatu yang besar, tapi sesungguhnya, ia dibangun dari keputusan-keputusan kecil yang jujur, bahkan saat tidak ada yang melihat. Dan ketika orang mulai dikenal karena integritas, di situlah godaan baru muncul: merasa lebih baik dari orang lain. Oleh karena itu Pak Ketua mengingatkan untuk tetap rendah hati, tetap manusiawi, tetap berbuat baik pada siapapun.

Kita tidak pernah tahu apa yang dialami orang lain, bisa saja orang yang kita anggap kurang baik suatu saat menjadi jauh lebih baik dari kita. Maka kita harus menjaga hati agar tidak merasa lebih besar atau merasa lebih baik daripada orang lain.

...

Tiga pesan itu menjadi bekal untuk melangkah. Ternyata langkah saya bukan untuk meninggalkan, tapi "berangkat" untuk tujuan yang lebih besar.

Terima kasih, Pak Ketua, Bapak Jayadi Husain, S.H., M.H. Terima kasih telah melihat bukan hanya apa yang saya atau rekan saya kerjakan, tapi juga menghargai siapa kami saat menjalaninya. Semoga setiap kebaikan yang Bapak tinggalkan menjadi amal yang tidak terputus.

Surat tugas sudah dijalankan, dan saat ini saya telah berpindah tugas, tapi warisan nilai dari kepemimpinan Bapak akan terus saya bawa, ke manapun kaki ini melangkah.

Berangkat dari Tilamuta
Agustus 2025

Monday, 4 August 2025

Tentang Seorang Kakak yang Selalu Siaga

Saat aku menulis ini, kamu sedang terbaring di ruang ICU, dan aku tak bisa berada di sisimu. Padahal ada begitu banyak hal yang ingin aku ucapkan. Maka biarkan malam ini aku bicara melalui jemariku, sebagai seseorang yang hatinya penuh rindu dan syukur ditakdirkan sebagai adikmu.

...

Sejak kecil sampai sekarang, kamu selalu jadi orang yang paling siaga. Waktu aku masih SD sampai SMP, saat itu kita tinggal bertiga di rumah. Bapak dan Mama udah pindah kerja, Mas Adi masih kuliah di Bandung, jadi tinggal kamu, aku, dan mbak Antik, yang waktu itu masih sekolah, dan kamu sedang kuliah. Kamu yang selalu jemput aku pulang sekolah. Kamu cari jadwal kuliah yang katamu ga akan tabrakan dengan jam pulang sekolahku, juga jam lesku, kamu selalu pastikan kalau kamu pasti bisa antar-jemput aku. Kamu tidak pernah bilang itu pengorbanan, tapi aku tahu sekarang: itu bentuk perhatian dan kasih sayang yang besar.


Waktu dunia ini belum ada internet, kamu mengajakku ke tempat persewaan buku. Dari aku pinjam Bobo, Donal bebek, Conan, Smurf, Witch, majalah remaja, Chicken Soup for the Soul, sampai buku atau majalah yg isinya inspirasi kehidupan, wkwk itu semua aku lalui bersama kamu. Mengajak sewa buku itu sederhana, menyewa buku itu ga mahal, tapi ternyata hal yang tidak mewah itu membuat aku tumbuh dengan berani bermimpi dan selalu belajar berempati. Hal yang ternyata saat ini tidak mudah ditemui.


Waktu aku gagal masuk kelas bahasa inggris di SMA, kamu yang mengantarku mengambil hasilnya, kamu nggak marah atau kecewa, atau menghiburku yang gimana-gimana, kamu cuma bilang "gapapa berarti bukan rezekimu, kamu kan dari SD selalu dapat yg kamu kejar di sekolah, jadi gapapa kalau sekali-sekali ga dapat, Allah cuma lagi ngasih tahu kamu gimana rasanya kalau ga dapat yg kamu minta supaya nanti suatu saat kamu dapat yang lebih, syukurmu jadi tambah besar." Mungkin kamu udah lupa apa yang kamu bilang tapi kata-katamu jadi penguatku sampai sekarang tiap aku menemui sesuatu yang ga sesuai harapanku.


Sampai aku dewasa, kamu tetap menjadi orang yang paling cepat datang kalau aku butuh. Saat aku pulang atau pergi merantau, kamu yang mengantar dan menjemput ke bandara atau stasiun. Bahkan saat aku ditempatkan di Lampung, kamu yang mengantar mobil ke sana agar aku bisa lebih leluasa. Dan ketika aku mau cuti melahirkan saat pandemi COVID, kamu yang menjemput aku pulang dari Lampung. Kita menempuh perjalanan jauh naik mobil, dan meski dunia terasa genting, aku merasa aman karena kamu yang nyetir.


Kamu juga yang sigap untuk anak-anakku. Setiap kali mereka sakit, dan aku jauh, kamu yang selalu datang dan mengantar mereka ke rumah sakit, meski di tengah malam. Sama halnya ketika Bapak sakit. Kamu datang dalam sekejap. Kemudian kamu mijit Bapak jam satu pagi, jam tiga pagi, seolah kamu tidak kenal lelah. Waktu kamu lulus kuliah kamu ditawarin Bapak lanjut S-2 tapi kamu ga mau, kamu bilang kamu mau hidup di desa aja, supaya dekat orang tua, supaya kamu bisa siaga kalau Bapak dan Mama butuh apa-apa. Kamu ga peduli meski dibilang sarjana tapi kok di sawah, sarjana tapi kok pilih di kandang, sarjana tapi kok ga kemana-mana. "Memangnya kenapa, yang penting halal" adalah jawaban andalanmu.


Suatu hari aku bilang kalau aku mau daftar CPNS yang penempatannya seluruh Indonesia, awalnya aku ragu tapi kamu semangat banget, kamupun bilang "lanjut Na, tenang aja Bapak sama Mama nnt yang ngurus aku" sampai akhirnya aku diterima dan ditempatkan dari satu kota ke kota lain, dari satu pulau ke pulau lain, itu adalah kata-kata yang selalu kamu bilang setiap kita pisah di stasiun atau bandara sampai sekarang.


Meski kamu totalitas pada keluarga, kamu tidak pernah melupakan keluarga intimu, istrimu dan anak-anakmu. Meski terlihat keras sebenarnya hatimu tidak sekeras itu, buktinya kamu tetap jadi idola bagi anak-anakmu, entah bagaimana anak-anakmu kalau ditanya ingin jadi apa, jawabannya "ingin seperti Abi".


Kamu tidak pernah menunggu diminta tolong. Kamu selalu datang lebih dulu, hadir sebagai penjaga yang tidak pernah minta ucapan terima kasih. Tapi hari ini, izinkan aku bilang: terima kasih. Untuk setiap jemputan, pijatan, pelukan, dan ketulusan yang kamu berikan tanpa syarat.


Aku tahu, kamu tidak suka menjadi pusat perhatian. Tapi kamu harus tahu: kamu adalah pusat dari banyak hal baik dalam hidupku. Dalam hidup keluarga kita.


Sekarang, tubuhmu sedang beristirahat lebih lama di atas tempat tidur yang dingin di ruangan asing itu. Tapi aku tahu hatimu sedang berjuang. Dan dari jauh, aku menjaga kamu lewat doa-doa yang tidak putus.


Pulanglah, kamu yang selalu siaga. Dunia kami terasa senyap tanpamu. Rumah ini menunggumu. Aku menunggumu. Bukan hanya sebagai adik, tapi sebagai seseorang yang ingin sekali membalas semua kebaikanmu, meski aku tahu, itu tidak akan pernah cukup.


Ya Allah sembuhkanlah, sehatkanlah, Mas Bambang, kakak pertamaku, yang menemani banyak hal pertama dalam hidupku

Minahasa Utara, 4 Agustus 2025

Monday, 28 July 2025

PN Tilamuta: Seberkas Cahaya untuk Peradilan yang Agung

Di tengah krisis kepercayaan masyarakat terhadap institusi yang menegakkan keadilan di negeri ini,

ketika ruang sidang tak lagi selalu dipercaya,

ketika vonis dianggap tak mencerminkan nurani,

dan ketika suara-suara kehilangan tempat untuk berharap,

aku ingin kamu menengok sebuah tempat kecil, tempat mencari keadilan, yang mungkin luput dari perhatian.


Tempat itu bernama Pengadilan Negeri Tilamuta (PN Tilamuta).


Apakah kamu tahu bahwa putusan sesungguhnya bukan produk hakim, melainkan disebut sebagai produk pengadilan? Maka sudah semestinya upaya mewujudkan keadilan bukan hanya semangat dari pemutus perkara secara langsung, tapi juga dari unit-unit pendukungnya.


Meminjam ungkapan Sekretaris PN Tilamuta (Bapak Juang Samadi, S.Pd., M.H.), ditambah dengan apa yang aku rasakan, menurutku PN Tilamuta itu seperti ungkapan:

"Sebelum Hakim mengetuk palu dan Panitera Pengganti menorehkan penanya, kepaniteraan telah memastikan kelengkapan berkas sidang dan kesekretariatan telah memastikan kelengkapan ruang sidang, termasuk palu dan penanya"


Tidak mudah menemukan kesatuan elemen seperti itu apabila diselami lebih dalam makna dan senyatanya. 

PN Tilamuta seperti sebuah pengadilan yang mempersiapkan pengadil fokus mengadili dengan adil. Memberi sarana terbaik, juga menciptakan ruang aman dan nyaman untuk bekerja dengan baik. Aman itu berarti tidak ada intervensi dan nyaman itu berarti tidak banyak problematisasi.


Kamu mungkin tak percaya dengan apa yang aku sampaikan.

Tapi jujur, semua keluhan tentang tempat kerja yang rumit, tentang suasana kantor yang membuat sesak, tak pernah benar-benar aku rasakan.

Di sini, semua seolah berjalan sebagaimana mestinya.

Memang tak ada yang sempurna. Tapi di sini semua mengetahui dan menyadari porsinya.


Aku tidak tahu bagaimana pengalaman para pencari keadilan yang datang mencari keadilan di sini. Tapi aku pastikan selama detik pertama aku dan keempat rekanku melangkahkan kaki di sini, tak ada hal yang bisa mempengaruhi keyakinan kami. Setiap lembar yang kami bacakan adalah buah pikiran atas keyakinan kami dengan dasar hukum dan keadilan. Tentunya dengan sebaik-baiknya yang kami bisa usahakan.


Apa yang aku rasakan itu karena aku tidak berjalan sendiri.

Ada kebersamaan yang membuatku merasa ingin terus bertumbuh memberikan yang terbaik yang aku bisa.

Di sini aku mendapat dukungan dari pimpinan yang memberi ruang dan kepercayaan, teman-teman yang saling mengingatkan, juga rekan kerja yang saling menguatkan, semuanya bagian dari cahaya yang perlahan menyala dalam langkah-langkahku.


Meski Tilamuta 'hanyalah' sebuah pengadilan negeri yang jauh dari pusat keramaian,

atau mungkin membuat langkah awal terasa berat bagi mereka yang baru datang,

tapi saat kamu sudah benar-benar melihat dan merasakannya,

kamu tidak akan kehilangan harapan tentang bagaimana mewujudkan peradilan yang agung.


Tilamuta menguatkan harapan:

bahwa masih ada yang bekerja dengan hati,

yang menjunjung nilai,

dan percaya bahwa keadilan bukan sekadar produk hukum,

melainkan hasil dari kerja bersama manusia-manusia baik yang memegang teguh amanahnya.


Aku percaya kesan itu tak hanya aku rasakan sendiri tapi juga mereka yang pernah berada langsung di dalamnya, dan aku berharap nilai itu akan selalu ada di PN Tilamuta.


Jika suatu hari nanti kamu memiliki kesempatan berkunjung ke Tilamuta,

lihatlah baik-baik.

Karena di sini, harapan itu disemai

bukan dengan gegap gempita,

tetapi dalam diam, dalam dedikasi, dan dalam ketulusan yang tidak menuntut pengakuan.


Di sebuah titik kecil di peta, ada seberkas cahaya.

Cahaya itu tidak bersinar begitu saja,

tapi ia berasal dari generator yang rodanya terus berputar,

karena ada kekuatan bersama yang mengayuhnya.


Dan jika suatu saat nanti orang bertanya padaku,

“Dari mana semua harapan yang kamu sampaikan tentang peradilan yang agung itu berawal?”

Aku akan tersenyum dan berkata:

Dari Pengadilan Negeri Tilamuta 😊


Tilamuta, 29 Juli 2025

Kutulis dini hari seusai packing 

Pada hari terakhirku bertugas di PN Tilamuta 

Monday, 21 July 2025

Mencari Jalan Tidak Harus Memotong Jalan

Dalam hidup, kita seringkali dihadapkan pada pilihan-pilihan kecil yang sebenarnya menunjukkan nilai besar yang kita junjung. Kadang bukan soal aturan itu sendiri, tapi bagaimana kita menyikapinya. Bukan sekadar soal apa yang diatur, tapi bagaimana cara kita memenuhi aturan itu dengan cara yang tetap menjunjung rasa hormat dan tanggung jawab.

Ada perbedaan antara mencari jalan keluar dan memotong jalan. Yang pertama butuh usaha, niat baik, dan kesadaran bahwa segala sesuatu bisa disiasati dengan cara yang tetap elegan sesuai jalurnya. Yang kedua seringkali lahir dari keinginan untuk menyederhanakan sesuatu secara instan tanpa memikirkan dampak atau rasa yang terkandung di dalamnya.

Kita bisa saja berkata, "Ah, ribet banget, yang penting kan tujuannya sama," atau, "Ah, nggak apa-apa, toh ini hal kecil." Tapi dalam banyak hal, cara kita memperlakukan hal kecil justru mencerminkan siapa kita dalam hal besar. Karena hormat itu bukan hanya untuk hal yang penting, tapi untuk setiap proses yang mengandung niat dan tanggung jawab.

Mematuhi sesuatu bukan berarti kehilangan jati diri. Justru di sanalah kita diuji: bagaimana berpikir jernih dan solutif ketika keterbatasan datang. Mungkin kita harus meminjam, meminta tolong, atau menyampaikan alasan dengan jujur pada yang berwenang. Itu semua adalah bentuk usaha yang tetap menjaga integritas dan relasi. Kita tidak sekadar tunduk, tapi turut menjaga makna dari sesuatu yang ditetapkan.

Dan tentang menghormati orang lain, kadang itu bukan soal seberapa banyak kita menyebutkan namanya atau menyertakan mereka dalam rencana, tapi seberapa kita melihat niat baik mereka, memberi ruang bagi perhatian mereka, dan tidak dengan mudah mengabaikannya hanya karena sudah merasa cukup dengan pilihan sendiri.

Sering kita dengar ungkapan, “If there’s no way, create one.” Ungkapan ini sepintas terdengar menggambarkan tentang ketekunan dan pantang menyerah. Tapi menciptakan jalan pun sebenarnya tetap butuh arah. Karena menciptakan jalan bukan berarti membenarkan segala cara. Kita bisa saja menemukan alternatif, tapi jangan sampai niat mempermudah membuat kita kehilangan esensi.

Menciptakan jalan berbeda dari memotong jalan. Yang satu lahir dari kehati-hatian dan hormat terhadap nilai; yang lain kerap lahir dari ketergesaan. Maka jika jalan itu belum ada, ciptakan. Tapi jangan sembarangan. Pastikan jalan itu tetap berpijak pada niat baik, pada tanggung jawab, dan pada kebaikan bersama.

Pada akhirnya, hidup bukan soal siapa yang paling cepat atau paling mudah. Tapi siapa yang tetap berjalan dengan sadar, menjaga nilai dalam setiap langkah kecil, dan tidak menjadikan alasan sebagai pintu untuk mengurangi rasa hormat.

Dari hal kecil dan keputusan kecil sehari-hari kita sesungguhnya secara tidak langsung membentuk kita sekaligus menunjukkan nilai diri kita yang sebenarnya. Semoga kita bisa menjadi pribadi yang tetap menjaga jalan yang benar, meski jalannya kadang terasa lebih panjang.

Monday, 14 July 2025

(Baru) Lima Tahun

Hari ini tepat lima tahun.

Lima tahun bukan waktu yang sebentar. Tapi juga bukan waktu yang cukup untuk dinilai tahu segalanya. Justru, dalam lima tahun terakhir ini, aku semakin sadar bahwa memahami hidup dan keadilan bukan soal seberapa banyak aturan yang kau hafal atau seberapa sering kau memutuskan sesuatu dengan yakin. Tapi tentang seberapa sering hatimu diuji untuk tetap menjadi manusia dan memanusiakan manusia di tengah sistem, di balik meja, atau bahkan di depan cerminmu sendiri.

Awalnya, aku pikir aku hanya perlu bekerja sebaik mungkin, menjalankan peran, menyelesaikan tugas, dan memastikan segalanya berjalan sesuai prosedur. Tapi ternyata, pekerjaan ini atau lebih tepatnya, perjalanan ini, membawaku lebih jauh. Ia mengubah cara pandangku tentang manusia, tentang luka yang tak terlihat, tentang harapan-harapan kecil yang menggantung di ruang yang sunyi dari tawa dan familiar dengan tangis.

Aku belajar bahwa tidak semua kesalahan lahir dari niat buruk. Kadang, orang hanya tersesat terlalu lama dan tak ada yang menuntunnya pulang. Aku juga belajar bahwa tidak semua yang menang merasa benar-benar menang, dan tak semua yang kalah berarti kehilangan segalanya.

Keadilan ternyata bukan hanya tentang memberi hukuman. Ia adalah tentang merawat rasa percaya orang-orang yang datang padamu. Mereka percaya bahwa kebenaran bisa ditegakkan maka mereka membawa masalahnya di hadapanmu. Akhirnya kamupun menyadari bahwa ketegasan tidak harus kehilangan empati. Bahwa kamu ingin bukan sekedar menatap berkas di depan matamu tapi juga bagaimana memulihkan keadaan yang dihadapkan padamu. Dan bahwa mendengar bisa lebih menyembuhkan daripada menghukum atas dasar balas dendam.

Dalam ruang itu, aku tak bisa selalu menjelaskan panjang lebar mengapa sebuah keputusan harus seperti itu. Aku juga tak boleh meminta maaf atas setiap kalimat yang mungkin terasa berat didengar. Karena di titik itu, aku harus yakin bahwa keputusan itu, setidaknya menurut yang aku tahu dan aku pahami dengan sebaik-baiknya dan sesungguh-sungguhnya, adalah keputusan yang adil.

Kerap suatu malam yang melelahkan, di balik semuanya, aku selalu menyelipkan doa. Untuk siapa pun yang pernah hadir di ruang itu, semoga hatinya lapang menerima. Semoga tahu ke mana harus melangkah setelah semua usai. Untuk mereka yang mungkin masih menyimpan luka atau kecewa, semoga kelak bisa memaafkan. Semoga yang sempat terputus, suatu saat bisa terajut. Dan yang pernah tersakiti, perlahan akan sembuh.

Di tempat pertama aku ditempatkan, aku tumbuh. Bukan karena aku hebat, tapi karena aku dipaksa belajar hal-hal yang tak pernah diajarkan di bangku sekolah atau kuliah: bersikap tenang dan netral dalam setiap keadaan, mendengarkan dengan sabar saat hati ingin menyela dan bertanggung jawab atas setiap kalimat yang terucap.

Di luar, aku belajar bersikap dewasa dalam keseharian, menahan aksi saat hati ingin bereaksi, menjaga perasaan di tengah tekanan, tetap hadir secara utuh meski kadang merasa lelah atau sepi.

Dari kedua ruang itu, aku mulai mengerti: menjadi dewasa bukan tentang tahu segalanya, tapi tentang sanggup menghadapi yang tak terduga dengan hati yang lega.

Hari ini, aku tidak ingin merayakan. Tapi aku ingin berterima kasih. Kepada Tuhanku yang selalu membukakan mata atas hikmah tersembunyi, kepada diriku sendiri yang pernah takut tapi tetap berjalan, kepada orang-orang yang hadir mendukung dengan caranya. Juga kepada setiap kisah yang pernah singgah di ruang itu, yang mengajarkanku menjadi manusia sebelum menjadi apa pun yang lainnya.

Lima tahun ini membentukku. Bukan menjadi siapa-siapa dan harus dikenal siapa-siapa. Tapi menjadi seseorang yang terus belajar memahami kehidupan dan terus belajar memaknai keadilan. Jangan berhenti.

Monday, 7 July 2025

Saat Pengumuman Mutasi

Mutasi itu seperti pembuka babak baru dalam lembaran perjalanan hidup. Tempat baru, lingkungan baru, adaptasi baru, dan tentu... harapan baru.

Saat pengumuman mutasi datang, banyak teman sejawat bersukaria karena akhirnya mendekati homebase, lebih dekat dengan pasangan, anak, atau orang tua. Saya termasuk yang belum mendekat. Sedikit kecewa pasti ada dan saya pikir itu wajar saja. Siapapun pasti juga punya keinginan  untuk dekat dengan kampung halamannya. Bedanya adalah bagaimana kita mengelola kesiapan hati kita setelah bertemu dengan realita. Meski begitu, anehnya saya tidak merasa sedih, justru lebih ke perasaan deg degan untuk memulai sesuatu yang baru.

Mungkin karena sejak awal saya tak pernah berdoa dengan menyebut lokasi tertentu. Saya hanya minta satu hal: ditempatkan di tempat yang terbaik menurut-Nya. Dan saya sadar, itu berarti tempat yang terbaik versi-Nya bisa jadi bukan tempat yang paling saya inginkan secara pribadi. Tapi saya belajar percaya bahwa sesuatu apapun yang datang kepada kita di luar kendali kita, pasti yang terbaik.

Tentu saja, hati kecil tetap ingin pulang. Ingin lebih dekat dengan keluarga. Tapi sisi lain dari hati kecil saya juga sadar: jika semua orang ingin dekat rumah, siapa yang akan bertugas di tempat yang jauh dari rumah? Dan apakah kedekatan geografis selalu menjamin kenyamanan atau kemudahan?

Saya takut menggantungkan hidup pada sudut pandang dan tolak ukur yang saya ciptakan sendiri. Maka saya belajar melepaskan, dan membiarkan langkah ini diarahkan pada sebagaimana mestinya.

Ini adalah mutasi pertama saya sejak menjalani jabatan ini. Rasanya berbeda dari sekadar penempatan saat diklat atau magang. Kali ini benar-benar terasa sebagai peralihan fase hidup. Maka ketika pengumuman keluar, saya mengucap hamdalah dan sempat terdiam. Bingung menentukan reaksi saya. Karena saya ingat: bukankah ini yang saya minta? Tempat terbaik. Bukankah berarti ini tempat terbaik yang disiapkan untuk saya?

Saya menelepon suami. Kami tertawa. Bukan tawa puas tapi juga bukan tawa yang merendahkan. Kami tertawa karena kami sama-sama tahu bahwa kami juga bingung harus bereaksi apa.

Kami kemudian mencari sisi lain yang pasti banyak baiknya. Misalnya ternyata, jarak ke bandara hanya setengah jam. Jarak ke ibukota provinsi juga setengah jam. Kantor saya dan suami pun hanya terpaut kurang dari satu jam. Kami mulai cari tahu tentang berbagai ragam jenis perkara di tempat baru, tempat ibadah terdekat, hingga suasana dan sejarah kota melalui YouTube.

Diskusi kami pun bergeser pada hal-hal praktis: Apa yang dibawa? Apa yang ditinggal? Apa yang dijual? Packingnya bagaimana?

Dan ternyata, karena tempatnya tak terlalu jauh, biaya mutasi pun jadi lebih hemat. Bukankah itu berkah juga? Alhamdulillaah

...

Malam ini saya duduk sendirian. Membaca ulang nama-nama dalam pengumuman mutasi. Rasanya seperti melihat peta yang digambar Sang Pencipta. Kita semua hendak berpindah. Berpindah ke tempat yang kita butuhkan dan juga membutuhkan kita. Saya yakin itu.

...

Lalu saya teringat perbedaan yang jelas antara momen sekarang dan lima tahun yang lalu. Saat pertama kali mendapat kabar penempatan ke Tilamuta, Boalemo, saya menangis. Saya bahkan belum pernah mendengar nama tempat itu sebelumnya. Rasanya begitu jauh dan asing. Dalam hati saya bertanya-tanya, apa saya bisa hidup jauh di sana?

Tapi setelah menjalaninya, lima tahun penuh warna, saya tahu bahwa tempat ini bukan sekadar titik awal. Ini adalah ladang tempat saya menanam dan bertumbuh. Tempat pertama saya memakai jubah, menjalani profesi ini dengan segala perjalanannya. Tempat pertama saya belajar tentang pekerjaan, tentang kemanusiaan, dan mengenal diri sendiri lebih dalam.

Andaikata saya bisa memutar waktu dan diberi kesempatan memilih, saya tetap akan memilih Tilamuta sebagai tempat pertama saya. Karena dari pengalaman ini saya belajar satu hal:
Sesuatu yang belum saya kenal tidak perlu ditangisi. Sebab kemungkinan baik selalu ada bahkan ketika kita belum bisa melihatnya.

Maka kali ini, ketika penempatan tidak sesuai ekspektasi, saya tidak menangis. Saya tersenyum. Saya penasaran: hal sebaik apa lagi yang akan saya temui kali ini?

Dan karena itu pula, saya ingin membagikan beberapa hal yang saya pelajari ketika menghadapi kenyataan yang tidak berjalan sesuai harapan.
  • Ingat kembali niat awal.
Terkadang kita kecewa bukan karena kenyataan itu tidak baik, tetapi karena kita lupa apa yang dulu kita minta. Seperti ketika dulu doa saya adalah “tempatkan saya di tempat terbaik”, maka mungkin inilah jawabannya. Meski alasannya belum kita temukan hari ini.

  • Bedakan antara harapan dan kendali.

Boleh berharap, tapi jangan lupa bahwa tidak semua hal bisa kita kendalikan. Fokuslah pada hal yang bisa kita atur: niat, sikap, usaha, dan keikhlasan.
  • Validasi setiap perasaan, tapi jangan tinggal di sana.
Beri ruang untuk merasa sedih atau tertegun. Itu manusiawi. Tapi jangan terlalu lama berdiam di ruang kekecewaan. Ajak diri perlahan untuk bangkit dan beradaptasi.
  • Carilah makna, bukan alasan.
Alih-alih bertanya "Kenapa ini terjadi padaku?", ubah pertanyaan menjadi "Apa yang bisa aku pelajari dari sini?" Perspektif ini akan mengubah beban menjadi bekal.
  • Buka mata pada kebaikan kecil yang tetap ada.
Terkadang di tempat yang tidak pernah kita kira, kita menemukan teman baru, pelajaran baru, dan banyak hal lain yang tidak kita sadari.
  • Percayalah pada waktu dan proses.
Kita mungkin belum bisa memahami semuanya sekarang. Tapi waktu punya cara untuk membuat kita paham mengapa sesuatu harus terjadi.

Pada akhirnya saya percaya ada banyak kebaikan yang menunggu saya di ujung jalan sana. Saya hanya harus menapaki jalan itu dengan yakin dan penuh keberanian, beserta dengan bekal yang saya punya.

Dalam perjalanan ini saya juga menyiapkan tas bekal yang tidak saya isi karena kelak di sanalah saya akan mengisi tas itu dengan pelajaran, hikmah, dan kenangan-kenangan yang indah.

Bismillaah..

Rindu di Setiap Langkah

Pagi ini aku berjalan tanpa rute, mengikuti ke mana kaki ingin melangkah. Udara lembap, langit belum terlalu terang, dan setiap langkah tera...